Klan Habib Baalwi, Dulu Antek Penjajah Belanda Kini Penjajah Bangsa Nusantara
Penulis dari Swedia, Juri Lina, pada tahun 2004 menulis buku kontroversial “Architects of Deception—The Concealed History of Freemasonry” mengungkapkan bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri:
1. Kaburkan sejarahnya;
2. Hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya;
3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.[1]
Hari ini Klan Habib Baalwi terbukti melakukan tiga hal yang disebutkan Juri Lina di atas. Klan Habib Baalwi melakukan upaya pelemahan dan penjajahan kepada kita, Bangsa Nusantara. Bukti-buktinya empiris bertebaran di mana-mana dengan kuantitas yang banyak.
Mari kita lihat dari perspektif lain modern.
KH. Tamam Munji dalam podcast Padasuka TV berjudul ‘PBNU Serius Sikat ‘Penyimpangan’ Sejarah NU, Bagaimana Sikap Terhadap Polemik Nasab?’[2] mengungkapkan dari perspektif Gramsci dan Foucault, Kyai Tamam menyatakan “Baalwi sah sebagai penjajah!”:
… penjajahan itu yang maklum kita kenal itu melalui kekerasan, melalui pertumpahan darah. Tapi itu penjajahan yang sangat klasik. Ada penjajahan yang modern yaitu melalui ilmu pengetahuan. Jadi relasi kuasa itu bisa ditempuh dengan cara klasik seperti yang saya sebutkan tadi melalui senjata tapi ada relasi kuasa itu yang diciptakan dengan cara yang sangat modern yaitu melalui pengetahuan. Ini bisa dibaca dari teori Michael Foucault. Kemampuan ilmu pengetahuan yang. diciptakan oleh kelompok tertentu untuk kehendak kuasa ini dengan cara yang sangat lembut dan tersistematik dan pada puncaknya inilah nanti akan muncul sebuah hegemoni di tengah masyarakat dan itu bisa dibaca dengan teori Antonio Gramsci. Dari dua teori ini Baalwi itu sudah sah sebagai penjajah dari perspektif modern yaitu dari perspektif Antonio Gramsci maupun dari perspektif relasi kuasa Michael Foucault.
Mari kita lihat preseden historis di mana pelaku kejahatan dan penjajahan juga sama yaitu Klan Habib Baalwi.
KH. Imaduddin dalam tulisan berjudul ‘Kesaksian Ulama Yaman Tentang Peran Ba’alwi dalam Pemalsuan Sejarah Hadramaut’[3] mengutip Abdullah bin Shalih yang memaparkan peranan Klan Habib Baalwi sebagai ‘hewan peliharaan lokal’ penjajah Inggris di Hadramaut.
Baca Juga
MUI Terima Aliansi Pecinta Ulama Nusantara, Bahas Soal Kesesatan Oknum Habib Melecehkan Seksual
Membedah Awal Mula Polemik Nasab (Dibalik Safari PWI-LS Klaten Ke Jawa Timur)
Buku Jawaban Rabitah Alwiyyah Dan Pembela Nasab Ba’alwi Lainnya Mentok Di Abad Ke-9 Hijriah (Kini Baklawi Fokus Membuat Iklan)
Menjawab Kitab Al-Idzhar Karya Ahmad Bin Aud Bin Alwi Al Ibrahim Dari Kesultanan Oman
Dalam hal apa yang dilakukan penjajah Inggris di Hadramaut melalui hewan peliharaan lokalnya yaitu Klan Habib Baalwi, Abdullah bin Shalih mengutip perkataan seorang politisi Jerman: “Hapuslah sejarah rakyat dan setelah satu generasi mereka akan berubah menjadi sekumpulan warga biasa dan setelah generasi berikutnya Anda akan mampu memerintah mereka, seolah-olah mereka adalah sekawanan domba”. Juga ia mengutip ucapan politisi lainnya : “Kami mengalahkan mereka bukan ketika kami menyerbu mereka, tetapi ketika kami membuat mereka melupakan sejarah dan peradaban mereka”.
Terang-benderang, saksikanlah, Klan Habib Baalwi melakukan upaya-upaya penjajahan dengan pattern yang sama persis dulu di Hadramaut sana dan kini di Nusantara sini.
Lalu bagaimana pandangan militer? Mari kita lihat.
Jendral Ahmad Nurwahid, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di podcast ‘Polemik Nasab Habib, Distorsi Sejarah, Pemalsuan Makam, dan Relasinya Dengan Cinta Tanah Air’[4] bersama penulis, Dr. Sugeng Sugiharto, Kyai Imad, Tb. Mogi Nurfadil Satya dan Gus Fuad Plered; penulis bertanya apakah pemalsuan makam itu bisa dikategorikan sebagai suatu ancaman bagi eksistensi bangsa dan negara Indonesia? Beliau menjawab:
.. yang harus kita waspadai untuk menjaga ketahanan nasional bangsa Indonesia yaitu ideologi politik sosial ekonomi budaya ya hukum maupun keamanan dan pertahanan itu kan tadi ya kelompok-kelompok neokolonialisme termasuk radikalisme terorisme tadi itu, selalu mereka memanipulasi, mendistorsi agama kemudian menghancurkan budaya dan kearifan lokal. Nah barangkali kalau yang ditanyakan tadi relevansinya di situ ‘menghancurkan budaya tradisi dan kearifan lokal’. Dan yang paling bahaya adalah menghilangkan, membiaskan dan menyesatkan sejarah bangsa sehingga bangsa ini enggak punya PD, enggak punya kehormatan, kebanggaan dan cenderung inferior atau kalau orang Malaysia (bilang) namanya Indon ya. Nah seperti itu.
Itu karena kita terlalu lama dijajah dan boleh dibilang kita merdeka secara teritorial tapi sekali lagi tadi ya, kita di era asimetris war atau proxy war. Ini kan selalu apa yang disampaikan oleh Gus Fuad tadi selalu kita ada penjajahan spiritual, penjajahan ekonomi, penjajahan budaya dan lain sebagainya ini yang harus menjadi kewaspadaan kita kemudian kelompok-kelompok neokolonialisme tadi juga ingin memecah belah di di antara anak bangsa mengadu domba di antara bangsa dan yang harus dicatat bahwa mereka ini kan sebenarnya kan gerakan politik ya ekstremisme kanan kiri lainnya termasuk radikal liberalisme kebebasan yang melanggar etika, moral maupun akhlak. Itu semuanya gerakan politik sebagai kelanjutan daripada kolonialisme tadi…
Penulis ambil 3 (tiga) poin substansi dari jawaban Jendral Ahmad Nurwahid mengenai kelompok neokolonialisme termasuk radikalisme terorisme:
Selalu memanipulasi atau mendistorsi agama;
Selalu menghancurkan budaya, tradisi, dan kearifan lokal;
Yang paling berbahaya adalah menghilangkan, membiaskan dan menyesatkan sejarah bangsa sehingga bangsa ini tidak memiliki kepercayaan diri, tidak punya kehormatan, kebanggaan dan cenderung inferior.
Klan Habib Baalwi melakukan tiga poin di atas. Klan Habib Baalwi memenuhi kriteria kelompok neokolonialisme dan radikalisme terorisme. Serta, berdasar keterangan Jendral Ahmad Nurwahid, Klan Habib Baalwi melakukan hal yang paling berbahaya bagi Bangsa kita, Indonesia Nusantara, yaitu membiaskan dan menyesatkan sejarah bangsa.
Kita telah mengetahui keterangan dari Juri Lina, Antonio Gramsci, Michael Foucault, ulama Yaman sendiri yaitu Abdullah bin Shalih, dan dari perspektif militer, Jendral Ahmad Nurwahid. Dari keterangan-keterangan itu sangat jelas dan sahih Klan Habib Baalwi menjajah Bangsa Nusantara (Indonesia). Anda, keluargamu dan Bangsamu sedang dijajah oleh Klan Habib Baalwi. Sadarilah: keselamatanmu, keluargamu, dan Bangsamu dalam keadaan terancam bahaya oleh Klan Habib Baalwi Imigran Yaman Cucu Yuya Dukun Firaun.
Dari sini pula kita memahami bahwa, Wahai Bangsa Nusantara, ketahuilah: jiwa Klan Habib Baalwi bukanlah Indonesia. Jika Klan Habib Baalwi berjiwa Indonesia tentu hatinya tidak akan mau melakukan kejahatan fatal semacam itu kepada bangsa Nusantara sebab dengan melakukannya mereka akan melihat itu sama artinya membahayakan, melukai bahkan membunuh dirinya sendiri. Manusia normal tidak akan sudi melakukan hal-hal yang merugikan dan melukai dirinya sendiri.
Lantas apa yang membuat Klan Habib Baalwi tega berbuat kejahatan fatal kepada kepada Bangsa Nusantara? Jawabannya: karena Klan Habib Baalwi melihat dirinya bukan Indonesia. Klan Habib Baalwi memandang dan memposisikan dirinya sebagai suatu entitas yang terpisah dan berbeda dari Bangsa Nusantara, Indonesia. Klan Habib Baalwi dan Indonesia dua entitas yang berbeda. Jika Indonesia terluka dan terbunuh, mereka memandang dirinya tidak terluka dan terbunuh, yang terluka dan terbunuh adalah orang lain yaitu Bangsa Nusantara yang tidak ada hubungan sama sekali dengan dirinya. Begitulah paradigma mereka.
Mungkin sebagian dari Anda memandang mereka sebagai saudara, namun sayangnya Klan Habib Baalwi tidak memandangmu sebagai saudara. Klan Habib Baalwi memandangmu hanya laksana hewan buruan yang sudah sewajarnya dicabik-cabik demi keuntungan dan kepentingan eksistensial mereka sendiri. Mereka tak peduli apa yang terjadi padamu, pribumi Nusantara, sepanjang kepentingan mereka tidak dalam bahaya. Prof. Azyumardi Azra mengemukakan preseden historis itu: mereka mengabaikan penindasan Belanda kepada kaum muslim pribumi sepanjang kepentingan mereka tidak dalam bahaya[5].
Sudah 100 tahun lebih mereka dihidupi tanah Nusantara, dimaklumi, dimengerti, diterima, bahkan diperlakukan dengan baik hingga sangat baik oleh pribumi Nusantara; namun paradigma dan behaviour Klan Habib Baalwi tidaklah berubah semenjak zaman dulu di mana pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara sebagai antek penjajah Belanda dalam menindas pribumi Nusantara, hingga sekarang telah berlalu lebih dari 100 tahun pun tetap saja mereka tidak berubah bahkan berani tanpa ragu-ragu menjadi penjajah itu sendiri. Dalam durasi sepanjang itu, kita telah menyaksikan dengan terang benderang seterang matahari di siang hari keteguhan hati dan keistiqomahan Klan Habib Baalwi untuk tidak memandang dirinya Indonesia dan tidak memandang pribumi Nusantara sebagai saudaranya.
Oleh karena Klan Habib Baalwi telah membuktikan dalam durasi demikian panjang mengenai keteguhan hati dan pikirannya bahwa mereka bukan Indonesia, rasanya sungguh tidak sopan apabila kita tak mengapresiasi, tak kita amini, tak kita berikan dan tak kita wujudkan. Sungguhlah amat buruk akhlak kita apabila memaksa mereka untuk menjadi Indonesia padahal mereka berteguh hati tidak mau. “Kami habib, kami Hadramaut, kami bukan Indonesia” itulah keteguhan hati mereka. Sebagai wujud akhklakul karimah, mari kita kabulkan, Saudara. Mari terima saja dengan legowo keteguhan hati mereka itu: Baiklah, kami Indonesia, kalian bukan kami, mereka bukan kita, mereka bukan Indonesia.
Penulis: Kgm. Rifky Zulkarnaen
Sumber tulisan : https://rminubanten.or.id/klan-habib-baalwi-dulu-antek-penjajah-belanda-kini-penjajah-bangsa-nusantara/
[1] https://kumparan.com/firdza-radiany/pengaburan-sejarah-adalah-kejahatan-terbesar-belanda-terhadap-indonesia/4
[2] https://www.youtube.com/live/QHs-BZUcIgY?si=Re3h-z1DCJlCD6GW&t=5393
[3] https://www.nahdlatul-ulum.com/kesaksian-ulama-yaman-tentang-peran-baalwi-dalam-pemalsuan-sejarah-hadramaut/
[4] https://www.youtube.com/live/4S8K3Leva7s?si=nmboHUAmuO8r0fIv&t=2931
[5] Dr. Muhammad Noupal, M. Ag. KONTROVERSI TENTANG SAYYID UTSMAN BIN YAHYA (1822-1914) SEBAGAI PENASEHAT SNOUCK HURGRONJE. Anual International Conference on Islamic Studies (ACIIS XII). Hal 1388.