JANGAN ADA “ISLAH” DENGAN PARA PENJAJAH ! ( BAGIAN I )
Oleh : Haji Raden Ahmad Suranagara
Kita sudah mengetahui dimana Sultan Agung Mataram anti VOC. Akan tetapi berbeda halnya dengan putranya yaitu Sultan Amangkurat I dan juga cucunya yaitu Amangkurat II. Mereka justru “berislah” dengan VOC untuk mengadakan hubungan baik. Hal demikian tercermin dari uraian yang dikemukakan oleh Dr. Sri Margana ( Dosen Sejarah UGM ) pada Pengantar Untuk Suma Oriental halaman XI, menyebutkan seorang Belanda bernama Rijklofs Van Goens, seorang duta terbesar VOC ke istana Mataram pada abad ke-17, yang menulis laporanya selama lima kali mengunjungi istana Mataram. Van Goens adalah duta kesayangan Amangkurat I, karena ia selalu datang dengan hadiah-hadiah yang ia ( Amangkurat I ) sukai. Disamping itu, ia jua sedikit menguasai bahasa Jawa dan tahu bagaimana harus menyenangkan Sang Raja. Di antara puluhan duta VOC yang dikirim ke Mataram, ia duta yang paling berhasil menghasilkan kesepakatan-kesepakatan penting dengan Mataram. Begitu juga dengan Amangkurat II, ia pun mengadakan “Islah” dengan VOC. Pada buku Babad Demak Bintoro, disusun Dr. Purwadi, M.Hum, halaman 41 menenyebutkan, konon Sinuwun Amangkurat II pada 1688 M, menawarkan untuk mengucapkan sumpah setianya kepada perjanjian-perjanjian yang diadakannya dengan Kompeni, di Masjid Agung Demak Bintoro.
Tujuan Amangkurat I dan Amangkurat II mengambil langkah tadi tentu untuk kebaikan kerajaannya juga dipastikan demi kemaslahatan rakyatnya, dimana telah begitu banyak korban dimasa Sultan Agung saat mengadakan konfrontasi dengan VOC. Namun apa yang tejadi di kemudian ? Mataram menjadi terpecah dan satu per satu wilayah kekuasaan Mataram jatuh ke tangan VOC. Mataram dibuat sedemikian rupa sehingga menjai tergantung baik politik maupun ekonomi kepada VOC. Mataram pun harus menghadapi perselisihan intern keluarga yang berujung munculnya pemberontakan terutama dilakukan oleh keluarga kesultanan. Dan perselisihan tadi bukan hal mustahil disebabkan oleh provokasi Rijklofs Van Goens duta VOC. Pada dasarnya semua yang dimulai dan di awali oleh islah antara Mataram dengan VOC setelah Sultan Agung wafat. Dengan islah tersebut, menjadi pintu masuk VOC sehingga dikemudian hari Mataram tidak lagi menjadi kesultanan terkuat melainkan tidak ubahnya seperti kepanjangan kepentingan VOC. Dengan lemahnya Mataram maka sudah barang tentu ruang untuk menguasai pulau Jawa secara menyeluruh akan semakin lebar dan luas.
Adapun langkah untuk program jangka panjang VOC, yaitu dengan perusakan sejerah yang berada di lingkungan kesultanan Mataram. Hal demikian dilakukan untuk melenyapkan jati diri bangsa ini dimana sejarahnya tidak bisa ditelusuri secara ilmiah, yaitu dengan menggantinya dengan berbagai cerita mitos yang bertolak belakang dengan akal sehat manusia. Kita ingat pada Architects of Deception- Secret History of Freemansonry by Jury Lina, ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah sebuah negeri, yaitu :
1. Kaburkan sejarahnya
2. Hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenrannya
3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Ketiga hal tadi benar benar dilakukan oleh VOC saat itu sampai dengan abad ke-XX. Akan tetapi setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sepak terjang VOC dalam usaha mengusai negeri ini melalui ketiga langkah tadi, ternyata ada penerusnya yaitu keluarga Baalwi sebuah keluarga yang berasal dari Tarim Yaman. Adapun sepak terjang keluarga Baalwi yang identic sebagai pejajah terkait dengan pengkaburan sejarah adalah sebagai berikut :
1. Belakangan diketahui salah-satu tokoh terkemuka keluarga Baalwi banyak melakukan pengkaburan sejarah dimana tokoh tokoh besar dinegara ini di Baalwikan seperti Walisomgo di Azamatkhan kan dengan refferensi Van Berg ( jadi sanadnya ke Van Berg ), Pangeran Diponegoro di bin Yahyakan atau Ba’bud, dan lain-lain, sementara kepada keturunan Walisomgo mereka menyebutnya dengan sebutan para PEMBEGAL NASAB, karena tidak boleh ada satu pun kelompok di negeri yang setara dengan ras mereka.
2. Sebuah tulisan yang mengutip dari uraian yang disampaikan Ketua Umum Rabithah Alawiyyah yaitu Habib Zein bin Umar Sumaith, Presiden Soekarno sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, terlebih dulu menemui Habib Ali Kwitang untuk meminta pendapat mengenai tanggal dan waktu yang tepat untuk membacakan proklamasi. Setelah Habib Ali Kwitang bermunajat kepada Allah Subhanahu Wata’ala, beliau menyarankan agar proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945 dan bertepatan pada 9 Ramadhan 1364 H. Cerita tersebut jelas cerita “dongeng” untuk lebih memperkokoh kedudukan keluarga Baalwi di Indonesia, sebagai cucu Nabi selain mereka juga ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini.
3. Nusantara di klaim sebagai milik wali Tarim.
4. Pengkaburan sejarah Jatman bahkan sejarah berdirinya NU menjadi sejarah Baalwi
5. Ritual Tahlilan dan bacaan adalah disusun oleh tokoh Baalwi yaitu Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad dengan demikian semua umat Islam yang beraliran ahlusunna wal jamaah harus berterma kasih kepada tokoh Baalwi tersebut
6. Banyak melakukan pembuatan makam palsu atau makam-makam tokoh Nusantra di Baalwikan misalnya makam tokoh terkenal yaitu KRT Sumodiningrat yang di klaim terletak dengan di Semarang sementara makam yang asli di Jejeran, Bantul Yogyakarta. Sejarah keberadaan KRT Sumodiningrat yang asli Jawa , di interpolasi bahkan dilenyapkan, lalu dimunculkan tokoh peganti bernama Habib Hasan bin Yahya sebagai tokoh KRT Sumodiningrat yang merupakan seorang Baalwi tulen. Prilaku demikian sulit untuk dikatakan “tidak” sebagai langkah politik untuk menguasai bumi Nusantara dengan terleih dahulu melenyapkan bukti bukti historis para pejuang Nusantara di antaranya KRT Sumodiningrat.
7. Dan lain-lain.
Adapun ditinjau dari sisi sikap dan prilaku atau interaksi sosial terhadap pibumi oknum-oknum keluarga Baalwi di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Kerapkali melakukan dawir kepada masyarakat terutama masyarakat di pedasaan dengan ancaman ataupun iming-iming syafaat nabi.
2. Seorang penceramah Baalwi dengan lantang mengatakan bahwa jika tidak ada leluhur mereka di Nusantara niscaya orang Indonesia tidak akan mengenal Islam dan mungkin saat ini masih menyembah pohon, berarti semua umat Islam di Nusantara bodoh dan primitive.
3. Seorang penceramah Baalwi tidak segan-segan melontarkan kata-kata penghinaan kepada tokoh-tokoh yang menjadi panutan di Indonesia baik kepada pejabat tertinggi negara maupun tokoh ulamanya dengan kata-kata yang tidak pantas utuk di ucapkan misalnya, hai babi, hai anjing dan lain-lain.
4. Dengan lantang beberapa penceramah Baalwi mengatakan bahwa keluarga Baalwi wajib dihormati oleh pribumi karena derajat mereka jauh lebih tinggi dari prubumi, bahkan dari ulamanya sekalipun berarti pribumi dianggap sekelas dengan hewan, karena derajat dibawah manusia adalah hewan.
5. Banyak wanita korban oknum Baalwi yang ditelantarkan yaitu dinikahi tiga hari atau beberapa bulan kemudian ditinggal dan di telantarakan, tidak sedikit pula perempuan yang menjadi korban tindakan pelecehan seksual bahkan terdapat oknum Baalwi yang berani merebut istri orang dengan intimidasi atau ancaman kepada suaminya, prilaku tersebut sama dengan masa penjajahan Belanda dan Jepang, hanya bentuk ancamannya yang berbeda, kalau Jepang dengan ancaman senjata, sementara oknum Baalwi dengan ancaman syafaat nabi.
6. Dan lain lain.
Dengan rekam jejak seperti tadi, baik dalam hal pengkaburan sejarah maupun prilaku terhadap pribumi maka jelas keluarga Baalwi “syah dan meyakinkan” berkarakter penjajah, bahkan telah memulai peranannya sebagai penjajah. Sedangkan para sesepuh Baalwi terutama yang diwakili oleh ketua Rabithah Alawiyyah( RA ) atau tokoh terkemuka keluarga Baalwi lainnya, tidak pernah melakukan tindakan nyata dan tegas terhadap para oknum Baalwi yang melakukan tindakan tidak terpuji tadi, bahkan terkesan pembiaran malah tidak sedikit beberapa sesepuh Baalwi justru lebih “menekan” pribumi agar tetap kuat dan sabar sebagai muhibbin yang setia dengan mengeluarkan statement “ Bagimanapun mereka adalah Habib maka tetap harus di hormati apapun yang mereka lakukan, menyintai habib memang banyak cobaan “ !!, dengan demikian semuanya atau mungkin 99,99 % telah menjadi oknum, berarti semuanya adalah PENJAJAH ! sebab yang membiarkan seorang pencuri untuk mencuri, maka ia pencuri juga !!
Realita historis di masa lalu Belanda dan keluarga Baalwi saling mendukung dan saling ketergantungan satu sama lain, bisa dikatakan simbiosis metualisme, ditandai dengan pengangkatan Habib Usman bin Yahya oleh Belanda sebagai Mufty Batavia tahun 1862. Pengangkatan tersebut bertujuan memperlemah perlawanan perang sabil atau jihad dari para pejuang umat Islam yang dimotori para Ulama Nusantara pada abad ke-19 dan 20, khususnya pemberontakan para petani Banten dan Bekasi di tahun tahun 1888.Hal demikian tercermin dengan pernyataan Habib ( sebutan Habib bukan berarti keturunan Nabi ) Usman bin Yahya ( 1822-1914 ), dengan “dawuhnya” yang menggemparkan, ia mengatakan pemberontakan melawan Belanda tersebut adalah gerakan palsu, ia pun menyebut gerakan petani Banten dan Bekasi tadi hanya huru-hara dan kerusuhan yang menimbulkan banyak kerugian. Ia ( Habib Usman bin Yahya ) pun tidak ragu-ragu mendoakan agar kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan oleh Alloh SWT kepada kaumnya ( keluarga Baalwi ) melalui pemerintahan Belanda kekal abadi, artinya pemerintahan Belanda bisa seterusnya menjajah Nusantara.
Jabatan Habib Usman bin Yahya lainnya adalah penasihat pemerintah Belanda untuk urusan pribumi dan Arab yang kemudian menjadi kantor penasihat urusan pribumi ( Het Kantoor voor Inlandsche Zaken ) mendampingi Snouck Hurgroje dengan gaji 100 gulden tiap bulannya, jumlah tersebut 1/7 dari jumlah gaji yang diterima Snouck. Selain itu Habib Usman bin Yahya bergaul dan bersahabat juga dengan KF Holle dan Van den Berg, jika demikian wajar saja jika Van den Berg membaalwikan Walisongo atas informasi yang ia terima dari Habib Usman bin Yahya. Karena pengabdiannya kepada Belanda, Habib Usman bin Yahya mendapat bintang penghargaan dari pemerintah Kolonial Belanda yaitu bintang Salib Singa ( Nederlandsch Liew ). Dari realita terkait dengan sepak terjang Habib Usman bin Yahya maka sangat sulit untuk tidak dikatakan bahwa Habib Usman bin Yahya bukan antek penjajah, apalagi sebagai pahlawan kemerdekaan sebagaimana yang didengungkan dalam ceramah Habib Riziq Shibab dan Habib Lutfy bin Yahya juga penceramah keluarga Baalwi lainnya didepan para muhibinnya
Buah karya Habib Usman bin Yahya, yaitu para imigran Yaman terutama keluarga Baalwi ditempatkan sebagai warga kelas II dibawah orang-orang Belanda namun di atas orang-orang pribumi. Selain itu propaganda bahwa Baalwi keturunan Rosululloh SAW semakin gencar disosialisasikan di Jakarta dan sekitarnya pada masa Habib Usman bin Yahya, sehingga kaum Imigran Yaman terutama keluarga Baalwi mendominasi sebagai ulama yang paling ditokohkan di Batavia saat itu. Habib Usman bin Yahya wafat pada 21 Safar 1331 H/1913, maka tokoh peganti dari kalangan Baalwi tertuju kepada Habib Ali Kwitang ( lahir tahun 1870 ). Habib Ali Kwitang tidak secara vulgar di mata umum mendukung pemerintah Belanda, namun ia pun tidak melakukan langkah politik apapun untuk mendukung pribumi dalam perjuangan melawan pemerintah Belanda. Dan harus di ingat pula Habib Ali Kwitang berbesan dengan Belanda dimana mantu beliau yaitu Maria Van Angels ( setelah menjadi mualaf bernama Mariam ) istri Wan Durahman adalah seorang Belanda.
Pemerintah Belanda tidak pernah mengganggu semua kegiatan Habib Ali Kwitang yang bernama lengkap Habib Ali bin Abdur Rahman bin Abdullah Al Habsy tersebut, apalagi Habib Ali Kwitang selain berbesan dengan Belanda juga sebagai tokoh peganti Habib Usman bin Yahya. Dengan demikian tidak mengherankan jika majelis taklim yang di gelar Habib Ali Kwitang berjalan mulus. Propaganda gencar keluarga Baalwi sebagai cucu Nabi menjadi magnet yang sangat kuat bagi masyarakat, maka wajar semua majelis yang digelar oleh Habib Ali Kwitang berkembang sangat pesat di Jakarta dan sekitarnya, sehingga majelis-majelis taklim di Jakarta saat itu di dominasi oleh murid atau simpatisan Habib Ali Kwitang.Sikap pemerintah Belanda terhadap Habib Ali Kwitang sudah barang tentu jauh berbeda dengan sikap terhadap pribumi. Belanda selalu mencurigai semua majelis pribumi sebagai gerakan politik, misalnya kepada majelis atau pondok pesantren yang didirikan Syaikhuna Syeikh Asnawi Caringin Banten, yang berakibat Syeikh Asnawi Banten dipenjarakan di Cianjur. Begitu juga terhadap Syaikhuna Mama Syatibi pimpinan ponpes Gentur Cianjur yang rumahnya pernah dikepung oleh tentara Kolonial Belanda.
( BERSAMBUNG ).