*Keabsahan Nasab dalam Kajian Sejarah: Peran Kitab Sezaman Menurut Ulama dan Sejarawan*
Dalam kajian sejarah dan genealogi, kitab sezaman adalah syarat mutlak yang tidak bisa ditawar. Tanpa adanya sumber tertulis dari zaman yang sama, klaim mengenai garis keturunan seseorang menjadi lemah dan tidak dapat diuji secara ilmiah .
Para ilmuwan dan ilmuwan dunia menegaskan bahwa setiap klaim sejarah harus didukung oleh sumber primer yang berasal dari periode yang sama. Michael Cook , seorang profesor sejarah Islam di Universitas Princeton, menekankan bahwa:
“Sebuah klaim sejarah yang tidak didukung oleh sumber primer sezaman harus ditinjau ulang, karena banyak catatan sejarah yang dibuat di belakangan sering kali mengandung interpolasi, bias, atau bahkan rekayasa.” (Michael Cook, Sejarah Singkat Dunia Islam , 2013).
Begitu pula Prof.Dr.Manachem Ali , seorang filolog dan akademisi dari Universitas Airlangga, menegaskan bahwa:
“Manuskrip dan kitab sezaman adalah satu-satunya bukti analisis yang valid dalam nasab dan sejarah. Tanpa bukti tertulis dari zaman yang sama, klaim genealogi menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.”
*Mengapa Kitab Sezaman Penting?*
- Menghindari Pemalsuan Sejarah
Tanpa dokumen tertulis sezaman, siapa pun bisa mengaku sebagai keturunan tokoh terkenal. Ibnu Khaldun (1332–1406 M) , seorang sejarawan dan bapak ilmu historiografi Islam, mendalami kitabnya Muqaddimah :
“Banyak kelompok yang mengklaim nasab terhormat untuk meningkatkan status sosial mereka. Seorang peneliti sejarah harus berhati-hati dan hanya menerima klaim yang didukung oleh sumber otentik sezaman.”
Sejarawan lainnya, Prof. Dr. Chase F. Robinson , dalam bukunya Islamic Historiography (2003), mengingatkan bahwa:
“Dalam sejarah Islam awal, banyak dokumen yang dikarang belakangan dengan tujuan politik dan legitimasi sosial. Oleh karena itu, studi sejarah harus didasarkan pada manuskrip sezaman untuk menghindari distorsi.”
- Menjaga Akurasi Data Sejarah
Patricia Crone , seorang pakar sejarah awal Islam dari Institute for Advanced Study, Princeton, menyatakan bahwa:
“Bukti tertulis dari periode yang sama lebih dapat dipercaya dibandingkan catatan yang muncul ratusan tahun setelahnya. Kesaksian langsung lebih bernilai dibandingkan narasi yang dikonstruksi belakangan.” ( Hukum Romawi, Provinsi, dan Islam , 1987).
Dalam konteks studi genealogi, Dr. Michael Hammer , pakar genetika dari University of Arizona, menjelaskan bahwa:
“Sejarah genealogi tanpa sumber tertulis sezaman adalah spekulatif. Penelitian DNA dapat mendukung klaim sejarah, tetapi tetap memerlukan dokumen sezaman sebagai verifikasi.”
- Standar Ilmiah dalam Sejarah dan Silsilah
Dalam metode penelitian sejarah, standar utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah pendekatan historiografi kritis , yang dikembangkan oleh Leopold von Ranke , seorang sejarawan Jerman abad ke-19. Von Ranke menegaskan bahwa:
“Sejarah harus ditulis berdasarkan sumber-sumber primer yang autentik dan sezaman, bukan sekadar narasi lisan atau catatan yang dibuat berabad-abad setelah peristiwa terjadi.”
Metode ini juga dijelaskan oleh Marc Bloch , seorang sejarawan Prancis dan pendiri Annales School , dalam bukunya The Historian’s Craft (1949), bahwa:
“Seorang sejarawan harus skeptis terhadap sumber yang berasal dari periode yang jauh setelah peristiwa terjadi. Keabsahan sejarah hanya dapat dipastikan dengan sumber primer yang sezaman.”
Contoh dalam Sejarah
- Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Silsilah Sultan Hamengkubuwono
Jika seseorang mengaku sebagai keturunan Sultan Hamengkubuwono I , maka catatan resmi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat harus mencatat ketersambungan nasabnya. Jika tidak ada sumber sezaman yang mencatat hal tersebut, maka klaim tersebut tidak sah dan hanya klaim sepihak .
Hal ini sesuai dengan prinsip historiografi kerajaan yang ditegaskan oleh Prof. Peter Carey , akademisi Oxford University yang meneliti sejarah Jawa:
“Setiap silsilah klaim dalam sejarah kerajaan harus ditelusuri berdasarkan arsip istana dan catatan sezaman yang terverifikasi.”
- Nasab Ba’alawi dan Bukti Sezaman
Jika benar Klan Ba’alawi adalah keturunan Alawi bin Ubaidillah , maka harus ada bukti tertulis sezaman dari abad ke-4 Hijriyah yang mencatat keberadaannya. Namun, hingga kini, tidak ada satu pun kitab sezaman yang menyebut nama Alawi bin Ubaidillah .
Sebaliknya, nama ini baru muncul dalam kitab-kitab yang ditulis beberapa abad setelahnya , seperti dalam karya Ali al-Sakran pada abad ke-9 H, yang tidak memiliki referensi dari periode sezaman . Hal ini dikritik oleh Prof. Dr. Robert G. Hoyland , seorang ahli sejarah Arab awal dari Universitas Oxford:
“Nama-nama yang muncul dalam catatan sejarah yang ditulis ratusan tahun setelahnya harus diuji dengan skeptisisme. Tanpa bukti sezaman, klaim tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.” ( Melihat Islam Sebagaimana Orang Lain Melihatnya , 1997).
Manachem Ali juga menemukan bahwa tidak ada bukti otentik dari abad ke-4 H yang menyebut Alawi bin Ubaidillah sebagai tokoh sejarah yang nyata .
Berdasarkan berbagai pendapat para ilmuwan dunia di atas, masyarakat harus memahami bahwa klaim nasab tanpa kitab sezaman adalah tidak valid . Ini tidak sekedar membahas , tetapi persoalan metodologi ilmiah dalam sejarah .
serupa ditegaskan oleh Prof.Dr.Manachem Ali :
“Dalam penelitian ilmiah, klaim sejarah yang tidak memiliki sumber tertulis sezaman harus dianggap sebagai legenda atau mitos sampai terbukti sebaliknya.”
Dengan demikian, jika tidak ada bukti tertulis sezaman , maka klaim tersebut tidak bisa dianggap sah dan harus ditinjau ulang dengan pendekatan ilmiah yang lebih kritis dan objektif .
Referensi Ilmiah:
- Cook, Michael. Sejarah Singkat Dunia Islam . Princeton University Press, 2013.
- Robinson, Chase F. Historiografi Islam . Cambridge University Press, 2003.
- Crone, Patricia. Hukum Romawi, Hukum Provinsi, dan Hukum Islam . Cambridge University Press, 1987.
- Bloch, Marc. Keahlian Sejarawan . Manchester University Press, 1949.
- Hoyland, Robert G. Melihat Islam Seperti Pandangan Orang Lain . Princeton University Press, 1997.
- Carey, Peter. Kekuatan Nubuat: Pangeran Diponegoro dan Berakhirnya Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 . KITLV Press, 2007.
*Pandangan Ulama tentang Pentingnya Kitab Sezaman*
*1. Imam al-Dzahabi (673–748 H)*
Imam al-Dzahabi , seorang ahli sejarah dan kritikus hadis terkenal dalam kitabnya Siyar A’lam al-Nubala’ menegaskan:
Sanad adalah bagian dari agama. Jika bukan karena sanad, maka siapa pun bisa berkata sesuka hati. ( Siyar A’lam al-Nubala’ , jilid 7).
🔹 Makna: Seperti halnya sanad dalam hadis, sejarah juga membutuhkan sanad tertulis yang kuat , yaitu kitab sezaman , agar tak terhingga dari kenangan dan kepalsuan.
*2. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (773–852 H)*
Dalam karyanya Tahdzib al-Tahdzib , Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa:
“Suatu klaim yang muncul setelah ratusan tahun tanpa adanya sumber primer sezaman harus diragukan keabsahannya, karena rentang waktu yang panjang membuka peluang distorsi dan fabrikasi.”
🔹 Makna: Jika sebuah nasab atau peristiwa sejarah tidak memiliki bukti tertulis sezaman, maka kemungkinan besar itu adalah tambahan belakangan yang dibuat tanpa dasar ilmiah .
*3. Imam al-Suyuthi (849–911 H)*
Imam Jalaluddin al-Suyuthi , dalam kitabnya Tadrib al-Rawi , menekankan pentingnya sumber sezaman dalam meriwayatkan hadis dan sejarah:
Riwayat yang tidak bersambung secara mutawatir atau tanpa dukungan kitab sezaman harus dikaji ulang dan tidak bisa diterima tanpa verifikasi yang kuat. ( Tadrib al-Rawi , jilid 1).
🔹 Makna: Nasab yang diklaim tanpa adanya kitab sezaman dari abad yang sama harus ditolak karena tidak dapat dibaca secara ilmiah dan syar’i .
*4. Imam Ibnu Khaldun (732–808 H)*
Sebagai bapak ilmu historiografi Islam , Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menekankan:
“Banyak kelompok yang mengklaim nasab terhormat untuk meningkatkan status sosial mereka. Seorang sejarawan harus berhati-hati dan hanya menerima klaim yang didukung oleh sumber otentik sezaman.”
🔹 Makna: Banyak klaim nasab dibuat untuk kepentingan politik dan sosial , sehingga harus diuji dengan kitab sezaman agar tidak terjebak dalam kegelapan sejarah .
*5. Imam al-Baqillani (338–403 H)*
Dalam kitabnya Al-Intiṣār li al-Qur’ān , Imam al-Baqillani menegaskan bahwa bukti sejarah harus berdasarkan dokumen tertulis sezaman, bukan hanya klaim tanpa dasar :
“Kita tidak boleh menerima riwayat yang muncul berabad-abad setelah kejadian tanpa ada manuskrip sezaman yang mendukungnya. Jika tidak ada sumber sezaman, maka riwayat tersebut adalah keraguan belaka.”
🔹 Makna: Jika klaim nasab atau sejarah muncul tanpa kitab sezaman dari abad yang sama , maka wajib ditolak karena berpotensi besar sebagai fabrikasi .
*Kitab Sezaman dalam Kajian Genealogi (Ilmu Nasab)*
Menurut ulama ASWAJA, klaim nasab harus didasarkan pada dokumen tertulis sezaman , sebagaimana ditegaskan oleh:
🔹 *Syaikh al-Sakhawi (831–902 H) dalam Al-Dhau’ al-Lami’*
“Setiap nasab harus memiliki sanad yang jelas dan didukung oleh kitab sezaman. Jika tidak ada bukti sezaman, maka nasab tersebut perlu diteliti ulang.”
🔹 Makna: Setiap silsilah keluarga harus dapat dilacak melalui kitab-kitab tertulis dari periode yang sama .
Contoh Sejarah yang Dibuktikan dengan Kitab Sezaman
🔹 Silsilah Keturunan Rasulullah ﷺ
Nasab keturunan Rasulullah ﷺ yang sampai kepada Al-Hasan dan Al-Husain terbukti dalam kitab-kitab sezaman, seperti:
✅ Kitab Ansab al-Asyraf karya Al-Baladzuri (w. 279 H)
✅ Kitab Tabaqat Ibnu Sa’d karya Ibnu Sa’d (w. 230 H)
🔹 Nasab yang Tidak Memiliki Bukti Sezaman: Klaim Ba’alawi
Jika benar Klan Ba’alawi berasal dari Alawi bin Ubaidillah , maka harus ada kitab sezaman dari abad ke-4 H yang mencatat namanya.
❌ Namun, tidak ada satupun kitab sezaman yang mencatat nama Alawi bin Ubaidillah dalam silsilah keturunan Rasulullah ﷺ.
📜 Nama Alawi bin Ubaidillah baru muncul dalam kitab Ali al-Sakran yang ditulis pada abad ke-9 H, lima abad setelahnya , tanpa ada referensi sebelumnya.
🔎 KESIMPULAN ULAMA:
➡ Tanpa kitab sezaman, klaim ini tidak bisa diterima secara ilmiah maupun syar’i.
➡ Ulama ASWAJA menegaskan bahwa klaim nasab tanpa bukti tertulis sezaman harus ditolak.
📌Ulama Sunni ASWAJA menegaskan bahwa kitab sezaman adalah syarat utama dalam menelusuri sejarah dan nasab.
📌 Tanpa kitab sezaman, klaim sejarah dan nasab menjadi tidak sah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
📌 Nasab yang diklaim tanpa kitab sezaman harus dianggap sebagai mitos dan spekulasi belaka.
📌 Seperti dalam ilmu hadis, sanad dalam nasab juga harus dihubungkan dengan bukti tertulis sezaman.
📌 Oleh karena itu, klaim Ba’alawi tanpa kitab sezaman adalah klaim yang tidak memiliki dasar ilmiah dan syar’i.
📌 Para ulama ASWAJA seperti Imam al-Dzahabi, Ibnu Hajar, al-Suyuthi, dan Ibnu Khaldun semuanya sepakat bahwa sejarah dan nasab harus didukung oleh bukti tertulis sezaman agar tidak jatuh pada kepalsuan.
Referensi:
- Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’
- Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib
- Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi
- Ibnu Khaldun, Muqaddimah
- Al-Baqillani, Al-Intiṣār li al-Qur’ān
- Al-Sakhawi, Al-Dhau’ Al-Lami’