Manfaat Dari Mengetahui Nasab
Oleh : Husni Mubarok Al Qudusi
Manusia hidup di dunia tidak mungkin terlepas dari unsur keterikatan, baik terikat dengan alam, dan lingkungan. Misalnya dia lahir dan hidup di daerah mana, bagaimana lingkungan dan keluarga serta masyarakat sekitarnya.
Begitu pula keterikatan manusia melalui jalur darah atau nasab yang kemudian populer disebut silsilah, dzuriyyah yang meliputi buyut, kakek, ayah, ibu, anak, cucu dan seterusnya. Dalam salah satu hadis disebutkan:
“Rasulullah bersabda: Kenalilah nasab-nasabmu, maka tali persaudaraanmu akan terus bersambung. Sesungguhnya jika tali persaudaraan terputus, maka hubungan itu menjadi jauh meskipun sebetulnya dekat. Sebaliknya, tali persaudaraan itu menjadi dekat bilamana kamu terus menyambungnya sekalipun telah jauh hubungannya.” (Mustadrak Hakim dan Sunan Baihaqi)
Redaksi di atas sangat jelas bahwa suatu hubungan darah meskipun cukup jauh, tapi bisa dekat ketika jalinan silaturahim tetap dipupuk dan dilestarikan dari generasi ke generasi.
Salah satu contoh, dalam struktur silsilah Jawa generasi, biasanya anak menyebut orang tuanya dengan sebutan Bapak/Bapa dan Ibu/Biyung, sedang orang tuanya Ibu Bapak disebut Simbah atau Eyang. Lalu orang tuanya Simbah disebut apa..?
Berikut adalah istilah untuk level keturunan (ke bawah) dan level leluhur (ke atas) dalam Bahasa Jawa :
Moyang ke-18. Mbah Trah Tumerah
Moyang ke-17. Mbah Menya-menya
Moyang ke-16. Mbah Menyaman
Moyang ke-15. Mbah Ampleng
Moyang ke-14. Mbah Cumpleng
Moyang ke-13. Mbah Giyeng
Moyang ke-12. Mbah Cendheng
Moyang ke-11. Mbah Gropak Waton
Moyang ke-10. Mbah Galih Asem
Moyang ke-9. Mbah Debog Bosok
Moyang ke-8. Mbah Gropak Senthe
Moyang ke-7. Mbah Gantung Siwur
Moyang ke-6. Mbah Udheg-udheg
Moyang ke-5. Mbah Wareng
Moyang ke-4. Mbah Canggah
Moyang ke-3. Mbah Buyut
Moyang ke-2. Simbah, dalam bahasa Indonesia disebut Eyang
Moyang ke-1. Bapak / Simbok
Sedang dari level bawah ke atas sebagai berikut :
Keturunan ke-1. Anak
Keturunan ke-2. Putu, dalam bahasa Indonesia disebut “cucu”
Keturunan ke-3. Buyut, dalam bahasa Indonesia disebut “cicit”
Keturunan ke-4. Canggah
Keturunan ke-5. Wareng
Keturunan ke-6. Udhek-Udhek
Keturunan ke-7. Gantung Siwur
Keturunan ke-8. Gropak Senthe
Keturunan ke-9. Debog Bosok
Keturunan ke-10. Galih Asem
Keturunan ke-11. Gropak waton
Keturunan ke-12. Cendheng
Keturunan ke-13. Giyeng
Keturunan ke-14. Cumpleng
Keturunan ke-15. Ampleng
Keturunan ke-16. Menyaman
Keturunan ke-17. Menya-menya
Keturunan ke-18. Trah tumerah.
Semua itu bisa tetap terjaga bilamana rutin mengadakan pertemuan antar keluarga. Orang jawa sendiri sudah tidak terlalu memperhatikan dengan nama keturunan trah. Selain itu orang-orang jawa tidak tahu dengan sebutan trah keluarga karena rata-rata orang sekarang ini usianya 60-100 tahun sehingga untuk keturunan cuma sampai mbah buyut.
Ketika di antara mereka yang sesama generasi tersebut tidak terjalin silaturahim, maka potensi putusnya tali persaudaraan pada generasi setelahnya akan cukup besar. Inilah yang sangat dikuatirkan. Padahal Rasulullah sangat memperhatikan persoalan ini.
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad, telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubarak dari Abdul Malik bin Isa Ats Tsaqafi dari Yazid Maula Al Munba’itsi dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Belajarlah dari nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturrahmi karena silaturrahmi itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga dan memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” Abu Isa berkata: Ini merupakan hadits gharib melalui jalur ini. Sedangkan makna mansaatun fil atsar adalah memperpanjang umur” (HR Tirmizi)
Dengan demikian, manfaat dari mengetahui nasab adalah:
1. Mempererat persaudaraan.
2. Memperkenalkan generasi muda dengan yang tua.
3. Menjalin hubungan antar sesama generasi.
4. Mengingat kembali bahwa mereka semua berasal dari leluhur yang sama.
5. Menyambung tali persaudaraan yang renggang atau bahkan putus.
6. Menambahkan rejeki.
Nasab ini sangat urgen sekali, terkhusus untuk mengetahui kejelasan identitas seseorang. Saking urgennya, ada bidang ilmu tersendiri yang khusus memelajari nasab. Ilmu Nasab ini sering disebut dalam Bahasa Arab sebagai ‘Ilm al-Ansaab. Tujuan dari disusunnya ilmu ini adalah untuk mencegah dari kesalahan dalam menyebut nasab seseorang serta menjaga dari para pemalsu dan pencangkok nasab.
Peletak pertama ilmu ini ialah Imam Hisyam bin Muhammad bin as-Saib al-Kalbi (w. 204 H). Beliau menyusun lima kitab yang populer dalam ilmu ini, yaitu al-Manzil, al-Jamharah, al-Wajiz, al-Farid, dan al-Muluk.
Seberapa pentingkah mengetahui nasab leluhur, kakek nenek buyut kita? Jawabannya pasti ada yang bilang penting, ada yang bilang tidak.
Jawaban berbeda karena sebab faktor di belakang serta kesejarahannya. Di dunia ini ada seseorang yang mati-matian mencari nasab keluarganya dan ada yang mati-matian menutup siapa dirinya. Ya karena segala sesuatu pasti ada nilai baik dan buruknya.
Bagi orang yang berkemelut berbagai masalah, bisa karena faktor politik dan kekeluargaan di masa lampau, sehingga menjadikannya terusir dari tanah kelahiran dan terasingkan dari keluarga, biasanya ia akan menutup jati dirinya selamanya.
Berbeda dengan orang yang lahir menjadi orang yang biasa, biasanya ia akan menanyakan siapa dirinya, siapa leluhurnya, dan lain sebagainya.
Saiya ulangi lagi, apakah penting mengetahui nasab leluhur? Saiya jawab penting. Karena nasab leluhur bisa menjadi motivasi dan spirit kehidupan bagi keturunannya. Banyak orang yang menjadi alim karena tafaulan (mengikuti jejak leluhurnya) kepada kakek buyutnya yang alim juga.
Contoh, seseorang yang selalu diceritakan oleh orang tuanya bahwa nasabnya tersambung dengan raja-raja di nusantara, seperti Demak dan Mataram Islam.
Selalu diceritakan kehebatan leluhurnya dalam memimpin negeri dan mengusir penjajah, kehebatan dalam melestarikan budaya, kehebatan dalam ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Karena sering diceritakan terus menerus dalam setiap momen, baik nasehat pribadi maupun forum keluarga, maka memicu seorang cucu yang juga ingin memiliki kepribadian leluhurnya.
Hal ini menjadi bukti, bahwa orang tua yang mengenalkan nasab kepada anak keturunannya bisa menjadikan suri tauladan, meski biasanya ada sisi negatifnya, yakni, seperti memiliki sifat gumede, atau sombong karena memiliki nasab mulia.
Sehingga banyak yang hanya membanggakan nasab tetapi tidak menjadi baik, tidak meneladani leluhurnya yang baik, dan bahkan ada yang memperbudak manusia yang lainnya dengan dalih dia orang mulia karena nasabnya/keturunannya orang yang mulia, maka wajib dimuliakan.
Dan ketika tidak dimuliakan ia akan berdoa jelek kepada orang tersebut. Dan lebih parahnya lagi banyak masyarakat yang tunduk dengan orang yang seperti ini, padahal akhlaknya tidak baik, tidak mencontoh leluhurnya.
Jika memang menginginkan keadilan, maka bersikaplah humanis, hormati semua manusia beserta hak-haknya, baik yang nasabnya tersambung dengan leluhurnya, maupun yang terputus karena mati obor.
Akan tetapi maksiat semacam itu bisa diubah. Sifat sombong bisa diubah sedari kecil, ketika orang tua hanya setelah anaknya dewasa untuk menceritakan tentang kehebatan nasab dan leluhurnya, juga wajib mengajarkan bahwa manusia tidak boleh sombong dengan nasabnya, karena faktanya nasab tidak menjamin kebaikan jika seorang tidak berusaha baik dan meniru leluhurnya.
Maka hasilnya akan menjadikan seorang sosok yang tawadlu, rendah diri, meski seorang yang alim dan memiliki nasab yang mulia. Karena mengetahui nasab juga bisa mendapatkan tiga kemuliaan, yakni meneladani leluhur yang dijadikanya ibrah, mengetahui banyak saudara dan sanak famili dan juga menjadikan banyak silaturahmi.
Wallahu Alam