Membongkar Rekayasa Sejarah Ba’alwi: Kajian Kritis atas Kitab Raudlatul Wildan fi Tsabat Ibni Jindan

*Membongkar Rekayasa Sejarah Ba’alwi: Kajian Kritis atas Kitab Raudlatul Wildan fi Tsabat Ibni Jindan*

Kitab Raudlatul Wildan fi Tsabat Ibni Jindan yang ditahqiq oleh Faisal Hamud Ahmad Ismail al-Yamani menyajikan narasi yang secara sepihak menciptakan sejarah leluhur Ba’alwi. Penulis kitab, Salim bin Jindan, membuat klaim-klaim yang tidak didukung oleh bukti sejarah yang kuat dan tidak dapat diverifikasi secara ilmiah. Sebagai hasilnya, perlu dilakukan analisis kritis dengan menggunakan pendekatan sejarah, filologi, dan ilmu pengetahuan untuk membongkar rekayasa ini.

 

*1. Klaim Maqam Spiritual yang Tidak Berdasar*

Salim bin Jindan dalam kitab ini mengklaim bahwa beberapa leluhurnya telah mencapai maqam “al-sidqiyyah” dan “al-qutbiyyah al-kubro,” yang ia sebut lebih tinggi dari maqam mujtahid (h. 147). Menurutnya, maqam “al-sidqiyyah” hampir mendekati maqam kenabian dan risalah, meskipun kenabian dan kerasulan telah terputus. Pernyataan ini sangat problematik dari sudut pandang teologis dan historis.

Dalam Islam, kenabian telah berakhir dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, sesuai dengan QS. Al-Ahzab (33:40) yang menyatakan, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” Konsep maqam spiritual yang mendekati kenabian adalah klaim yang bertentangan dengan prinsip ini dan tidak ada dukungan dari sumber-sumber primer dalam Islam. Para ulama, seperti Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, secara tegas menolak adanya maqam yang setara atau mendekati kenabian setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, klaim maqam “al-sidqiyyah” dan “al-qutbiyyah” yang diangkat oleh Salim bin Jindan tidak memiliki landasan dalam tradisi klasik para ulama mu’tabar. Tidak ada catatan ilmiah yang mengakui maqam-maqam tersebut sebagai kedudukan spiritual resmi yang diakui dalam disiplin tasawuf atau ilmu syariah. Para ilmuwan modern, seperti Prof. Dr. Ali al-Athar dalam Tasawuf: A Critical Examination menekankan pentingnya verifikasi sejarah dan pemahaman yang jelas tentang konsep maqam spiritual, dan klaim Salim bin Jindan jelas tidak lolos uji ilmiah.

 

*2. Ahli Hadits Ahistoris: Klaim Tanpa Dasar*

Salim bin Jindan menyatakan bahwa leluhurnya, seperti Ali Khali Qosam dan Muhammad Sahib Mirbat, adalah ahli hadits yang terkenal (h. 153). Namun, klaim ini sangat lemah karena tidak didukung dengan bukti sejarah yang konkret. Tidak ada manuskrip hadits, catatan ulama, atau dokumen sejarah yang menyebut mereka sebagai ahli hadits yang diakui.

Penelitian dari Prof. Dr. Gregor Schoeler, seorang filolog dan pakar hadits dari Universitas Basel, Swiss, menunjukkan bahwa nama-nama seperti Ali Khali Qosam dan Muhammad Sahib Mirbat tidak pernah tercatat dalam karya-karya penting seperti Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi atau Siyar A’lam al-Nubala’ karya al-Dzahabi. Kedua kitab ini mendokumentasikan ahli hadits dari berbagai generasi, dan absennya kedua nama ini mengindikasikan bahwa mereka adalah sosok ahistoris. Dengan demikian, klaim Salim bin Jindan tentang ahli hadits leluhurnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan historis.

 

 

*3. Mitos Hijrah Ahmad bin Isa ke Hadramaut*

Salah satu klaim yang paling mencolok dalam kitab ini adalah bahwa Hadramaut menjadi bercahaya setelah kedatangan Ahmad bin Isa, yang diibaratkan seperti kedatangan Nabi Muhammad SAW ke Madinah al-Munawwarah (h. 233). Ia juga menyebut bahwa pembangunan Hadramaut terjadi setelah hijrah Ahmad bin Isa. Namun, klaim ini sepenuhnya mitologis dan tidak memiliki dasar sejarah yang kuat.

Peneliti sejarah Hadramaut, Dr. Serge Cleuziou, dalam bukunya Early Settlement and Society in the Oman Peninsula, menunjukkan bahwa Hadramaut telah menjadi pusat perdagangan dan budaya jauh sebelum periode yang diklaim oleh Ba’alwi. Penelitian arkeologis di wilayah tersebut membuktikan bahwa Hadramaut telah memiliki peradaban maju, termasuk sistem pertanian yang berkembang, sebelum abad ke-9. Dengan demikian, klaim bahwa Hadramaut hanya berkembang setelah kedatangan Ahmad bin Isa sangat bertentangan dengan fakta sejarah.

Lebih lanjut, tidak ada bukti historis bahwa Ahmad bin Isa pernah hijrah ke Hadramaut. Dalam kajian Prof. Dr. Manachem Ali, seorang filolog dari Universitas Airlangga, disebutkan bahwa narasi tentang hijrah Ahmad bin Isa ke Hadramaut hanya muncul dalam literatur yang ditulis oleh generasi kemudian dari kalangan Ba’alwi, dan tidak ditemukan dalam sumber-sumber primer dari zamannya. Ini menunjukkan bahwa narasi ini adalah bagian dari mitos yang dibangun untuk memperkuat legitimasi genealogis Ba’alwi.

 

*4. Rekayasa Narasi: Indonesia dan Ba’alwi*

Dalam konteks yang lebih luas, ada kekhawatiran bahwa Ba’alwi akan terus memproduksi narasi sejarah palsu untuk mendukung klaim mereka di berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Ada kemungkinan bahwa ke depan, akan muncul narasi-narasi yang tidak masuk akal seperti “Indonesia menjadi subur dan makmur karena barokah Ba’alwi” atau “Indonesia merdeka karena peran Ba’alwi,” yang jelas merupakan distorsi sejarah.

Klaim-klaim ini adalah bagian dari apa yang oleh para sejarawan disebut sebagai pseudo-history, yaitu pembuatan narasi sejarah yang tidak didukung oleh bukti ilmiah atau fakta-fakta sejarah yang dapat diverifikasi. Prof. Dr. Anhar Gonggong, sejarawan Indonesia, telah berulang kali menekankan pentingnya melawan distorsi sejarah demi menjaga kebenaran sejarah bangsa. Beliau juga menyoroti bagaimana sejarah Indonesia sering disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk kepentingan politik atau sosial tertentu.

 

*Kesimpulan: Pentingnya Kewaspadaan dan Kritis Terhadap Narasi Sejarah*

Membaca kitab seperti Raudlatul Wildan fi Tsabat Ibni Jindan harus disertai dengan sikap kritis dan skeptis terhadap klaim-klaim yang disajikan. Banyak klaim dalam kitab ini yang tidak didukung oleh bukti sejarah atau sumber-sumber ilmiah yang sahih. Maka dari itu, kita harus selalu waspada terhadap narasi-narasi sejarah yang direkayasa, terutama yang berkaitan dengan klaim-klaim genealogis seperti yang dilakukan oleh sebagian pihak dari Ba’alwi.

Narasi palsu tentang leluhur Ba’alwi yang disampaikan dalam kitab ini jelas merupakan bentuk rekayasa sejarah yang dapat menggerakkan banyak orang. Dengan menggunakan pendekatan ilmiah dan dukungan dari para ahli di bidangnya, kita dapat mengungkap mitos-mitos ini dan menjaga kebenaran sejarah. Tetap waspada dan kritis adalah langkah penting dalam mencegah distorsi sejarah yang diinginkan.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *