Kontroversi Haul Solo: Menyoal Penghormatan Sejarah dan Identitas Lokal

*”Kontroversi Haul Solo: Menyoal Penghormatan Sejarah dan Identitas Lokal”*

*Pendahuluan*
Peringatan Haul Solo yang diselenggarakan untuk Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, seorang tokoh yang dimakamkan di Seiyun, Hadramaut, menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat Solo, Jawa Tengah. Pertanyaan utama adalah mengapa nama Solo digunakan untuk haul seseorang yang tidak dimakamkan di sana, padahal Solo memiliki sejarah panjang dan kaya akan tokoh-tokoh Islam terkemuka yang telah berkontribusi besar dalam penyebaran Islam jauh sebelum kedatangan Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi ke Solo.

 

*Sejarah dan Kehormatan Lokal yang Perlu Dihormati*
Solo merupakan kota dengan akar Islam yang mendalam dan sejarah kesultanan yang membanggakan, termasuk Kesultanan Surakarta dan Mangkunegaran, serta pengaruh besar Walisongo dalam penyebaran Islam di Jawa. Tokoh-tokoh seperti Sunan Kalijaga, Sultan Agung, dan ulama besar lainnya memainkan peran penting dalam membangun peradaban Islam di Solo. Pondok Pesantren Jamsaren, yang berdiri sejak 1750 pada masa Sultan Pakubuwono IV, menjadi simbol kekuatan pendidikan Islam lokal sebelum kedatangan imigran dari Hadramaut.

 

*Islam dan Penghormatan terhadap Adat dan Tokoh Lokal*
Islam mengajarkan pentingnya menjaga akhlak, menghormati adat, dan menghargai jasa tokoh yang membangun peradaban di suatu wilayah. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 13:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Ayat ini mengajarkan bahwa setiap kelompok memiliki keistimewaan tersendiri yang harus dihormati. Konsep imigrasi dalam Islam juga mencakup kewajiban untuk menghormati adat, tata cara, dan masyarakat lokal. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

*Masalah Sosial dan Etika Imigran*
Kehadiran Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi di Solo seharusnya menjadi momen untuk mempererat hubungan antara masyarakat lokal dan pendatang. Namun, penyelenggaraan haul yang mengabaikan kontribusi lokal dan lebih mengedepankan tokoh asing, seperti Habib Ali, bisa menimbulkan rasa tidak dihargai. Clifford Geertz, dalam bukunya The Religion of Java (1960), menekankan bahwa ulama lokal berperan besar dalam membentuk identitas keagamaan masyarakat Jawa. Penghormatan terhadap sejarah dan tokoh-tokoh lokal merupakan elemen penting dalam menjaga identitas sebuah wilayah.

 

*Distorsi Sejarah dan Identitas Lokal*
Pertanyaan mendasar adalah mengapa haul untuk tokoh yang dimakamkan di Hadramaut diadakan di Solo, sementara Solo memiliki sejarah panjang dan tokoh-tokoh besar dalam perkembangan Islam? Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi adalah tokoh yang dihormati dalam kalangan tertentu, tetapi tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sejarah Solo. Merujuk istilah Haul Solo untuk memperingati tokoh yang tidak berkontribusi langsung dalam sejarah kota ini bisa dianggap sebagai upaya mereduksi kontribusi tokoh lokal. Sejarawan terkemuka Indonesia, Prof. Dr. Anhar Gonggong, menekankan bahwa penghargaan terhadap sejarah lokal adalah kunci dalam menjaga identitas suatu bangsa.

 

*Kontradiksi Penggunaan Istilah Haul Solo*
Secara terminologis, istilah “haul” merujuk pada peringatan tahunan atas kematian seseorang, sedangkan “Solo” merujuk pada komunitas yang hidup dan berkembang. Menggabungkan dua istilah ini untuk tokoh yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan Solo adalah kontradiksi yang menyesatkan. Klaim bahwa Haul Solo diadakan atas nama keluarga imigran yang menetap di Solo juga tidak cukup kuat untuk mewakili kota dan masyarakat Solo.

 

*Haul Solo: Penghargaan Terhadap Tokoh Lokal*
Solo memiliki banyak tokoh lokal yang berperan besar dalam penyebaran Islam, seperti para Walisongo dan sultan-sultan Surakarta, yang selayaknya lebih dihormati dalam acara haul. Dalam tradisi haul yang diakui secara luas, haul wilayah biasanya diadakan untuk mendoakan auliya dan ulama yang berkontribusi dalam kehidupan spiritual masyarakat setempat. Mengadakan Haul Solo untuk tokoh dari Yaman yang tidak terkait dengan sejarah lokal hanya mereduksi nilai sejarah dan identitas Solo.

 

*Kesimpulan*
Istilah Haul Solo yang digunakan untuk memperingati Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi tidak relevan secara terminologi, sejarah, maupun etika. Solo dengan sejarah Islam yang kuat memiliki tokoh dan institusi yang sudah eksis jauh sebelum kedatangan imigran dari Hadramaut. Menggunakan nama kota Solo untuk haul seseorang yang dimakamkan di luar Solo merupakan tindakan yang mereduksi kontribusi tokoh lokal dan merampas sejarah kota. Penghormatan terhadap sejarah dan tokoh-tokoh lokal adalah kewajiban dalam menjaga identitas suatu wilayah.

Referensi:

  • Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat: 13.
  • Clifford Geertz. The Religion of Java. 1960.
  • Prof. Dr. Anhar Gonggong, Sejarah dan Nasionalisme di Indonesia.
  • Hadits Shahih Bukhari dan Muslim.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *