*Membahas Nasab Nabi Muhammad SAW: Kewajiban Adab dan Cinta Umat, Bukan Urusan Ikut-Ikutan*
Di tengah gempuran relativisme dan sikap masa bodoh yang merasuki sebagian umat, muncul ungkapan yang menyakitkan bagi pencinta Nabi Muhammad SAW: “Tak perlu ikut-ikutan bahas nasab Nabi, itu bukan urusan kita.” Ungkapan ini bukan sekadar keliru, melainkan bentuk kelalaian dalam menjaga kehormatan (marwah) Rasulullah SAW.
Padahal, dalam tradisi Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah, segala hal yang berkaitan dengan Nabi SAW justru dipelajari, diteladani, dan dijaga dengan penuh kehati-hatian dan takzim—bahkan sampai perkara kecil seperti cara beliau tidur, makan, dan berwudhu.
Dalil Kewajiban Menjaga Kehormatan Nabi SAW
Allah SWT berfirman:
“وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ”
“Agar kamu memuliakan dan menghormatinya (Nabi Muhammad).”
(QS. Al-Fath: 9)
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa bentuk ta’zhim (penghormatan) kepada Nabi Muhammad SAW berlaku *sepanjang masa*, termasuk menjaga nama baik, kehormatan pribadi, serta garis nasab beliau dari segala bentuk pemalsuan dan klaim dusta.
Dalam kitab Asy-Syifa karya al-Qadhi ‘Iyadh—ulama besar Sunni dari kalangan Maliki—disebutkan:
*”Termasuk bagian dari mencintai Nabi SAW adalah membela kehormatan dan keluarganya, menjaga nasabnya, serta membantah orang-orang yang mendustakan atau memalsukannya.”*
(Asy-Syifa, Juz 2, hlm. 250)
Maka tidak ada alasan logis, apalagi teologis, untuk bersikap apatis terhadap nasab Nabi SAW yang sedang disusupi oleh klaim-klaim palsu seperti yang dilakukan oleh klan Ba’alwi, yang terbukti secara *genetik (haplogroup G)* dan *historis* tidak bersambung kepada Nabi Muhammad SAW yang berasal dari jalur *Hasyimi Quraisy (haplogroup J1)*.
*Mengapa Umat Wajib Membahas Nasab Nabi SAW?*
- *Karena Ini Urusan Marwah Rasulullah SAW*
Menjaga kehormatan Nabi bukan sekadar kewajiban ulama atau ahli nasab, tapi juga tanggung jawab seluruh umat. Sama seperti umat memperdebatkan detail fiqih thaharah, maka menjaga kemurnian keturunan Nabi adalah kewajiban yang lebih utama. - *Karena Pemalsuan Nasab Menyebabkan Fitnah dalam Agama*
Imam Malik bin Anas berkata:
*”Barangsiapa mengaku bahwa seseorang adalah bagian dari keluarga Nabi padahal bukan, maka ia berdosa besar, dan wajib bagi hakim untuk menghukumnya.”*
(Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, dan disebutkan pula oleh Imam As-Suyuthi dalam An-Nahjah as-Sawiyyah fi al-Asanid asy-Syafi’iyyah)
Dalam konteks ini, ulama Ahlus Sunnah seperti *KH Imaduddin Utsman al Bantani* telah melakukan kajian sejarah, filologi, dan genetika yang menunjukkan adanya pemalsuan sistematis nasab oleh klan Ba’alwi. Maka umat bukan hanya boleh membahas ini, melainkan *wajib turut meluruskannya* sebagai bentuk bela Nabi Muhammad saw.
3. *Karena Mengikuti Sunnah Nabi Adalah Menjaga Segala Hal yang Terkait Beliau*
Umat Islam mencatat secara detail cara Nabi SAW buang hajat, cara berwudhu, cara tidur di sisi kanan, bahkan jumlah helai uban di rambut beliau. Apakah setelah semua itu, tiba-tiba kita justru tidak peduli saat ada pihak yang *mengklaim keturunan* dari beliau secara *palsu?*
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa bentuk kecintaan kepada Nabi SAW adalah *menjaga segala yang berhubungan dengan beliau, termasuk keluarganya, peninggalannya, bahkan peninggalan nilai-nilai dan sejarah hidup beliau*.
*Kesimpulan: Membahas Nasab Nabi Bukan “Ikut-Ikutan”, Tapi Ibadah dan Adab*
Umat Islam tidak boleh memandang polemik nasab Nabi sebagai perkara sepele. Ini bukan urusan iseng atau ikut-ikutan, melainkan bentuk nyata dari mahabbah dan adab kita kepada Nabi Muhammad SAW. Jika sunnah beliau dalam hal wudhu saja dijaga, apalagi soal nasab dan kehormatan keluarganya.
Membiarkan klaim palsu beredar tanpa bantahan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah ilmu dan akal sehat. Maka siapa pun yang menuduh bahwa pembahasan nasab ini tidak penting, berarti tidak memahami kedudukan Rasulullah SAW dalam Islam.
*”Kalau kita cinta kepada Nabi Muhammad SAW, maka segala yang berkaitan dengan beliau adalah penting.”*
(KH Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah)
*Referensi:*
- Al-Qur’an Surah Al-Fath: 9
- Al-Qadhi ‘Iyadh, Asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, Dar al-Fikr
- Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir al-Kabir
- Imam Malik bin Anas dalam Hilyatul Auliya
- Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
- KH Imaduddin Utsman al Bantani, Kajian Nasab Ba’alwi
- Prof. Dr. Manachem Ali, Filologi dan Genealogi Islam
- Dr. Sugeng Sugiarto, Studi Haplogroup dalam Penelitian Nasab