*KEDATANGAN HABIB YAMAN KLAN BA’ALAWI DAN SEJARAH KELAMNYA DI INDONESIA*
Tulisan KH Imaduddin Al-Bantani
Abad ke-19 adalah masa gelombang migrasi besar-besaran keluarga Ba’alwi dan imigran Yaman lainnya ke Nusantara. Menurut Jajat Burhanuddin, ini menyusul perubahan kebijakan Kolonial Belanda yang secara perlahan menjadikan wilayah Jawa dan kepulauan lain di Nusantara terbuka bagi pasar internasional.
Perpindahan mereka ke Nusantara didorong oleh faktor kemiskinan. Negeri Hadramaut pada akhir abad ke-19 itu mengalami perang saudara antara Al-Quwaiti dan AlKhatiri, mereka memperebutkan kekuasaan di Hadramaut. Bahkan kekayaan Hadramaut tahun 1930 hanya dapat memenuhi kebutuhan seperempat penduduknya. Padahal, penting dicatat, pada tahun itu 20 sampai 30% penduduk Hadramaut tinggal diberbagai Negara Lautan India.
Di Nusantara, mereka bekerja di bidang perkebunan, karyawan pabrik, tukang kebun, kurir dan lain-lain. Selain itu, ada juga yang bekerja pada pemerintahan kolonial Belanda seperti Utsman bin Yahya yang diangkat menjadi mufti (yang bertugas berfatwa) Belanda di Batavia. Utsman pulalah yang kemudian mengalami benturan dengan ulama-ulama Banten yang merupakan murid-murid Syekh Nawawi dan Syekh Abdul Karim. Hal itu disebabkan fatwa keagamaan Utsman tentang haramnya pemberontakan kepada Belanda, dan mereka yang melakukannya dianggap terkena delusi agama. Fatwa itu terkait pemeberontakan rakyat Banten pada tahun 1888 M. Fatwa ini termaktub dalam kitab Manhaj al-Istiqamat fi al-Din bi al –Salamat yang dikarang oleh Utsman pada tahun 1889 M. Beberapa peristiwa ini pulalah yang mengakibatkan sedikitnya keluarga Ba’alwi belakangan ini yang tinggal di Banten, berbeda dengan beberapa daerah lain di Indonesia. Menurut Jajat Burhanudin lagi, setelah dilantik sebagai pegawai Snouck Hurgronje, Utsman membuat do’a khusus untuk Ratu Belanda, Wilhelmina, seraya memuji ‚Sang Ratu‛ dengan menyebut Ratu Belanda itu sebagai ‚Ratu yang baik‛. Doa itu dibacakan tanggal 2 September 1898 di masjid Pekojan setelah solat jum’at.
Seperti di Pulau Jawa, di Aceh juga tidak jauh berbeda, terjadi penghianatan dari oknum Ba’alwi terhadap perjuangan rakyat Aceh dalam melawan Belanda, bahkan lebih mengenaskan. Van den Berg Menyebutkan, seorang Ba’alwi, Abdurrahman al-Zahir, yang diberikan kedudukan tinggi di Kerajaan Aceh, malah kemudian menggembosi perjuangan rakyat Aceh dari dalam. Ia yang diberi amanah sebagai salah seorang panglima perang, kemudian malah bekerja sama dengan Belanda dengan bersedia meninggalkan pasukannya dalam gerilya jaminan mendapat gajih seumur hidup sebanyak 30.000 Gulden. M.Adil Abdullah dalam sebuah artikel mengatakan: ‚Sebagai ‚hadiah‛ terhadap sikap lunak Habib Abdurrahman, dia pada tanggal 13 Oktober 1878 bersama teman temannya Teuku Muda Baet memilih menyerah kepada Belanda di Kuta Raja. Sebagai ketidakseimbangannya Gubernur Hindia Belanda (Indonesia) Jenderal Van Lansberge di Batavia (Jakarta) bersedia memberangkatkan Habib Abdurrachman Az Zahir dan pengikutnya ke Jeddah dengan kapal NV Cuaracao. Dia sendiri, menurut para peneliti sejarah, telah mendapat pensiun dari pemerintah Belanda 10.000 dolar per bulan atas jasa ‚menjual bangsanya‛ kepada Belanda. …Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, keluarga Ba’alwi banyak yang aktif dalam perpolitikan Indonesia, termasuk DN Aidit yang menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Pengakuan bahwa Aidit adalah marga Ba’alwi yang diungkapkan oleh anak Aidit, Ilham Aidit. Aidit kemudian dijatuhi hukuman mati di Boyolali pada tanggal 23 November 1965 karena pengkhiantan kepada Negara Indonesia. Selain Aidit, marga Ba’alwi yang menjadi anggota PKI juga adalah Ahmad Sofyan Baroqbah. Ia dieksekusi Mati pada 19 Januari 1974, setelah diburu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia selama bertahun-tahun di hutan Kalimantan Barat. Seorang marga Ba’alwi di Kalimantan Timur, Fahrul Baraqbah, juga anggota PKI yang ditangkap pasca meletusnya peristiwa 1965.
Marga Ba’alwi mengaku sebagai keturunan Nabi Besar Muhammad Saw. yang di mulai dari datuk mereka yang bernama ‘Alwi bin ‘Ubaidillah. Menurut mereka, ayah ‘Alwi, ‘Ubaidillah, adalah anak Ahmad bin ‘Isa. Nasab lengkap ‘Alwi kepada Nabi Muhammad Saw., menurut mereka, adalah sebagai berikut:
‘Alwi (w.400 H.>.) bin ‘Ubaidillah (w.383 H.) bin Ahmad (w.345 H.) bin ‘Isa alNaqib (w.300 H.) bin Muhammad al-Naqib (w.250 H.) .) bin ‘Ali al-‘Uraidi (w.210H.) bin Ja’far al-Sadiq (w.148 H.) bin Muhammad al-Baqir (w.114 H.) bin Ali Zaenal Abidin (w.97 H.) .) bin Sayidina Husain (w.64 H.) bin Siti Fatimah al-Zahra (w.11 H.) binti Nabi Muhammad Saw. (w.11 H.).12 Sayangnya, nasab seperti di atas tersebut, tidak terkonfirmasi dalam kitab-kitab nasab primer yang mu’tabar (yang diakui oleh ahli). Kesimpulan seperti itu bisa dijelaskan, karena kitab-kitab nasab yang ditulis berdekatan dengan masa hidupnya Ubaidillah tidak mencatat namanya sebagai anak dari Ahmad bin Isa, sebagaimana akan penulis jelaskan di depan.