Inilah Penyusun Bacaan Tahlilan

Inilah Penyusun Bacaan Tahlilan

Tahlil Nusantara susunan redaksi bacaannya memiliki kedekatan dengan Tarikat Qodiriyah dan Rifa’iyah, lahir di abad ke 6 Hijriah.

 

Karena miripnya susunan redaksi tahlil kita dengan kedua Tarikat tersebut, maka indikasinya sangat kuat sekali bahwa penyusun bacaan Tahlil Nusantara adalah penganut Tarikat tersebut.

 

Indikasi ini di dukung akan kultur keruhaniaan dan kebatinan masa lalu. Dimana Tarikat Qodiriyah Naqsyabandiyah lebih awal masuk ke tanah Nusantara, qila : era Walisongo. Selain alasan ini adalah karena banyaknya kyai-kyai masa lalu yang berinteraksi dengan para guru Tarikat saat mengampu ilmu di Makkah dan Madinah.

 

Bukan hanya kedua alasan ini, melainkan ada lagi, yaitu khadhoroh atau wasilah dalam tahlil hampir tidak melepaskan nama Sulthonul Auliya’ Syaih Abdul Qodir Al Jinali, Lahul Fatihah. Tentu, bacaan khadoroh tersebut memiliki maksud tersendiri. Dan mungkin, tidaklah lain, adalah untuk menunjukkan bahwa penyusun memiliki hubungan kebatinan dengan Tarikat Qodiriyah Wanaqsyabandiah.

 

Ini hasil kajian saya (akun Fb Oh Nour Ahmed) yang berangkat dari ungkapan rasa penasaran tentang redaksi tahlil yang ada. Dan saya tidak yaqin, bahwa redaksi tahlil adalah hasil susunan habib Abdullah bin Alawi Al Haddad, seperti yang di tulis oleh NU online. Kenapa saya tidak yaqin?.

 

Karena kitab yang di jadikan rujukan, yaitu Syarah Ratibul Haddad, tidak ada redaksi kemiripan sama sekali dengan redaksi yang kita baca. Adapun kebiasaan membaca Tahlil “Laa ilaaha illahu” sebanyak 500 kali secara berjamaah, maka, menurut saya, itu alasan yang tidak kuat untuk menghubungkan tahlil Nusantara kepada beliau. Dengan alasan, bahwa sebelum beliau, yaitu di masa imam rofi’i abad 7 hijriah, ada seorang laki-laki yang membaca tahlil fida’ sebanyak ribuan kali, lalu di hadiahkan kepada ibunya yang sudah meninggal (lihat status saya sebelumnya). Dan itu menunjukkan bahwa beliau adalah bukan orang pertama kali yang melakukanya.

 

NB. Tradisi kirim doa adalah lelakun ulama’-ulama’ sufi di masa lalu, seperti Ali Ibnu muwaffaq yang hidup dimasa Imam Junaid Al Baghdadi dan Abul Abbas Muhammad bin Ishaq assarraj, salah satu perowi hadis.

 

Menurut KH. Agus Sunyoto, tokoh yang pertama kali menyusun urutan tahlilan adalah Syaikh Siti Jenar.

 

Urutan umumnya adalah: Surat Al-Ikhlash (3 kali), Al-Falaq (1 kali), An-Nas (1 kali), Al-Fatihah (1 kali), Awal Surat Al-Baqarah (1 kali), Ayat Kursi (1 kali), Istighfar (33 kali), Shalawat (33 kali), La Ilaha Illa Allah (33 kali), Tasbih (33 kali) dan tawassul, doa dengan mengirim bacaan Al-Fatihah kepada leluhur sekitar desa yang telah meninggal.

 

Doa tahlilan inilah yang kemudian meluas di sekitar desa Lemah Abang hingga menyebar di Jawa dan luar Jawa, Nusantara.

 

Menurut KH. Shahibul Faraji Arrabani, bahwa Syaikh Siti Jenar Nama asli Sayyid Hasan Ali Al Husain. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.

 

Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun. Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. Kesultanan Malaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.

 

Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Shalih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad. Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.

 

Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun.

 

Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:

 

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya.

 

2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya.

 

3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara.

 

4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.

 

Kitab-kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.

 

Dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun. Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dgn sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

 

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH :

 

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yg akrab dgn rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang.

 

2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yg diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “FANA’ WAL BAQA’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan MANUNGGALING KAWULO GUSTI. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yg merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.

 

3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam kitab Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dgn mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yg dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.

 

4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing.

 

Bantahan saya (KH. Shahibul Faraji Arrabani) : “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yg menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yg terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“

 

5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yg ditambah2i, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron.

 

Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam kitab Maqaashidus syari’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yg mukmin yg di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yg suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yg sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”

 

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:

 

1. Kelas Santri di identikkan dengan 9 Wali.

2. Kelas Priyayi di identikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak.

3. Kelas Abangan di identikkan dengan Syaikh Siti Jenar.

 

Melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *