Kemana Sanad Keilmuan Klan Ba’alwi (Habaib)??

Kemana Sanad Keilmuan Ba’alawi..??

Bahwa Imam al-Rifa’i merupakan ulama keturunan Sayyidina Husain bin Ali bin Abu Thalib alaihimas salam. Nama beliau adalah Ahmad bin Ali bin Yahya bin Sayyid Tsabit bin Hazim bin Ali bin Sayyid Ahmad bin Ali bin Hasan bin Rifa’ah al-Hasyimi bin Sayyid Mahdi bin Muhammad bin Hasan bin Sayyid Husain al-Ridha bin Sayyid Ahmad al-Akbar bin Musa al-Tsani bin Ibrahim bin Sayyid Musa al-Kazhim bin Sayyidina Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zaynal Abidin bin Sayyidina Husain bin Sayyidina Ali bin Abu Thalib. Beliau dilahirkan di Wasith Irak dan wafat di dekat Bashrah pada tahun 576 H.

Sedangkan Abdullah bin Alwi al-Haddad wafat pada abad 12 H atau 8 abad setelah Imam al-Rifai.

Adanya kesamaan susunan wirid antara Imam al-Rifa’i dengan Ratib Imam al-Haddad, terindikasi sebagai plagiasi. Bahwa ajaran dari Imam Musa al-Kazhim yang merupakan pangkal nasab dari Imam al-Rifa’i

Bahwa penamaan wirid itu menjadi Ratib al-Haddad dapat dijadikan sebagai alasan bahwa Imam al-Haddad terindikasi membajak susunan wirid Imam al-Rifa’i.

Dalam kaitannya dengan bacaan doa atau susunan wirid, para ulama tidak saling bajak membajak sesuatu amalan pasti disitu akan diterangkan siapa penyusunnya. Dasar dari susunan wirid adalah periwayatan yang diterima seorang ulama dari guru-gurunya secara berkesinambungan.

Menjadi masalah adalah sampai saat ini belum ada ulama yang meneliti jalur periwayatan wirid ulama keturunan Ba’alawi kecuali pada kitab Istizadah Min Akhbarissadah karya Habib Ali bin Muhsin Assegaf yang banyak bercerita secara lengkap dan detail tentang kesejarahan Klan Ba’alawi.

Faktanya, Abdullah bin Alwi al-Haddad adalah ulama yang tidak punya banyak murid selama hidupnya. Popularitas al-Haddad justru mulai melambung setelah ia wafat.

Mari kita bahas tentang keilmuan leluhur Ba’alawi dalam sejarah. Dalam kitab Al-Istizadah Min Akhbaris Sadah halaman 62, Habib Ali bin Muhsin Assegaf mengutip pernyataan kekek beliau, yaitu Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, mufti Hadramaut yang wafat tahun 1375 H.:

“Sedikit saja dari leluhur Baalawi yang berintisab pada ilmu, mereka (ulama’ ahli sejarah) tidak memuji keilmuan kecuali pada Faqih Mudaddam dan Shahib Mirbath. Mereka tidak menyebut ayah Faqih Muqaddam selain dengan sebutan “alim shufi”.

Juga tidak ada data yang menunjukkan bahwa Al-Muhajir luas ilmunya. Mereka juga tidak menyebut Ubaidillah, Muhammad (bin Ubaidillah), Ali Al-‘Uraidhi dan Ali Khali’ Qasam sebagai ahli ilmu sama sekali.”

Maksud Habib Abdurrahman, masing-masing leluhur Baalawi itu tidak dikenal sebagai ulama’ besar di zamannya, apalagi sampai derajat Imam, lebih-lebih Mujtahid Muthlaq.

Setiap zaman ada ulama’ yang menulis biografi ulama’ besar di zamannya, apalagi sekelas ulama’ Mujtahid Muthlaq, apalagi ahlulbayt..!!

Sepertinya Habib Abdurrahman tidak menemukan kitab sezaman yang mencatat semua leluhur Ba’alawi sebagai ulama’ besar dengan level Mujtahid Muthlaq.

Dalam hal ini beliau berusaha obyektif menilai berita terkait leluhur Ba’alawi yang merupakan leluhur beliau sendiri, beliau berbicara apa adanya sesuai kajian ilmiah beliau, itu bukan berarti kurang menghormati leluhur beliau sendiri.

Artinya, beliau tidak fanatik dan tidak mudah menerima berita pujian walaupun untuk leluhur sendiri. Bahkan beliau tidak mau cerita yang tidak jelas sumbernya itu dibiarkan saja, Khawatir dianggap mengarang cerita untuk mengunggulkan leluhurnya sendiri.

Menurut Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri, orang pertama di Hadhramaut yang alim adalah Syekh Salim bin Abdul Karim Bafadhal, beliau pergi ke Iraq untuk belajar dan menetap di sana selama empat puluh tahun sehingga orang-orang mengira beliau telah meninggal dunia.

Setelah pulang ke Hadhramaut beliaupun mengajar dan diantara murid beliau adalah Sayyid Alwi Ammil Faqih. (Adwar At-Tarikh Al-Hadrami halaman 193-199 yang dinukil didalam kitab Al-Istizadah halaman 622)

Keterangan ini menunjukkan bahwa keluasan ilmu Ammil Faqih yang merupakan salah satu guru Faqih Muqaddam didapat dari Syekh Salim yang belajar ke Iraq, bukan dari ayah beliau sendiri.

Lebih lengkapnya berikut beberapa kutipan dari pernyataan-pernyataan Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf tentang keilmuan leluhur Baalawi:

Keilmuan keluarga Baalawi itu lemah sejak generasi awal di Hadhramaut, kebanyakan guru-guru Faqih Muqaddam itu bukan dari kalangan Baalawi. (Al-Istizadah halaman 67).

Lemahnya keilmuan leluhur Baalawi mungkin dikarenakan mereka terlalu gengsi sebagai keluarga Quraisy, sehingga tidak mau mengalami kehinaan di jalan menuntut ilmu. Makanya sedikit dari mereka yang alim dan mengajar. (Al-Istizadah halaman 68).

Sepertinya ini mirip dengan yang di Indonesia, kami lihat kebanyakan Baalawi gengsi untuk belajar pada ulama’ pribumi.

Sebelum Syekh Abdullah Awadh Abun (Malang) mendirikan Pesantren Darut Tauhid dan Habib Hasan Baharun (Pasuruan) mendirikan pesantren Dalwa, sedikit sekali anak-anak Baalawi yang belajar di pesantren, karena hampir semua pesantren di Indonesia diasuh oleh ulama’ pribumi.

Di Hadhramaut, orang pertama yang meniti jalan tasawwuf adalah Syekh Sa’id bin Isa Al-Amudi dan Faqih Muqaddam. (Al-Istizadah halaman 972).

Banyak juga literatur yang menyebutkan bahwa Faqih Muqaddam bertashawwuf sejak ditegur oleh Abu Madyan, hingga kemudian berbai’at thariqah pada Abu Madyan melalui murid Abu Madyan.

Nah, kalau tashawwufnya saja dimulai dari Faqih Muqaddam, lalu dari mana sanad Thariqah Alawiyah yang katanya turun temurun dari luluhur Baalawi itu…?

Dalam sejarah thariqah, setiap mursyid dalam silsilah sanadnya memiliki banyak murid dan menunjuk salah satu muridnya sebagai khalifah yang akan melanjutkan kemursyidan.

Kalau Faqih Muqaddam adalah orang pertama di Hadhramaut yang meniti jalan tashawwuf dan berthariqah, bagaimana bisa Habaib sekarang mengklaim bahwa sanad thariqah Faqih Muqaddam didapat turun temurun dari leluhur beliau…??!

Maka, sekedar saran, akan lebih aman jikalau sanad Thariqah Alawiyah itu menggunakan sanad Abu Madyan, yang berarti Thariqah Alawiyah adalah cabang dari Thariqah Madyaniyah.

Sebagian orang menyebut madzhab leluhur Baalawi adalah Syi’ah dan ditentang oleh Habaib. Namun ada yang aneh, generasi awal leluhur Baalawi di Hadhramaut tidak ada yang menamakan anaknya dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Orang pertama yang menamakan anaknya dengan Abu Bakar dan Umar adalah Habib Ahmad putra Faqih Muqaddam yang wafat pada tahun 706 H. (Al-Istizadah halaman 111).

Kesimpulannya, berdasarkan pernyataan-pernyataan Habib Muhammad Asy-Syathiri dan Habib Abdurrahman Assegaf di atas, klaim bahwa sanad ilmu dan thariqah Baalawi itu dari leluhur secara turun temurun hingga Sayyidina Ali adalah tidak ada dasar yang valid.

Tentu kita tidak boleh menganggap mereka mengarang atau berbohong, tapi mereka hanya mengira saja; mereka mendapat sanad hingga Faqih Muqaddam, kemudian mereka mengira bahwa beliau mendapat sanad dari ayah atau paman beliau dan seterusnya.

Cerita ini cukup masyhur dan dikutip oleh Habib Abu Bakar Al-Adani bin Ali Al-Masyhur dalam kitab beliau yang berjudul “Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir Wa Abna’uhu Ats-Tsalatsah” halaman 30-31.

Ketika di Yaman tersebar isu yang meragukan nasab Sayyid Ahmad Al-Muhajir, maka berangkatlah Sayyid Ali bin Muhammad bin Jadid bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir ke Makkah untuk berhaji.

Beliau membawa rombongan 100 orang jamaah haji, mereka mampir di Iraq dan Sayyid Ali meminta itsbat nasab pada asyraf di Iraq, beliaupun mendapat istbat disasksikan oleh 100 orang itu.

Kemudian kembali mendapat itsbat di Makkah Al-Mukarramah. Setelah pulang ke Yaman maka 100 orang saksi itu menceritakan semuanya pada penduduk Yaman.

Fakta ini kontradiktif dengan klaim bahwa leluhur Baalawi mulai Faqih Muqaddam hingga Sayyid Ahmad Al-Muhajir semuanya ulama’ besar dengan level Mujtahid Mthlaq.

Kalau semua mereka Mujtahid Muthlaq, apalagi mereka ahlulbayt yang masih dekat dengan zaman Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq, pasti nama dan nasab mereka bukan hanya dikenal dan dicatat oleh ulama sejarah, tapi pasti juga dikenal dan dicatat oleh ulama ahli Hadits dan Fiqih pada zaman masing-masing.

Dengan kata lain, mana mungkin seorang Mujtahid Mutlaq diragukan nasabnya sampai segitunya…!

Al-Janadi ketika menulis biografi ulama dan raja-raja dalam kitab As-Suluk. Mengangkat sejarah salah satu ulama’ keluarga Jadid keturunan Sayyid Ahmad yang bernama Syarif Ali Al-Jadidi Abul Hasan.

Al-Janadi menulis nasab beliau begini: Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bi Jadid bin Abdullah bin Isa.

Seandainya semua leluhur Baalawi –yang katanya satu rumpun dengan keluarga Jadid– adalah ulama berkaliber Mujtahid Muthlaq, niscaya Al-Janadi akan lebih memilih mengangkat nama keluarga Baalawi daripada nama Syarif Ali Al-Jadidi yang hanya ulama biasa, atau minimal akan menyebutkan bahwa Syarif Ali masih famili dengan Sayyid Ali ayah Faqih Muqaddam misalnya, karena Syarif Ali sezaman dengan beliau.

Al-Janadi justru hanya menyebut bahwa Syarif Ali memiliki famili di Hadramaut yang dikenal dengan keluarga Abi Alawi.

Hal ini mengisyaratkan bahwa dari keluarga Abi Alawi saat itu tidak ada ulama’ yang terkenal sampai mancanegara, apalagi sebagai Mujtahid Muthlaq…!!!

Waallahu Alam




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *