Kesesatan Ajaran Ba’alwi: Taubat di Alam Kubur, Kultus Wali, dan Penyimpangan Akidah Tauhid

*Kesesatan Ajaran Ba’alwi: Taubat di Alam Kubur, Kultus Wali, dan Penyimpangan Akidah Tauhid*

(Kitab Tahfatul Ahbab, hal. 225 Oleh Habib Alwi bin Abdullah bin idrus bin ahmad bin shihab)

 

Penjelasan isi kitab ini dibahas oleh KRT. Nur Ikhyak Hadinegoro dalam link berikut:

 

Dalam sejarah Islam, keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, dan rukun iman lain harus bersih dari tahayul, khurafat, dan pemujaan terhadap manusia. Sayangnya, sebagian kelompok seperti klan Ba’alwi justru menyebarkan ajaran-ajaran menyimpang yang mencederai kemurnian tauhid. Artikel ini membongkar doktrin sesat mereka berdasarkan bukti nyata dari dokumen mereka sendiri.

 

  1. Taubat Diterima di Alam Kubur: Akidah Sesat yang Tak Berdasar

Salah satu ajaran menyimpang yang diajarkan dalam lingkungan Ba’alwi adalah konsep taubat yang diterima di alam kubur. Ini merupakan penyimpangan serius dalam akidah Islam, karena bertentangan langsung dengan nash-nash Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW, yang dengan tegas menyatakan bahwa taubat hanya diterima selama seseorang masih hidup dan ruh belum sampai ke kerongkongan.

“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai di tenggorokan.”
(HR. Tirmidzi no. 3537, hasan shahih)

Jika taubat masih bisa dilakukan dan diterima setelah kematian, maka tidak ada gunanya manusia berlomba-lomba dalam amal saleh, menjaga keimanan, dan menghindari dosa di dunia. Pemahaman ini meruntuhkan urgensi hidup sebagai ladang amal, dan menghilangkan rasa takut terhadap siksa akhirat, padahal Allah SWT berfirman:

“Dan tidaklah taubat itu diterima dari orang-orang yang terus menerus melakukan kejahatan, hingga apabila maut datang kepada seseorang di antara mereka, barulah dia mengatakan: ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang’; dan tidak (pula diterima taubatnya) orang-orang yang mati dalam kekafiran. Bagi mereka telah Kami sediakan azab yang pedih.”
(QS. An-Nisa: 18)

Nash ini jelas menegaskan bahwa taubat yang dilakukan setelah datangnya kematian adalah sia-sia dan tidak diterima oleh Allah.

Dalam Islam, setelah seseorang meninggal dunia, semua amalnya terputus, kecuali tiga perkara yang tetap mengalir sebagai pahala baginya:

“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”
(HR. Muslim no. 1631)

Hadis ini menunjukkan bahwa tidak disebutkan taubat sebagai salah satu amalan yang masih mungkin dilakukan setelah mati, karena taubat adalah ibadah hati yang mensyaratkan kesadaran, penyesalan, dan niat untuk memperbaiki diri – yang semuanya hanya mungkin dilakukan selama nyawa masih ada.

*Ajaran Ba’alwi Ini Bertentangan dengan Islam*

Ajaran klan Ba’alwi bahwa taubat diterima di alam kubur adalah keyakinan batil dan sesat, yang menyerupai ajaran tasyayyu’ (Syiah), di mana banyak konsep yang tidak lagi dibangun atas dalil, tetapi atas khurafat dan glorifikasi tokoh.

Keyakinan sesat ini membuka pintu untuk meremehkan dosa dan mengabaikan tanggung jawab hidup, karena menanamkan harapan palsu bahwa pintu taubat masih terbuka setelah kematian. Padahal Rasulullah SAW dan para sahabat selalu menekankan taubat secepat mungkin di dunia, karena kematian bisa datang kapan saja, dan amal ditentukan oleh penutupnya (husnul khatimah atau su’ul khatimah).

“Sesungguhnya amalan itu tergantung pada penutupnya (akhirnya).”
(HR. Bukhari no. 6607)

Oleh karena itu, ajaran ini tidak hanya menyimpang, tapi berbahaya bagi keimanan umat, karena menyimpangkan mereka dari kebenaran yang sudah sangat jelas dalam Al-Qur’an dan sunnah.

 

  1. Kultus Wali yang Mengontrol Ajal: Penyimpangan Besar dalam Akidah

Dalam salah satu literatur internal klan Ba’alwi, diriwayatkan:

“كان الحبيب عبدروس بن أحمد بن علي بن شهاب يقول: أن الفقيه المقدم طلب من ربه لأولاده ثلاثة أشياء: أن لا يموت أحدهم إلا وهو عند رأسه”
(Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Ali bin Syihab berkata: Bahwa al-Faqih al-Muqaddam memohon kepada Tuhannya tiga hal untuk anak-anaknya, salah satunya adalah agar tidak ada dari mereka yang meninggal kecuali dia berada di sisi kepala anak itu ketika meninggal).

❗Makna dan Bahaya Akidah Ini

Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa wali, dalam hal ini al-Faqih al-Muqaddam, memiliki kekuatan metafisik atau spiritual untuk mengatur waktu, tempat, dan kondisi wafat keturunannya, serta selalu hadir di sisi mereka saat ajal tiba, meskipun telah meninggal lebih dulu. Ini termasuk dalam kategori ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap wali dan syirik khafi (kesyirikan tersembunyi).

📖 Dalil Qur’an: Ajal Hanya Allah yang Mengetahui

Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa ajal adalah urusan mutlak milik-Nya:

“وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌۭ بِأَىِّ أَرْضٍۢ تَمُوتُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ”
“Dan tidak seorang pun yang mengetahui apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak seorang pun yang mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.”
(QS. Luqman: 34)

“فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَـْٔخِرُونَ سَاعَةًۭ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ”
“Maka apabila ajal mereka datang, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.”
(QS. An-Nahl: 61)

Ayat-ayat ini menafikan kemampuan manusia, termasuk para wali sekalipun, untuk mengatur ajal. Allah tidak memberikan hak prerogatif itu kepada siapa pun, bahkan para nabi pun tidak mengetahui ajal mereka sendiri, apalagi hadir secara ghaib di setiap kematian keturunannya.

🕌 Penjelasan Ulama Sunni ASWAJA

       A. Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam Ihya’ Ulumuddin

Dalam Bab Kitab al-Tauhid wa al-Tawakkul, al-Ghazali mengingatkan:

“Sesungguhnya makhluk tidak memiliki kekuatan atas sesuatu pun kecuali dengan izin Allah, dan tidak ada makhluk yang mengetahui perkara ghaib, termasuk ajal manusia.”

Imam Ghazali menolak secara tegas pemahaman esoterik yang memberikan kemampuan luar biasa kepada wali di luar batas dalil syar’i. Ia menganggap hal tersebut sebagai bentuk tasyabbuh dengan keyakinan batil kaum batiniyyah.

        B. Imam Nawawi (w. 676 H) dalam Syarh Shahih Muslim

Menjelaskan hadits:

“من مات وهو يعلم أنه لا إله إلا الله دخل الجنة.”
(Barang siapa yang mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, maka dia masuk surga.)

Imam Nawawi menekankan bahwa iman kepada tauhid yang benar mencakup meyakini bahwa hanya Allah yang mengatur hidup dan mati, dan menghilangkan keyakinan batil bahwa wali atau makhluk lain memiliki kekuasaan yang melampaui kodrat.

           C. Syekh Yusuf al-Nabhani (w. 1350 H) – seorang sufi dan pembela ulama

Dalam Jami’ Karamat al-Awliya, Syekh Nabhani banyak menuliskan karamah-karamah wali, namun selalu membatasi bahwa semua itu terjadi dengan izin Allah, dan tidak menyalahi hukum-hukum tauhid dan syariat. Beliau juga tidak pernah menyatakan bahwa wali bisa hadir di waktu kematian keturunannya setelah wafat.

📌 Koreksi Akidah

  • Keyakinan bahwa seorang wali bisa mengatur kehadirannya saat anak cucunya wafat adalah bentuk ghuluw terhadap wali, yang bertentangan dengan akidah Islam yang lurus.
  • Menjadikan wali sebagai penentu ajal atau pengatur nasib adalah bentuk syirik, walau tersembunyi.
  • Ajaran seperti ini tidak dikenal dalam tradisi Sunni Ahlussunnah wal Jama’ah yang mu’tabar, dan lebih dekat kepada paham Syiah batiniyyah yang banyak menjadikan imam atau wali sebagai entitas yang “setengah ilahiah.”

 

  1. Penyebar Ajaran Sesat Ini: Klan Ba’alwi dari Syihab dan Basudan

Dokumen tersebut menyebutkan dengan jelas bahwa pengucap ajaran itu adalah:

Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Ali bin Syihab, yang Menyandarkan ajaran tersebut kepada ayahnya, Abdullah bin Ahmad Basudan

Ini menunjukkan bahwa ajaran sesat tersebut berasal dari tokoh-tokoh Ba’alwi sendiri, yang menjadikannya bagian dari keyakinan turun-temurun dalam lingkungan mereka. Bahkan nama al-Faqih al-Muqaddam (tokoh utama awal klan Ba’alwi) disebut sebagai yang meminta tiga hal ghaib kepada Allah untuk anak-anaknya, salah satunya menjamin kehadirannya saat anaknya wafat, seolah-olah ia bisa menunda ajal.

 

  1. Bahaya Pemikiran Ini: Mengaburkan Tauhid dan Mengangkat Derajat Manusia ke Level Ketuhanan

Ajaran-ajaran seperti ini sangat berbahaya bagi masyarakat awam. Selain mengaburkan akidah tauhid, ajaran ini juga membuat sebagian orang mengagungkan manusia melebihi batas. Mereka dianggap punya kekuatan ilahiah: bisa hadir di kubur orang yang wafat, menerima taubat orang mati, dan menentukan ajal keturunannya.

Ini bukan hanya khurafat, tapi juga penghinaan terhadap ajaran Islam yang suci.

*Kesimpulan: Kembali pada Ajaran ISLAM  yang benar*

Umat Islam harus berhati-hati terhadap ajaran-ajaran yang dikemas dalam nama “habib”, “wali”, atau “keturunan Nabi”, namun menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad SAW yang sebenarnya. Kesesatan seperti menerima taubat di alam kubur, kendali atas kematian, dan kultus wali adalah bentuk nyata dari penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian tokoh dalam klan Ba’alwi, sebagaimana dibuktikan dalam dokumen asli mereka.

 

Waspadalah dan peliharalah tauhid. Islam adalah agama ilmu, bukan mitos.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *