*Madura, Celurit, dan Citra yang Perlu Dijaga*
Masyarakat Madura dikenal sebagai kelompok yang tangguh, pekerja keras, dan memiliki loyalitas tinggi terhadap keluarga dan agama. Namun dalam realitas sosial hari ini, kita dihadapkan pada tantangan yang cukup serius: bagaimana menjaga citra suku Madura agar tidak tergerus oleh ulah segelintir oknum yang menyimpang dari nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur.
Celurit, sebagai simbol kebudayaan dan perlawanan terhadap ketidakadilan, seharusnya menjadi lambang kehormatan. Tapi dalam beberapa waktu terakhir, kita melihat bagaimana celurit berubah makna—dari lambang harga diri menjadi simbol intimidasi yang tidak pada tempatnya. Apalagi jika dipertontonkan di ruang publik sembari menyanyikan lagu-lagu bernuansa keagamaan yang telah diplesetkan, atau digunakan dalam demonstrasi yang menyulut provokasi.
Fenomena ini bukan sekadar soal “gaya berekspresi”, tapi menyangkut citra kolektif. Di era digital, apa yang viral di media sosial dengan mudah dijadikan dasar penilaian oleh masyarakat luas. Sayangnya, potret Madura yang mereka lihat bukanlah cerminan dari sosok-sosok intelektual Madura seperti Prof. Mahfud MD, Dr. Mun’im Sirry, atau ulama moderat seperti KH Zuhairi Misrawi. Yang mereka lihat adalah potongan-potongan video aksi kelompok kecil yang menyuarakan provokasi dengan simbol kekerasan.
Ini merugikan kita semua.
*Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024* menyebutkan bahwa tingkat literasi dan partisipasi pendidikan tinggi di kalangan masyarakat Madura masih tergolong rendah dibandingkan suku-suku besar lain di Indonesia. Ini bukan aib—tapi realita yang harus dihadapi dan diubah. Karena ketika literasi rendah, maka masyarakat mudah dipengaruhi, mudah dihasut, dan mudah dimanfaatkan oleh kepentingan yang tidak berpihak pada mereka.
Para pemuda Madura harus sadar: *bukan dengan celurit atau orasi penuh emosi kita bisa memperjuangkan harga diri suku*, melainkan dengan ilmu, akhlak, dan kontribusi nyata terhadap bangsa. Caranya? Fokus belajar. Bangun jaringan. Berani berdialektika. Kuatkan mental dan wawasan.
Madura tidak kekurangan ulama dan guru yang alim serta berwibawa. Kita punya kiai-kiai sepuh di pesantren-pesantren yang dengan tenang, dalam kesunyian, terus mengalirkan ilmu yang bersih dari agenda politik dan provokasi. Mereka tak pernah memamerkan kekerasan. Tak pernah menggunakan agama sebagai alat untuk mencaci dan membakar amarah. Dari merekalah kita seharusnya belajar.
Jika ingin menegakkan nilai Islam dan memperjuangkan syariat, maka *jalan pertama adalah ilmu*, bukan emosi. *Panutan yang tepat adalah mereka yang berilmu dan berakhlak*, bukan yang hanya pandai berorasi dan menebar kebencian.
Kita semua mencintai Madura. Dan karena cinta itulah, kritik ini muncul. Agar generasi Madura tak tumbuh sebagai obyek eksploitasi politik dan provokasi, tetapi sebagai subyek pembangunan dan peradaban. Bangsa ini membutuhkan Madura yang cerdas, bukan Madura yang dicap keras. Madura yang memberi solusi, bukan menjadi masalah.
Mari kita jaga bersama harga diri kita sebagai orang Madura. Jangan biarkan oknum-oknum kecil merusak citra besar yang telah dibangun oleh para tokoh Madura sepanjang sejarah. Waktunya mengubah paradigma: dari celurit ke literasi, dari emosi ke edukasi, dari provokasi ke kontribusi.