Membedah Misteri Wali Qutub
Dalam ajaran al-Imam Muhyiddin Ibn Arabi, wali yang tertinggi dinamakan (القطب) “Al-Quthb” (kutub) atau poros alam. Ia kadang juga dinamakan (الغوث) “Al-Ghauts” (penolong) atau (سلطان الأولياء) “Sulthan al-Auliya’” (raja para wali). Akan tetapi, sebagian membedakan antara Sulthan al-Auliya’ atau Ghauts dengan Quthb.
Menurut pandangan ini, semua Sulthan al-Auliya’ adalah Quthb, tetapi tidak semua Quthb adalah Sulthan al-Auliya’/Ghauts al-Adham (الغوث الأعظم).
Ada pula yang menyatakan bahwa maqam kedudukan “Wali al-Ghauts” ini merupakan pangkat tertinggi paling puncak yang menempati satu tingkat lebih tinggi di atas Wali Quthb dan satu tingkatan dibawah Nabi Khaidir as.
Ada juga keterangan yang menyebut dengan istilah “Quthb al-Aqtab” (قطب الأقطب) atau kutubnya kutub. Ada pula keterangan menyebutkan Quthb memiliki dua wakil, yakni dinamakan Wali Aimmah (ولي الأئمة).
Salah satu wali Aimah, yakni “Imam Kanan” hanya mengetahui (عالم الملكوت) Alam Malakut (alam kekuasaan, alam gaib); dan yang satunya, “Imam Kiri” hanya mengetahui (عالم الملك) Alam Mulk (alam kerajaan, alam dunia jasmani).
Quthb al-Ghauts adalah pusat daya-daya spiritual. Ia mengumpulkan semua maqam. Ia adalah kutub semesta lahiriah maupun semesta batiniah, yang semuanya berputar di sekelilingnya, seperti Ka’bah yang menjadi sumbu perputaran dalam thawaf.
Kadang-kadang Quthb diberi kekuasaan eksternal (politik) atas seluruh umat. Empat khalifah pertama pasca Nabi (Khalifah Abu Bakar bin Shiddiq, Khalifah Umar bin Khattab Khalifah Utsman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib) adalah Quthb Agung atau Sulthan al-Auliya, yang memiliki kekuasaan politik.
Tetapi kebanyakan Quthb hanyalah penguasa rohani, dan tidak memiliki kekuasaan politik. Abu Yazid al-Bosthami dan Maulana Rumi ialah contoh dari jenis wali ini. Mayoritas wali Quthb tidak memiliki kekuasaan eksternal.
Dalam setiap zaman hanya ada satu Quthb, atau dalam pendapat lain, satu Sulthan Auliya, di mana semua wali berputar di sekelilingnya dan pandangan ini hampir disepakati, seperti dijelaskan oleh Hakim al-Tirmidzi, Syekh al-Akbar Ibnu ‘Arabi, dan al-Hujwiry.
Meski sudah menjadi kesepakatan hanya ada satu Sulthan Auliya di setiap zaman, namun dalam kenyataan sejarah kita kerap menjumpai kabar bahwa ada lebih dari satu syekh sufi yang hidup dalam kurun waktu yang sama, atau berdekatan, tetapi dianggap sebagai Quthb atau sulthan Auliya.
Demikian pula, dalam setiap tarekat, sering kali muncul klaim bahwa pendiri tarekat, yang sama-sama hidup dalam kurun waktu yang relatif sama, atau beberapa mursyid penerusnya menempati kedudukan maqam Qutub. Bahkan, di masa sekarang pun terdapat beberapa kabar ada wali Qutub lebih dari satu yang berada di beberapa tempat.
Barangkali Quthb yang dimaksud di sini seperti yang disinggung oleh Syekh al-Akbar Ibn Arabi, yakni Quthb untuk maqam spiritual tertentu. Karenanya, dalam maqam tawakal, misalnya, terdapat satu Quthb, tempat manifestasi tertinggi dari maqam spiritual tertentu pada zamannya.
Ibnu ‘Arabi sendiri, misalnya, dikenal sebagai Sulthan al-‘Arifin (rajanya orang berpengetahuan), sedangkan Maulana Rumi ialah Sulthan al-Muhibbin (rajanya para pencinta). Atau, persoalannya pada “zaman” Quthb hanya satu untuk setiap masa, tetapi persoalannya “masa” atau zaman yang mana?
Jika sudah bicara dunia spiritual, waktu adalah relatif, nonlinier, dan ada banyak alam selain alam dunia ini, yang berarti juga ada banyak masa atau zaman. Bagaimanapun, ini akan tetap menjadi misteri, dan kita orang awam hanya bisa berspekulasi berdasarkan keterangan-keterangan.
Ibn Arabi di dalam kitab “Futuhat al-Makiyyah” menyatakan bahwa ada 84 kategori wali, dan 35 di antaranya memiliki batas pada masa tertentu. Keterangan dari Ibnu ‘Arabi ini juga dikutip oleh Syekh Yusuf an-Nabhani dalam kitab “Jami’ Karamah al-Auliya’.”
Kedudukan spiritual wali terdiri dari tingkatan-tingkatan dari yang tertinggi hingga yang terendah. Masing-masing derajat ini sesuai dengan tingkatan realisasinya. Tetapi ada beberapa pandangan tentang maqam atau kedudukan kewalian yang berbeda-beda, dan berikut ini beberapa di antaranya.
Menurut Syekh Hakim al-Tirmidzi, ada lima kategori umum wali:
– Al-Budala (البدلاء), wali-wali pengganti, yang berada pada derajat kedekatan
– Al-Akhyar (الأخيار) orang-orang pilihan, manusia yang memilih Allah dan karenanya Allah pun memilih mereka
– Al-Abrar (الأبرار), “orang-orang baik, mereka adalah orang-orang yang amalnya bebas dari segala sesuatu selain Allah
– Al-Muhadditsin (المحدثين), orang yang dijaga dengan kebenaran oleh Allah.
– Khatam al-Auliya’ (خاتم الأولياء), penutup para wali. Kedudukannya berada di atas semua kedudukan wali.
Menurut Syekh Husain Kamal, jumlah golongan wali dalam tradisi Tarekat Chistiyyah disebutkan ada:
– 1 orang Quthb al-Auliya
– 70 orang Wali Nujaba
– 300 orang Wali Nugaba
– 500 orang Wali Akhyar
– 25 orang Wali Abrar
– 4 orang Wali Autad
– 40 orang wali Abdal.
Menurut Imam al-Hujwiry, berdasarkan keterangan para sufi ahli kasyaf ada:
– 1 orang Wali Quthb
– 3 orang atau 12 orang menurut Ibnu ‘Arabi wali Nuqaba
– 4 orang Wali Autad
– 40 orang Wali Abdal atau 7 orang versi Ibnu ‘Arabi
– 300 orang Wali Akhyar,
– 4.000 orang Rijalul Ghaib.
Lantas, bagaimana dalil tentang kebenaran keberadaan mereka?
نفع الله به ما عدة رجال الغيب وما الدليل على وجودهم (فأجاب) بقوله رجال الغيب سموا بذالك لعدم معرفة أكثر الناس لهم، رأسهم الغيث الفرد الجامع جعله الله دائرا فى الافاق الاربعة أركان الدنيا كدوران الفلك فى أفق السماء وقد ستر الله أحواله عن الخاصة والعامة غيرة عليه
Syekh Ibnu Hajar pernah ditanya tentang maqam kewalian Rijalul Ghaib (wali-wali yang tersembunyi) dan apa dalil tentang adanya kebenaran keberadaan mereka?
Imam Ibn Hajar menjawab, “Mereka dinamakan Rijalul Ghaib, sebab kebanyakan manusia tidak mengetahui keberadaan mereka. Mereka dipimpin oleh seorang wali yang bermaqam Al-Quthub al-Ghauts; tempat berputarnya empat arah dunia, sebagaimana berotasinya astronomi Galaxi di langit. Allah menyembunyikan keberadaan mereka dari orang-orang bermaqam khas maupun awam.”
Dimanakah Wali Ghauts itu berada?
وروى الخطيب فى تاريخ بغداد عن الكنانى أنه قال النقباء ثلاثمائة، والنجباء سبعون والبدلاء أربعون والأخيار سبعة والعمد أربع والغوث واحد. فمسكن النقباء المغرب ومسكن النجباء بمصر ومسكن الأبدال الشام والأخيار سياحون في الأرض والعمد زوايات الأرض، ومسكن الغوث مكة….الخ
Imam Al Khatib di dalam Kitab “Tarikhul Baghdad” dari Imam Al-Kanani berkata bahwa Wali Nuqaba berjumlah 300 orang, Wali Nujaba berjumlah 70 orang, Wali Budala’ (wali abdal) berjumlah 40 orang, Wali al-Akhyar berjumlah 7 orang, Wali al-Amd berjumlah 4 orang, sedangkan wali Al-Ghauts berjumlah 1 orang.
– Wali Nuqaba’ terbanyak di Maghrib/Di Barat.
– Wali Nujaba’ terbanyak di Mesir.
– Wali Abdal terbanyak di Syam.
– Wali Al-Akhyar berkelana di muka bumi.
– Wali Al-‘Amd berada di pojok Bumi.
– Wali Al-Ghauts berada di Makkah al-Mukarramah.
Jadi, jelaslah bahwa menurut keterangan dari para ulama yang masyhur menyatakan bahwa tugas dan kedudukan tempat tinggal Wali Quthub al-Qhauts itu bertempat tinggal Makkah al-Mukarramah.
Kebanyakan Quthb tersembunyi, atau hanya dikenal oleh wali tertentu, dan hanya sebagian kecil Quthb atau Sulthan al-Auliya yang masyhur dan dikenal banyak orang awam. Kadang-kadang Quthb baru dikenal banyak orang setelah dia meninggal dunia.
Ada pula memang kedudukan Wali Quthub ini diketahui semasa hidupnya sebagai seorang seorang wali Quthb, seperti maqam kewalian Quthub Al-Alimul Allamah KH. Zaini Abdul Ghani atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Guru Sekumpul. Namun, kepangkatan tersebut bukan atas pengakuan beliau sendiri, melainkan pengakuan dari wali-wali besar di zamannya.
Kadang-kadang Quthb terang-terangan menyatakan diri sebagai Quthb kepada murid tertentu, atau “ketahuan” sebagai Quthb oleh murid tertentu.
Misalnya, Kiai Kholil dari Bangkalan, Madura, pernah mengaku secara terus-terang kepada Kiai Ridwan bahwa dirinya ialah Quthb, namun beliau berpesan agar kedudukan ini tidak disebarluaskan ke khalayak umum sebelum dirinya meninggal. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus Kiai As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo.
Dalam kasus ini kedudukannya “ketahuan” oleh salah seorang muridnya setelah sang murid bertemu dengan seorang wali di Mekkah yang menyuruhnya membacakan ayat tertentu (surah an-Nisaa, ayat 41) kepada Kiai As’ad.
Ayat ini membuat Kiai menangis selama hampir sejam, dan terbukalah kedudukan. Tetapi, Kiai As’ad juga berpesan agar rahasia ini tidak diungkapkan sebelum dirinya meninggal.
Walhasil, memang tidaklah mudah mengetahui secara persis dan pasti keberadaan para Wali Allah ini, sebab mereka termasuk para kekasih Allah yang memang sejatinya keberadaan mereka disembunyikan oleh Allah, ditambah tabiat para Wali itu sejatinya merupakan para hamba Allah yang senang menyembunyikan ibadah, maqam serta ahwal mereka. Mereka para hamba Allah yang mukhlisin.
Waallahu Alam