Membedah Klaim Sejarah tentang H. Mutahar: Antara Fakta dan Glorifikasi

Membedah Klaim Sejarah tentang H. Mutahar: Antara Fakta dan Glorifikasi

Husein Mutahar adalah seorang tokoh nasional yang dikenal sebagai pencipta lagu Syukur dan Hari Merdeka, serta memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam penyelamatan Bendera Pusaka. Namun, klaim bahwa ia berasal dari Klan Ba’alwi masih perlu diselidiki lebih lanjut dan tidak dapat diterima begitu saja tanpa bukti ilmiah yang kuat.

Tulisan yang telah banyak beredar di media adalah bentuk glorifikasi terhadap H. Mutahar dengan latar belakang latar belakang sebagai bagian dari Klan Ba’alwi yang sebetulnya masih harus diteliti lebih lanjut. Dari segi fakta sejarah, memang benar bahwa H. Mutahar adalah seorang komponis besar dan memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, terutama terkait lagu-lagu nasional dan Bendera Pusaka. Namun, ada beberapa poin dalam tulisan ini yang perlu dikritisi:

 

*1. Nasab Bukan Penentu Kontribusi Sejarah*

Dalam tulisan yang beredar di publik (media internet), disebutkan bahwa H. Mutahar memiliki nasab Ba’alwi melalui garis keturunan dari seorang tokoh bernama Habib Husin Vad’aq Ba’alwi. Namun, klaim ini tidak relevan dengan kontribusinya terhadap bangsa. Perjuangan dan pengabdian seseorang terhadap negara tidak ditentukan oleh garis keturunan, melainkan oleh tindakan dan jasa yang nyata.

Sejarah menunjukkan bahwa banyak tokoh besar Indonesia yang berjuang tanpa mengandalkan klaim nasab. Pahlawan seperti Jenderal Sudirman, Bung Tomo, dan Tan Malaka dihormati bukan karena keturunan mereka, tetapi karena perjuangan nyata mereka dalam kemerdekaan.

 

*2. Minimnya Bukti Keterlibatan dalam Perjuangan Fisik*               

Tulisan tersebut  yang menyebutkan bahwa H. Mutahar terlibat dalam Perang Lima Hari di Semarang. Namun, tidak ada sumber resmi atau bukti sejarah yang menunjukkan bahwa ia memang ikut dalam pertempuran tersebut. Jika benar ia memiliki peran signifikan dalam perang tersebut, mengapa tidak ada dokumentasi dalam literatur sejarah yang mencatat peran aktifnya?

Banyak pejuang kemerdekaan yang memiliki rekam jejak jelas dalam perjuangan fisik, seperti pertempuran bersenjata atau strategi perang. Tanpa bukti konkret, klaim ini lebih cenderung bersifat glorifikasi daripada fakta sejarah.

 

*3. Strategi Klaim Ba’alwi dalam Tokoh Nasional*

Ada pola berulang dalam penulisan sejarah yang dilakukan oleh Klan Ba’alwi: mereka sering menghubungkan tokoh-tokoh nasional dengan garis keturunan Ba’alwi untuk memperkuat legitimasi mereka. Hal ini juga pernah terjadi pada tokoh-tokoh lain seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, KRT Sumadiningrat, dan lainnya yang diklaim sebagai bagian dari keturunan mereka.

Strategi ini adalah upaya untuk menanamkan kesan bahwa peran Ba’alwi dalam sejarah Indonesia sangat besar, padahal tidak semua klaim tersebut memiliki dasar historis yang kuat. Dalam kasus H. Mutahar, kontribusinya dalam menciptakan lagu-lagu nasional sudah cukup dihargai tanpa perlu embel-embel keturunan.

 

*4. Lagu Syukur dan Al-Fatihah: Klaim yang Berlebihan*

Mukibin menulis bahwa lagu “Syukur” terinspirasi dari Surat Al-Fatihah karena memiliki pola tujuh ketukan yang mirip dengan jumlah ayat dalam surat tersebut. Namun, klaim ini tampak lebih sebagai upaya membangun narasi spiritual daripada fakta komposisi musik.

Dalam teori musik, penggunaan pola tujuh ketukan bisa saja murni berdasarkan pertimbangan musikal tanpa ada hubungan langsung dengan ayat Al-Qur’an. Jika benar ada hubungan tersebut, maka seharusnya ada pernyataan eksplisit dari H. Mutahar sendiri yang didukung oleh dokumentasi tertulis atau wawancara yang kredibel.

 

*5. Gelar Pahlawan Nasional Harus Berdasarkan Kontribusi Nyata*

Tulisan tersebut menyoroti bahwa H. Mutahar belum mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Namun, penganugerahan gelar tersebut harus melalui kajian mendalam oleh sejarawan dan pemerintah berdasarkan kontribusi nyata terhadap bangsa.

Banyak tokoh nasional yang lebih berperan dalam perjuangan fisik dan politik masih belum dianugerahi gelar tersebut. Oleh karena itu, penganugerahan gelar bukan berdasarkan latar belakang keturunan, tetapi berdasarkan pencapaian yang memiliki dampak luas bagi perjuangan bangsa.

 

*Kesimpulan*

Tulisan yang mengangkat sejarah H. Mutahar ini lebih bersifat glorifikasi ketimbang analisis sejarah yang objektif. Upaya menonjolkan garis keturunan sebagai bagian dari kontribusi seseorang terhadap negara adalah bentuk manipulasi narasi yang sudah sering dilakukan oleh Klan Ba’alwi.

Kontribusi H. Mutahar dalam dunia musik nasional Indonesia tetap dihargai, tetapi tidak perlu dicampuradukkan dengan klaim nasab atau glorifikasi berlebihan. Sejarah Indonesia harus didasarkan pada fakta yang dapat diverifikasi, bukan narasi yang dikonstruksi untuk kepentingan kelompok tertentu.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *