*Kaidah Epistemologis dalam Sengkarut Klaim Nasab Ba’alwi: Jawaban Ilmiah terhadap Kritik Mukibin Kronis atas 12 Pertanyaan KH Imaduddin Utsman al Bantani*
Klaim keturunan Nabi Muhammad SAW merupakan topik yang sangat sensitif dan penting dalam tradisi keilmuan Islam. Ketika klaim itu dijadikan landasan otoritas sosial-keagamaan, apalagi secara struktural seperti yang dilakukan oleh klan Ba’alwi melalui lembaga semacam Rabithah Alawiyah, maka kajian atas validitasnya harus dilakukan secara akademik, kritis, dan objektif. KH Imaduddin Utsman al Bantani telah mengajukan 12 pertanyaan mendasar yang menguji validitas sejarah, filologi, dan genealogi klaim tersebut. Namun, sebagian pihak menolaknya secara emosional, tanpa menjawab secara substantif.
Tulisan ini adalah tanggapan ilmiah terhadap sebagian komentar dari pendukung fanatik klaim Ba’alwi (disebut mukibin kronis), khususnya yang mencoba membantah dengan mengutip kaidah al-Razi atau membandingkan dengan kasus Syekh Jumadil Kubro.
*I. Kaidah al-Razi vs. Ijtihad Epistemologis KH Imaduddin: Siapa yang Lebih Relevan?*
*A. Penggunaan Kaidah yang Tidak Tepat*
Pihak Ba’alwi sering mengutip kaidah dari Imam Fakhruddin al-Razi:
“عدم الوجدان لا يدل على عدم الوجود”
“Ketiadaan bukti tidak serta-merta menunjukkan ketiadaan.”
Kaidah ini memiliki konteks filosofis dan teologis dalam diskursus keberadaan Tuhan atau hal-hal gaib yang sifatnya metafisik. Namun, ketika digunakan dalam konteks historis dan genealogis, kaidah ini menjadi problematik karena mengabaikan prinsip dasar dalam kajian ilmiah dan sejarah: *beban pembuktian berada pada pihak yang mengklaim.*
*B. Kaidah KH Imaduddin: Falsifikasi sebagai Metode Ilmiah*
Sebaliknya, KH Imaduddin Utsman al Bantani justru menawarkan kaidah yang lebih tepat digunakan dalam kajian nasab:
“عدم الوجدان بعد البحث يدل على عدم الوجود”
“Ketiadaan setelah pencarian serius adalah indikasi kuat atas ketiadaan.”
Ini sejalan dengan metode falsifiabilitas yang dikembangkan oleh Karl Popper—sebuah pilar utama dalam sains modern. Jika suatu entitas (misalnya tokoh Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir) seharusnya tercatat dalam dokumen sejarah abad ke-4–8 H namun tidak ditemukan meski dilakukan pencarian ekstensif, maka klaim keberadaannya secara ilmiah layak ditolak.
*II. Dalil Ushul dan Kaidah Fiqhiyyah yang Menguatkan Ijtihad KH Imaduddin*
*1. Al-bayyinah ‘ala al-mudda’i (البينة على المدعي)*
➤ “Bukti wajib disampaikan oleh pihak pengklaim.”
→ Hadis shahih, berlaku universal dalam hukum dan nasab.
*2. Al-ashlu ‘adam al-nasab hatta yutsbat (الأصل عدم النسب حتى يثبت)*
➤ “Hukum asal nasab adalah tidak ada, sampai terbukti.”
→ Prinsip ini menegaskan bahwa nasab bukan sekadar klaim turun-temurun, tapi data historis yang terverifikasi.
*III. Validitas Historis dalam Ilmu Sejarah: Nasab Harus Terverifikasi*
Tokoh-tokoh besar seperti Imam al-Syafi’i atau Imam al-Ghazali memiliki jejak historis yang lengkap dan valid:
- Jejak vertikal: Nama ayah, kakek, dan keturunan diketahui.
- Jejak horizontal: Disebut oleh tokoh sezaman dan dalam berbagai kitab tarikh.
- Jejak material: Karya tulis, dokumentasi ilmiah, dan penghargaan sezaman.
Sebaliknya, Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir—tokoh sentral dalam nasab Ba’alwi—tidak ditemukan dalam kitab-kitab rujukan utama abad ke-4 hingga ke-8 H, seperti:
- Hilyatul Auliya’ (Abu Nu’aim al-Isfahani)
- Siyar A’lam an-Nubala’ (Adz-Dzahabi)
- Wafayat al-A’yan (Ibnu Khallikan)
Bahkan, Imam Fakhruddin al-Razi sendiri tidak pernah menyebutkan nama tokoh ini dalam karya-karyanya.
*IV. 12 Pertanyaan KH Imaduddin Tidak Berdasarkan 1 Kitab Saja*
Tudingan bahwa KH Imad hanya menggunakan Ibnu Samurah adalah sesat. Faktanya, beliau menggunakan metode perbandingan silang dari banyak kitab mu’tabar, termasuk:
- Al-Fakhri fi Ansab al-Thalibiyyin
- Jamharah Ansab al-‘Arab
- Al-Mu‘jam al-Kabir fi al-Nasab
- Kitab Ba’alwi sendiri seperti al-Shamsu al-Dzahirah
Sementara nama-nama anak Imam Ja’far, Musa al-Kazhim, dan jalur Hasan–Husein tercatat lengkap, justru sosok Ubaidillah hilang dalam periode lebih dari 550 tahun sejarah ilmiah Islam.
*V. Fallacy: Membandingkan Kasus dengan Syekh Jumadil Kubro*
Menyamakan kasus Ubaidillah dengan Syekh Jumadil Kubro adalah analogi keliru:
*1. Syekh Jumadil Kubro tidak mengklaim dzurriyyah Nabi secara struktural dan formal.*
*2. Tidak ada organisasi yang menjadikan nasab beliau sebagai dasar otoritas.*
*3. Akademisi Nusantara sendiri mengakui bahwa nasab beliau masih terbuka untuk diteliti dan tidak dipaksakan untuk diterima.*
Sebaliknya, klan Ba’alwi:
- Mendirikan Rabithah Alawiyah untuk “melacak keturunan Nabi.”
- Menjadikan klaim nasab sebagai sumber kekuasaan keagamaan dan pengaruh politik.
- Mengklaim nasab dengan gap sejarah hampir 3 abad, tanpa bukti primer.
*VI. Fakta Historis tentang Syekh Jumadil Kubro: Bukan Ba’alwi*
Penting diketahui bahwa Syekh Jumadil Kubro:
- Berasal dari marga al-Jailani, keturunan Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
- Bukan dari jalur Ba’alwi atau Hadramaut.
- Berasal dari keluarga yang berhijrah dari Yunan (Tiongkok) ke wilayah yang sekarang disebut Pakistan.
- Nama “al-Kubro” adalah julukan yang dikenal di Pakistan dan bukan eksklusif di Nusantara.
Artinya, klaim seolah beliau bagian dari silsilah Ba’alwi adalah manipulasi historis.
*Kesimpulan*
Kaidah “عدم الوجدان لا يدل على عدم الوجود” tidak bisa dijadikan tameng untuk melindungi klaim nasab yang rapuh secara ilmiah. KH Imaduddin Utsman al Bantani justru membangun pendekatan yang:
- Konsisten secara ilmiah (falsifiabilitas)
- Sahih secara ushuliyyah
- Objektif secara metodologis
jika sebuah klaim nasab:
- Tidak tercatat dalam kitab-kitab tarikh utama,
- Tidak memiliki dokumen primer yang kredibel,
- Tidak dikenali dalam jaringan sosial keilmuan masanya,
- Tidak sesuai dengan hasil uji genetik (misalnya haplogroup J1),
➤ Maka klaim tersebut *gugur secara ilmiah, syar’i, dan moral.*