*Membongkar Polarisasi dari Dalam: Ketika Mukibin Klan Ba’alwi Menyalahkan JATMA dan PWI*
Oleh: Warga Nahdliyyin dan Pemerhati Genealogi Sejarah Islam di Nusantara
Deklarasi organisasi baru bernama JATMA (Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah Aswaja) yang dilakukan oleh Habib Luthfi bin Yahya bersama Helmy Faishal Zaini, telah mengguncang kesadaran spiritual dan keorganisasian banyak pengamal thariqah di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Di tengah keresahan ini, muncullah komentar sinis dari sebagian mukibin klan Ba’alwi yang menyatakan bahwa PWI (Perjuangan Walisongo Indonesia) maupun JATMA bukan bagian dari NU, sehingga tidak layak mengomentari atau mengkritik apa pun terkait JATMA.
Pernyataan ini jelas menunjukkan kekeliruan berpikir yang serius dan berbahaya, karena mencerminkan penggiringan opini yang tidak hanya menyesatkan, tapi juga berpotensi memecah belah ruh ukhuwah Islamiyah di tubuh NU sendiri.
*JATMA dan Luka di Tubuh Thariqah NU*
Seperti yang dituliskan dalam artikel “Kekecewaan Seorang Nahdliyyin atas Lahirnya JATMA”, munculnya JATMA bukan hanya sekadar pembentukan organisasi baru, tapi telah menorehkan luka batin dalam. Bagi para pengamal thariqah mu’tabarah, thariqah bukan kendaraan politik, bukan pula alat kekuasaan, melainkan jalan ruhani yang penuh keheningan, keikhlasan, dan sanad yang terjaga.
Pertanyaannya sederhana: mengapa harus ada JATMA jika sudah ada JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah) yang resmi bernaung di bawah PBNU? Apakah pendirian JATMA melalui musyawarah ruhani para mursyid atau justru berdasarkan kekecewaan pribadi dan manuver elit?
Namun, alih-alih menjawab substansi keresahan ini, para mukibin klan Ba’alwi justru berusaha membungkam suara kritis dengan logika sempit: “Bukan bagian dari NU, maka tak usah komentar.” Ini adalah bentuk pengaburan terhadap substansi persoalan dan upaya untuk mendeligitimasi suara warga NU sendiri.
*PWI dan Tugas Penyelamatan Sejarah yang Terpinggirkan*
Demikian pula dengan PWI (Perjuangan Walisongo Indonesia), yang berdiri bukan sekadar sebagai organisasi tandingan, melainkan sebagai reaksi historis dan sosiologis terhadap maraknya pemalsuan sejarah yang dilakukan oleh sebagian tokoh dari klan Ba’alwi. PWI hadir untuk melindungi warga NU dari persekusi intelektual, dari stigma dan tekanan yang diberikan kepada warga NU yang secara ilmiah dan rasional tidak meyakini klaim nasab Ba’alwi sebagai dzurriyah Nabi Muhammad SAW.
PWI berangkat dari semangat ilmiah yang didorong oleh tesis KH Imaduddin Utsman al Bantani, yang melalui pendekatan sejarah, filologi, genetika, dan kajian perilaku berhasil menunjukkan ketidaksesuaian klaim nasab Ba’alwi dengan realitas ilmiah.
Alih-alih membuka ruang dialog ilmiah, para mukibin klan Ba’alwi justru memilih menyerang balik, menyudutkan, dan mengusir narasi-narasi alternatif dari ruang publik, padahal NU sendiri lahir dari semangat kebebasan berpikir, adab ilmiah, dan semangat kritis.
*Standar Ganda dan Polarisasi Ala Klan Ba’alwi*
Ironisnya, ketika klan Ba’alwi membentuk organisasi di luar struktur NU seperti JATMA, mereka menganggapnya sah dan tidak masalah. Tapi ketika ada kelompok lain seperti PWI yang juga berdiri mandiri demi menyelamatkan sejarah, langsung didelegitimasi dan dianggap tidak layak bersuara. Inilah standar ganda yang harus dibongkar.
*JATMA dan PWI* sama-sama berdiri di luar struktur resmi NU. Tapi mengapa yang satu dianggap suci dan yang lain dianggap bid’ah? Apakah karena satu lahir dari elit yang dianggap keramat, sementara yang lain lahir dari rakyat yang berpikir merdeka?
Ini bukan lagi soal organisasi. Ini adalah soal kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga NU dari infiltrasi narasi tunggal yang dibungkus dengan “kekeramatan”. Jika kita terus membiarkan klaim yang tak berdasar menguasai ruang tafsir sejarah dan ruhani, maka NU akan kehilangan ruh kejujuran dan keilmiahan.
*Menjaga NU, Menjaga Warisan Walisongo*
Sebagai warga NU, kita wajib menjaga warisan Walisongo yang mendirikan Islam Nusantara dengan kearifan lokal, bukan dengan memaksakan dominasi nasab impor yang tidak pernah terbukti secara ilmiah. PWI hadir sebagai perisai sejarah, bukan sebagai lawan NU, tapi sebagai penyelamat NU dari kemungkinan keruntuhan identitasnya.
Dan JATMA, jika benar ingin membawa ruh thariqah sejati, maka seyogyanya tidak menciptakan polarisasi baru, tapi kembali ke khittah persatuan ruhani. Jangan sampai jalan sufistik berubah jadi panggung kekuasaan.
Akhirnya, kepada para mukibin klan Ba’alwi: jika ingin dihormati, bicaralah dengan adab dan logika, bukan dengan tekanan dan ejekan. Karena yang sedang dibela di sini bukan sekadar organisasi, tapi integritas sejarah, kejujuran ilmiah, dan ruh ukhuwah yang mulai dikoyak.
Wallahul Musta’an.
—