Kiai Abbas, Sosok penuh Karomah, Pahlawan dalam Pertempuran 10 November

Kiai Abbas, Sosok Pahlawan dalam Pertempuran 10 November
Kiai Abbas Abdul Jamil dari Pondok Buntet Pesantren, Kabupaten Cirebon, dijuluki ”Singa dari Jawa Barat”. Dia menjadi salah satu sosok vital dalam pertempuran 10 November 1945.

Perjuangan melawan penjajah pada 10 November 1945 di Surabaya tidak terlepas dari peran kiai dan santri. Salah satunya Kiai Abbas Abdul Jamil dari Pondok Buntet Pesantren, Kabupaten Cirebon. Bahkan, kiai yang dijuluki ”Singa dari Jawa Barat” itu menjadi penentu waktu perang.

Kiai Abbas adalah putra sulung KH Abdul Jamil, keturunan Mbah Muqoyyim yang merupakan pendiri Pondok Buntet Pesantren. Lahir 25 Oktober 1879, Kiai Abbas tumbuh dalam lingkungan pesantren. Ia juga sempat menimba ilmu ke Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur.

Kiai Abbas Buntet Pesantren adalah kiai kharismatik yang dikenal karena kealiman dan keteduhan spiritualnya. Namanya juga dikenal baik di kalangan pesantren dan tokoh nasional pada saat itu. Ia akrab bergaul dengan beberapa tokoh nasional baik dari kalangan Islam maupun nasionalis.

Dari kalangan Islam ia akrab bergaul dengan KH M Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri. Sementara dari kalangan nasionalis, ia akrab bergaul dengan beberapa tokoh seperti HOS. Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantoro, dan Dr Soetomo, serta H. Samanhudi (Pendiri SD) sehingga menjadikannya tokoh yang disegani pada saat itu.

Kiai Abbas juga dikenal sebagai sosok ulama yang mempunyai rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Pertempuran Surabaya pada 1945 menjadi bukti nyata peran besar kiai kelahiran Cirebon, 25 Oktober 1879 itu.
bagi Kiai Abbas, nasionalisme adalah suatu komitmen Bersama dalam menentang segala bentuk penjajahan yang harus dilawan. Oleh sebab itu, mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara adalah Sebagian dari iman. Melepaskan diri dari belenggu penjajah menjadi syarat mutlak untuk menjadi bangsa yang merdeka. Nasionalisme menjadi kesadaran bersama untuk mempersatukan umat Islam dalam rangka berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa.

Sikap nasionalismenya ini tidak lepas dari sikap dan perilaku pendahulunya yakni Mbah Muqoyyim yang selalu non-koperatif terhadap para penjajah. Perlawanan dan pelariannya semasa hidup, menjadikannya sosok yang disegani sekaligus dibenci oleh para penjajah. Inilah yang menjadi dasar bagi Kiai Abbas untuk terus melanjutkan sikap dan kedigdayaannya.

Perang 10 November 1945 di Surayaba

Sebagaimana dikutip NU Online tentang kisah perjuangan Kiai Abbas dengan para kiai dan santri lainnya, dikisahkan bahwa setelah mendapat restu dari KH Hasyim Asy’ari, Bung Tomo menggelorakan pekik takbir dan semangat perlawanan melalui pidatonya yang berkobar-kobar di radio. Mereka yang mendengar pidato dari Bung Tomo langsung bergegas mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Namun, ketika para pasukan ini sudah siap untuk melakukan perlawanan, KH Hasyim Asy’ari menginstruksikan untuk menunggu salah seorang kiai yang ia sebut sebagai Macan dari Cirebon. Kiai yang dimaksudnya adalah Kiai Abbas dari Buntet Pesantren.

Kiai Abbas dikenal memiliki ilmu kanuragan/bela diri tingkat tinggi dan supranatural yang mumpuni. Sesampainya di Surabaya, Kiai Abbas memerintahkan para laskar dan pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudhu dan meminum air yang telah diberi doa.

Sementara itu, Kiai Abbas dan para kiai yang lainnya berada di posisi yang agak tinggi, sehingga bisa memantau jalannya pertempuran. Dengan menggunakan sandal bakyak, Kiai Abbas berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa.

Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit, dan keajaiban pun terjadi. Beribu-ribu talu (penumbuk padi) dari rumah-rumah warga berhamburan terbang menerkang serdadu Belanda. Suaranya tempak bergemuruh bagaikan air bah, sehingga belanda kewalahan dan merekapun mundur. Tidak lama kemudian pihak sekutu mengirim pesawat bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tidab-tiba meledak di udara.

Beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi dengan maksud menjatuhkan bom untuk menghancurkan Kota Surabaya, Tetapi hasilnya nihil, pewasat tersebut lagi-lagi meledak di udara sebelum beraksi.

Cerita tentang kiprah perjuangan dan kesaktian Kiai Abbas adalah kisah nyata ini banyak diamini oleh masyarakat/publik secara luas sehingga sulit dibantah.

Diolah dari berbagai sumber referensi

sumber tulisan: https://jabar.nu.or.id/sejarah/kiai-abbas-dan-perang-10-november-di-surabaya-PB81u

Karomah Kiai Abbas Buntet
Dengan karomah yang dimilikinya, KH Abbas bin Abdul Jamil mampu membuat pasukan Belanda dan sekutunya kocar-kacir.
Kiai Abbas menjadi tokoh sentral dalam pertempuran itu karena didapuk langsung oleh Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari untuk menjadi komandan perang.

Bukan hanya menjadi komandan perang, Kiai Abbas juga yang menentukan hari, tanggal dan waktu dimulainya peperangan.
Meski KH Hasyim Asy’ari memegang penuh otoritas dan komando perjuangan, tetapi Kiai Hasyim Asy’ari tidak mau buru-buru meletupkan perang. Bala tentara rakyat waktu itu diminta Kiai Hasyim menahan diri sampai hadir ‘Macan dari Cirebon’.

Siapa “Macan dari Cirebon’? Sosok yang dimaksud adalah Kiai Abbas, pemimpin pesantren tua yang berdiri sejak abad 17. Kiai Abbas adalah ulama yang tidak hanya dikenal dengan keluasan pengetahuan agamanya, tetapi juga dikenal memiliki ilmu kanuragan/bela diri tingkat tinggi dan ilmu supranatural yang mumpuni. Kiai Abbas juga terlibat dalam penyusunan Resolusi Jihad.
Sesampainya di Surabaya, Kiai Abbas memerintahkan para laskar dan pemuda-pemuda yang akan berjuang melawan penjajah untuk mengambil air wudu dan meminum air yang telah diberi doa.

Setelah meminum air yang telah diberi doa, para pemuda dan rakyat tanpa mengenal takut langsung menyerang tentara Belanda dengan hanya bersenjatakan bambu runcing, dan parang.

Melihat keberanian pemuda Indonesia, para tentara Belanda menghamburkan pelurunya ke segala arah. Korban dari kalangan pemuda sangat banyak sekali. Namun banyak juga serdadu Belanda yang tewas di ujung bambu runcing.

Dalam pertempuran itu, Kiai Abbas dan para kiai lainnya berada di tempat yang agak tinggi, hingga bisa memantau jalannya pertempuran. Dengan menggunakan sandal bakyak, Kiai Abbas berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa.

Kiai Abbas menengadahkan kedua tangannya ke langit, dan keajaiban terjadi. Beribu-ribu talu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu–serdadu Belanda.

Suaranya tampak bergemuruh bagaikan air bah, sehingga Belanda kewalahan dan mereka pun mundur. Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara.

Beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi dengan maksud menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya. Tetapi sekali lagi, pesawat-pesawat itu mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum beraksi.

Sesepuh Pondok Pesantren Buntet Cirebon, KH Jaelani Imam menuturkan, salah satu alasan Kiai Hasyim menunjuk Kiai Abbas sebagai komandan perang 10 November adalah, karena musuh memiliki kemampuan yang di luar nalar manusia.

Kiai Jelan menambahkan, Jendral Malabby, bukan sekadar sosok seorang jendral yang ahli berperang, tapi juga memiliki ilmu hitam yang sangat tinggi. Bahkan, sebelum peristiwa 10 November terjadi, Jendral Mallaby menunjukkan kesaktiannya di depan umum.

“Jendral Mallaby ditembak menggunakan Bren, namun tidak apa-apa,” kata Kiai Jelan dikutip dari laman buntetpesantren.id, Rabu (9/11/2022).

Mendapatkan informasi tersebut, akhirnya Kiai Hasyim Asya’ri menyerahkan masalah tersebut kepada Kiai Abbas. Selain, Kiai Hasyim juga memiliki pertimbangan lainnya, kenapa menunjuk Kiai Abbas sebagai pemimpin perang 10 November.

Untuk bisa melawan Jendral Malabby, Kiai Abbas akhirnya memberikan amalan kepada para santri yang saat itu akan terlibat dalam perang.

Berikut amalan dari Kiai Abbas yang diberikan kepada para santri :

اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللّٰهِ

Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah

لَا مَوْجُوْدَ اِلَّا اللّٰهُ

La Maujuuda Illallah

Tidak ada yang wujud kecuali Allah

لَا مَعْبُوْدَ اِلَّا اللّٰهُ

Laa Ma’buudun Illallah

Tidak ada sesembahan yang pantas disembah kecuali Allah

لَا مَطْلُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ

Laa Mathluuba Illallah

Tidak ada yang pantas dipatuhi dan ditaati kecuali Allah

بِسْمِ اللّٰهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّٰهِ

Bismillaahi tawakkaltu ‘alallah

Dengan menyebut nama Allah, hamba bertawakkal kepada Allah

لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللّٰهِ

Laa haula walaa quwwata illa billahi

Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah

Kiai Abbas hanya membacakan sebanyak tiga kali bacaan itu, dan harus langsung dihafal. “Tidak boleh ditulis, tapi langsung dihafal,” ujar Kiai Jelan.

Kiai Jelan menuturkan, amalan tersebut dibaca tiga kali dan langsung harus dihafal. Saat diijazahkan oleh Kiai Abbas, hanya sekitar 80 santri saja yang bisa lulus. Salah satu dari 80 santri itulah, yang akhirnya bisa menembak mati Jendral Malabby sebelum perang 10 November terjadi.

Editor: Kastolani Marzuki
sumber tulisan: https://jabar.inews.id/berita/bukan-senapan-ini-karomah-kiai-abbas-buntet-saat-pimpin-perang-10-november/all




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *