JUDICIAL REVIEW STATUS KEWARGANEGARAAN KLAN HABIB BA’ALWI KE MAHKAMAH KONSTITUSI
“Tanpa hukum, kehidupan akan berubah menjadi kekacauan.” – Thomas Hobbes
STATUS KEWARGANEGARAAN PARA HABIB KLAN BA’ALWI
Seorang putra bangsa yang bernama M. Subhan, dia adalah pengacara senior dan sekaligus seorang Magister Hukum UI telah melakukan suatu langkah yang sangat berani dan bersejarah. Seorang diri dia mengajukan Judicial Review (Uji Materi) ke MK terkait status kewarganegaraan orang asing di Indonesia terutama para Imigran Keturunan Yaman.
(Uji Materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 terhadap Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dalam permohonan Nomor 14 / PUU / PAN.MK / ARPK / 02 / 2025, pada tanggal, 21 Februari 2025).
Tentu saja di dalamnya termasuk sekelompok manusia paling rasis, sombong dan arogan di Nusantara. Mereka adalah Para Habib Klan Ba’alwi Yaman yang mengaku paling mulia nasabnya, paling suci darahnya dan paling rasis tingkah-polahnya. Mereka mengaku sebagai cucu Nabi padahal orang Arab saja bukan. Malah terindikasi sebagai orang Kaukasus dan keturunan Bangsa Khazar (Yahudi Askhenazi bukan keturunan Ibrahim, alias Yahudi abal-abal). Setelah gagal-total mencangkok agama Yahudi di Abad Pertengahan, kini mereka muncul sebagai entitas jahat pada Zionis Israel yang mencaplok negeri Palestina dengan mengaku sebagai keturunan Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim. Residu dan polusi Khazar yang menyebar ke berbagai negeri ini juga menjadi bukti sebagai parasit yang berbahaya bagi setiap negeri yang ditumpanginya. Di masa silam, mereka mendirikan Dinasti Fatimiyyah Mesir dan dengan berani mengaku sebagai cucu Nabi Muhammad SAW. Setelah Fatimiyyah ambruk, sisa-sisanya kabur ke Yaman dan kembali mengaku sebagai Cucu Nabi. Kali ini mencangkok ke Sayyid Ahmad bin Isa, seorang keturunan Imam Husein yang kurang populer karena lebih terkenal sebagai saudagar minyak. Namun mereka lupa, walau kurang populer, sebagai cucu Nabi ternyata nasabnya tetap ditulis, makamnya ada di Iraq dan 3 putranya saling mencatat keturunannya. Ketiga putra tersebut Muhamamd, Ali dan Husein. Tidak ada nama Ubaidillah yang diklaim sebagai datuknya Ba’alwi. Kini dari hasil tes Y-DNA, Ba’alwi semakin tragis nasibnya dan malu selamanya dalam sejarah. Garis lurus nasab laki-lakinya begitu mudah dipatahkan. Cucu Nabi bukan, malah terdeteksi sebagai Yahudi Khazar asal Kaukasus. Pantas banyak kasus, kalau tidak ‘ngibul’ ya ‘cabul’.
Kini terbukti, Klan Ba’alwi yang hijrah ke Nusantara atas inisiasi dan bekerja untuk kepentingan penjajah Belanda ternyata banyak melakukan kejahatan pada bangsa ini. Tidak saja di era penjajahan, bahkan hingga di alam kemerdekaan. Mereka membelokkan sejarah leluhur Nusantara, memalsukan makam dan bahkan telah berani mengklaim sejarah kemerdekaan Indonesia. Kejahatan ini berakar dari pengakuan sebagai cucu Nabi, lalu batangnya adalah perbudakan spiritual dan buahnya adalah kapitalisasi agama untuk memperkaya diri demi materi dan kedudukan duniawi.
Menarik untuk ditunggu hasil dari gugatan status kewarganegaraan tersebut. Bila memang terbukti mereka bukan WNI maka dampaknya :
1. MEREKA TIDAK BERHAK PUNYA TANAH DI INDONESIA (UU no.5 tahun 1960, tentang Undang-Undang Pokok Agraria).
2. DILARANG MENDIRIKAN ORGANISASI APAPUN, APALAGI SEMACAM ORGANISASI PENCATAT NASAB KELUARGA YANG MEMILIKI AJARAN RASIS. Bahkan dengan mengklaim sebagai keturunan abal-abal dari Nabi, maka mereka telah melakukan kejahatan di negeri orang yang mengancam kehidupan beragama dan kebangsaannya.
3. DILARANG UNTUK MENDUDUKI JABATAN PUBLIK sebagai APARATUR NEGARA. Termasuk ASN, TNI-POLRI dan jabatan politik dari presiden, DPR-MPR, hingga kepala desa dengan seluruh jajarannya.
HUKUM ADALAH PILAR UTAMA KETERTIBAN DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Founding Fathers kita, Bung Karno pernah berkata, “Tidak ada negara yang tak ada hukumnya, dan tidak ada hukum yang tak ada negaranya.”
Karena itulah kepastian dan penegakan hukum sangat diperlukan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai sebuah negara, Indonesia pasti memiliki kelengkapan hukumnya. Yang tertinggi tentu saja KONSTITUSI pada UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dengan segala tata urutan hukum di bawahnya.
(https://www.hukumonline.com/klinik/a/hierarki-peraturan-perundang-undangan-di-indonesia-cl4012/).
Adapun tata urutan hukum tersebut adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara, dimana termaktub pula Pancasila sebagai Dasar Negara di dalam Pembukaan-nya.
2. Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat (TAP MPR) sebagai produk hukum dari lembaga tertinggi negara.
3. Undang-Undang (UU), merupakan produk hukum dari Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Tinggi Negara dalam bidang legislatif.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang dibuat oleh Presiden sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku.
5. Peraturan Presiden.
6. Peraturan Daerah Propinsi.
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud di atas mencakup peraturan yang ditetapkan pula oleh :
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4. Mahkamah Agung;
5. Mahkamah Konstitusi (MK);
6. Badan Pemeriksa Keuangan;
7. Komisi Yudisial;
8. Bank Indonesia;
9. Menteri;
10. Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang (UU) atau pemerintah atas perintah UU;
11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; dan
12. Gubernur, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat.
Peraturan perundang-undangan diatas tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Ada empat prinsip dalam hierarki peraturan perundang-undangan, yakni sebagai berikut.
1. Lex superiori derogat legi inferiori : peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Asas ini berlaku pada dua peraturan yang hierarkinya tidak sederajat dan saling bertentangan.
2. Lex specialis derogat legi generali : peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Asas ini berlaku pada dua peraturan yang hierarkinya sederajat dengan materi yang sama.
3. Lex posteriori derogat legi priori : peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama. Asas ini berlaku saat ada dua peraturan yang hierarkinya sederajat dengan tujuan mencegah ketidakpastian hukum.
4. Peraturan hanya bisa dihapus dengan peraturan yang kedudukannya sederajat atau lebih tinggi.
Karena konstitusi kita yaitu UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, maka semua produk hukum di bawahnya tidak boleh bertentangan dengannya. Karena itulah dibentuk Mahkamah Konsitusi untuk menjadi pengontrol bagi semua produk hukum agar tidak berlawanan dengan konstitusi. Kesimpulannya, Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk untuk menjamin ketertiban hukum agar semuanya sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh Konstitusi itu sendiri.
JUDICIAL REVIEW STATUS KEWARGANEGARAAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengatur tentang kewarganegaraan dalam Pasal 26, yang berbunyi :
1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
2. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
3. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Interpretasi dari pasal ini sangat jelas dan tidak perlu penafsiran yang rumit. Pasal 26 ini juga dipakai dan menginspirasi pada konstitusi dari banyak negara lain tentang ketentuan kewarganegaraannya. Artinya sebuah pasal yang universal dan gamblang.
Dalam ayat 1 di atas jelas bahwa yang menjadi warga negara Indonesia adalah :
1. Orang-orang dari Bangsa Indonesia asli. Yaitu mereka yang berasal dari suku asli pribumi, seperti Jawa, Sunda, Madura, Batak, Minang, Aceh, Bugis, Ambon, Dayak, Banjar, Papua, dan lain sebagainya.
2. Orang-Orang dari ‘Bangsa Lain’ diluar suku-suku asli pribumi yang disahkan oleh Undang-Undang. Contohnya : Cina, India, Arab, Turki, atau bangsa ras kulit putih keturunan Eropa dan kulit hitam keturunan Afrika.
3. Patut dicermati bahwa untuk ras asli dapat menjadi warga negara dengan otomatis, artinya tidak perlu pengesahan. Sementara untuk ras asing harus dengan adanya suatu pengajuan diri agar menjadi sah sebagai WNI. Ini kalimat kunci : pengesahan dengan proses pengajuan !!!
Pada ayat 2, mengatur tentang kependudukan. Disini jelas beda makna antara ‘Warga Negara’ dalam ayat 1 dan ayat 2 tentang kriteria ‘Penduduk’. Mereka yang menjadi penduduk Indonesia adalah :
1. Warga Negara sesuai ayat 1 diatas.
2. Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Artinya, mereka yang diluar ras pribumi dan belum disahkan maka statusnya tetap orang asing yang HANYA MENJADI PENDUDUK tetapi belum warga negara.
Maka bukti kependudukan seperti KTP atau AKTA KELAHIRAN yang dikeluarkan oleh DUKCAPIL tidak serta-merta otomatis menjamin sebagai bukti KEWARGANEGARAAN bagi ras non pribumi. Bagi mereka tetap diharuskan suatu pengajuan dan pengesahan !!!
Pada ayat 3, terkait kewarganegaraan (ayat 1) dan kependudukan (ayat 2) selanjutnya akan diatur dalam Undang-Undang.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang menjelaskan syarat, tata cara, dan status kewarganegaraan Indonesia.
Poin-poin penting di dalamnya adalah sebagai berikut :
A. Asas Kewarganegaraan
1. Mengakui asas ius sanguinis (kewarganegaraan berdasarkan keturunan). Disini berbeda dengan negara lain yang berdasarkan kelahiran. Contohnya Amerika Serikat, setiap bayi yang lahir disana, secara otomatis menjadi warga negara. Di Indonesia tidak bisa seperti itu. Bayi yang lahir tidak dari kedua orang tua WNI maka tidak bisa langsung menjadi warga negara.
2. Memungkinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran hingga usia 18 tahun.
B. Cara Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia
1. Kelahiran. Anak dari orang tua WNI otomatis menjadi WNI.
2. Perkawinan. Istri/suami asing bisa memperoleh WNI melalui proses naturalisasi.
3. Pewarganegaraan (Naturalisasi). Orang asing bisa menjadi WNI dengan syarat tertentu (misalnya, tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut).
C. Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia
1. Jika seseorang memperoleh kewarganegaraan lain secara sukarela.
2. Jika masuk dalam dinas militer negara lain tanpa izin Presiden.
3. Jika tidak menyatakan memilih WNI sebelum usia 21 tahun (bagi yang memiliki kewarganegaraan ganda terbatas).
UU ini jelas bertujuan untuk melindungi hak-hak warga negara Indonesia dan memberikan kepastian hukum terkait kewarganegaraan.
Mengetahui hal tersebut diatas, maka tidak bisa seorang yang dari ras asing, hanya bermodalkan KTP atau Akte Kelahiran disebut sebagai Warga Negara. Mereka baru sah disebut sebagai warga negara bila dibuktikan dengan pengesahan, dan sekaligus kapan proses pengajuannya. Dalam sejarah, sebagian ras keturunan Cina sudah banyak yang mengajukan status kewarganegaraan, namun tidak dengan ras Arab. Mereka di jaman penjajahan banyak yang menjadi antek penjajah, ternyata mayoritas tidak pernah mengajukan status kewarganegaraannya. Ras Arab yang dimaksud disini adalah mayoritas para imigran dari Yaman.
Mereka bermigrasi pasca Perang Diponegoro (1830) dan tetap mempertahankan garis keturunannya dengan memakai nama marga paternalnya (jalur laki-laki). Namun sungguh aneh di dalam praktiknya begitu banyak imigran Yaman ini yang kemudian malah menjadi pejabat publik (menteri, gubernur, walikota/bupati, DPR dan DPRD), atau ASN dan TNI/POLRI. Mereka juga dibiarkan untuk memiliki tanah dan mendirikan organisasi berdasarkan ras yang mana telah keluar pengesahannya dari pemerintah.
Apakah bangsa ini begitu permisif kepada mereka karena sebagai sesama pemeluk agama mayoritas Islam, ataukah karena telah melupakan sejarah dan konstitusinya?!?
Sudah seteledor itukah bangsa ini?
Sudah separah itukah perlindungan kepada pribumi aslinya?
Dan sebegitu lemahkah bangsa ini di dalam menjaga pertahanan dan keamanannya dari segala pengaruh asing?
Dua negara tetangga kita patut untuk menjadi contoh paradoks. Bagaimana di Singapura yang semakin terkikis Ras Melayunya. Padahal Ras Melayu adalah penduduk asli Tumasik (nama lampau Singapura) sejak ribuan tahun lamanya. Namun seterkikisnya nasib Etnis Melayu, tetap mereka hidup makmur dengan segala jaminan tunjangannya. Singapura dikuasai non-pribumi tapi menjadi negara maju dengan pengelolaan yang lebih baik, bersih dan benar.
Beda dengan Singapura, maka beda pula di Malaysia. Negara ini adalah persekutuan dari banyak kerajaan pendirinya sebagai owner (pemilik). Disini ras asli Melayu tetap dilindungi nasibnya dan memperoleh hak-hak istimewa melebihi ras imigran. Pada akhirnya ras asli pribumi tetap dapat terjamin dan makmur hidupnya.
Namun sungguh beda pula dengan suatu negeri antah-berantah yang nasib pribuminya sungguh mengenaskan. Bagai anak ayam yang kelaparan di lambung padi. Di negeri yang makmur, gemah-ripah loh jinawi, tanahmya subur sekaligus penuh bahan tambang malah yang menikmatinya hanyalah segelintir orang. Itupun mayoritas dari kaum imigran yang mendapatkan segudang fasilitas dan kemudahan.
Entah negeri mana itu, penulis sendiri juga prihatin bila negeri seperti itu benar-benar ada. Untungnya nasib pribuminya tidak setragis Indian di Amerika, Aborigin di Australia, ataupun Maori di Selandia Baru. Pumpung belum terjadi hal yang memilukan tersebut, maka tidak salah bila semua pribumi bangkit untuk menuntut haknya dan menata diri agar semakin pantas di dalam memajukan bangsanya.
RAHAYU NUSANTARAKU, BANGKITLAH BANGSAKU !!!
Oleh : FAQIH WIRAHADININGRAT, 28 Pebruari 2025
Seruan untuk seluruh Pribumi Nusantara !!!
Mari kita dukung saudara kita yang sedang berjuang dengan mengajukan AMICUS CURAI (Sahabat Pengadilan).
Dukungan tersebut bisa atas nama pribadi, atau atas nama lembaga. Bisa dikirim langsung atau bersama-sama dengan cara dikoordinir ke Mahkamah Konstitusi. Ada baiknya setiap pihak mendokumentasikan suratnya terlebih dahulu dan syukur bila diupload juga di medsos masing-masing.
Tujuannya apa?
NO VIRAL NO JUSTICE
(Bila tidak viral, maka tidak ada keadilan)
Isinya surat tersebut kurang lebih sebagai berikut :
Kepada
Yth. Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Di Jakarta
(Jl. Medan Merdeka Barat No.6, RT.2/RW.3, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110)
Perihal : Amicus Curiae (sahabat pengadilan)
Disampaikan Dengan Segala Hormat,
Kami Warga Negara Indonesia yang bertanda tangan di bawah ini;
Nama : Muhammad Fuad Riyadi
Profesi : Pemimpin Pondok Pesantren
Alamat : Ponpes Roudhotul Fatihah, Pleret, Bantul, DIY
Dalam hal ini atas nama sendiri (bila mewakili ormas sebutkan nama lembaganya) mendukung permohonan Uji Materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 terhadap Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dalam permohonan Nomor 14/PUU/PAN.MK/ARPK/02/2025, yang dimohonkan oleh Sdr. H.M. SUBHAN, S.H., M.H., pada tanggal, 21 Februari 2025, selanjutnya disebut Pemohon.
Alasan kami mendukung permohonan dari Pemohon tersebut, dapat disampaikan sebagai berikut :
1. Agar supaya orang dari bangsa lain yang tidak memiliki pengesahan sebagai warga negara Indonesia tidak dapat ikut dan atau diikutkan dalam pemerintahan Negara Republik Indonesia.
2. Agar supaya Negara Republik Indonesia tidak dipimpin oleh orang lain yang tidak memiliki status sebagai Warga Negara Indonesia
3. Agar supaya Negara disiplin dalam berwarga negara, sebagai implementasi Indonesia Negara Hukum.
Demikian dukungan ini kami berikan agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan dari Pemohon untuk seluruhnya.
Bantul, Jogjakarta, 11 Maret 2025
Muhammad Fuad Riyadi