MENAKAR MORAL ILMIAH KLAN BA’ALWI

MENAKAR MORAL ILMIAH KLAN BA’ALWI

Penulis: KH Imaduddin Utsman Al Bantani

Pengakuan para habib di Indonesia sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw tertolak secara saintifik. Nasab mereka telah terbukti munqoti’ dan mardud secara library research (kajian pustaka), dan mustahil secara uji DNA berdasar beberapa sampel keluarga para habib yang telah melakukan tes DNA. Menurut para ahli, jangankan sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw, para habib ini, tertolak sebagai orang Arab keturunan Nabi Ibrahim As. Nabi Ibrahim dan keturunannya, sampai Nabi Muhammad Saw dan Sayyidina Ali mempunyai haplogroup J. sedangkan para habib ini, berdasar dari yang telah melakukan uji DNA, memiliki haplogroup G. tentu tidak mungkin haplogroup G ini sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw dan Sayyidina Ali K.W. karena keduanya memiliki haplogroup J. keturunan garis laki-laki Sayyidina Ali K.W. hari ini adalah mereka yang memiliki haplo J.

Kendatipun demikian, kajian literasi nasab Ba Alawi masih menarik diperbincangkan. Untuk mengetahui pola dan algoritma terbentuknya sebuah kontruksi sejarah yang sengaja diciptakan bukan berdasar fakta sejarah sesungguhnya. Sehingga menjadi pembelajaran masa yang akan datang, dimana historiografi dari sebuah hipotesa sejarah yang mapan, yang memiliki irisan dengan kepentingan tertentu dari sebuah komunitas tertentu, yang rajin mengkapitalisasi sejarah itu, patut dicurigai validitasnya.

Di bawah ini penulis ketengahkan beberapa contoh upaya mengokohkan kontruksi sejarah yang dilakukan Klan Ba Alawi untuk meyakinkan kepada orang lain bahwa nasab mereka sahih kepada Nabi Muhammad Saw.

SURAT MAKTAB DAIMI 2022

Maktab Daimi Rabitah Alawiyah (MD-RA) membuat surat edaran yang menjawab tulisan penulis tentang terputusnya nasab para habib kepada Nabi Muhammad Saw, di dalam surat edaran yang bernomor 180/MD-RA/XI/2022 itu menyebutkan bahwa : Kitab Bahrul Ansab yang karya Al-Sayyid Muhammad bin Ahmad Amiduddin Al-Husaini Al-Najafi pada halaman 46 dan 52 beliau telah menuliskan keturunan dari pada Isa Arrumi bin Muhammad Al-Azraq (Annaqib) Yaitu Ahmad dan anak keturunannya, disebutkan bahwa nama anaknya salah satunya adalah Ubaidillah.

Disebut dalam surat itu, bahwa pengarang kitab itu wafat pada tahun 433 H. setelah dikonfirmasi, ternyata pengarang kitab itu wafat pada abad 10 H sebagaimana terdapat dalam kitab Tabaqatunnassabin karya Bakar Abu Zaed halaman 162.

KITAB ABNA’ AL-IMAM

Klan Ba Alawi dipertanyakan moral ilmiyahnya dalam mentahqiq kitab para ulama terdahulu, contohnya ketika Yusuf jamalulail mentahqiq kitab “Abna’ al-Imam fi Mishro wa Syam al-Hasan wa al-Husain”. Kitab tersebut karya Ibnu Toba Toba. Mengenai hari wafatnya pengarang ini, pentahqiq atau penerbit memuat dua angka tahun wafat pengarang. Dalam halaman7 disebut wafat 199 H. dalam halaman lain disebut 478 H. Dan dalam cover ditulis tahun 478 H.

Kitab ini bisa disebut palsu karena kitab ini tertulis dengan judul “Abna’ al-Imam” namun isinya bukan semata kitab tersebut, namun telah diinterpolasi (tambah) kalimat para penyalin dan pentahqiq. Kitab ini isinya telah diinterpolasi oleh 4 orang yaitu: Ibnu Shodaqoh al-Halabi (w. 1180), Abul Aon As-sifarini (1188 h.), Muhammad bin Nashar al-Maqdisi (w. 1350 H) dan Yusuf jamalullail (1938 M). Tambahan itu tidak diberikan pembeda, jadi seakan seluruh isi kitab itu karya pengarang yang asli yaitu Ibnu Toba Toba. Dalam kitab itu nama Ubaidillah disebut anak Ahmad. Namun kalimat itu jelas bukan dari kalimat pengarang kitab.

KITAB AL-JAUHAR AL-SYAFAF

Manuskrip kitab al-Jauhral al-Syafaf fi Karomati Man fi Tarimi min al-Sadat, manuskrip ini sering dikutip oleh Ba Alawi atau pendukung nasab Ba Alawi. Katanya karya Syekh Abdurrahman al-Khatib yang wafat tahun 855 H. benarkah kitab itu karya al-Khatib yang wafat 855 H? keluarga al-Khatib tinggal di Tarim, banyak yang menjadi ulama, dan semua menggunakan gelar atau marga al-Khatib. Ada Syekh Ali bin Muhammad al-Khatib, orang yang pertama bergelar al-Khatib, karena ia seorang khatib di tarim; ada Syekh Abdurrahmna bin Muhammad al-Khatib, yang disebut mengarang kitab al-Jauhar al-Syafaf; ada Syekh Abdurrahman bin Ali al-Khatib, yang mempunyai Bi’r al-Ibil (Sumur unta);ada Syekh Ahmad bin Muhammad al-Khatib (guru dan paman Syekh Umar al-Khatib); ada Syekh Abu Bakar bin Ahmad al-Khatib yang menjadi mufti di Tarim (guru Syekh Umar al-Khatib); ada Syekh Umar bin Abdullah al-Khatib (w. 1350 H), yang pindah ke Singapura.

Untuk diyakini bahwa kitab al-Jauhar al-Syafaf adalah karya al-Khatib yang wafat tahun 855 H, perlu dilakukan uji orisinalitas dan validitas. Perlu diteliti, naskah yang terakhir ditulis oleh siapa? Ia menyalin berdasarkan salinan tahun berapa? Lalu jika ditemukan manuskrip lain perlu dibandingkan isinya dengan manuskrip lain tersebut. Diteliti apakah ada perbedaan substansi antara satu manuskrip dengan manuskrip lainnya. Sementara ini, manuskrip al-jauhar al-Syafaf karya al-Khatib tersebut hanya ada dua manuskrip : naskah pertama berada di perpustakaan Ahmad bin Hasan al-Athas di Kota Huraidah, yaman. Manuskrip kedua berada di Maktabah al-Ahqaf Yaman, di majmu’ah bin sahal, di manuskripnya ditulis berangka tahun 1256 H.

kitab tersebut lebih tua beberapa puluh tahun dari al-Burqoh karya al-Sakran, jika manuskrip kitab itu sahih, maka al-Sakran mengutip bahwa Ubaidillah adalah putra Ahmad dari kitab tersebut. Atau, karena mereka hidup satu masa dan satu kota, bahkan al-Khatib adalah murid dari ayah dan kakek dari al-Sakran, maka kemungkinan adanya diskusi antara keduanya sebelum menulis, sangat besar sekali. Terlepas dari itu, kitab al-jauhar al-Syafaf, mendapat kritik tajam dari ulama kemudian terkait banyaknya kisah-kisah di luar akal yang membuat orang cerdas menjadi muntah. Abdullah al-Habsyi umpamanya, menyebut bahwa, seharusnya, al-khatib dapat menulis sejarah yang sempurna tentang sejarah Hadramaut yang berguna bagi generasi selanjutnya, daripada menulis hikayat dan cerita-cerita dusta dari keluarga kaum sufi Ba Alawi. (lihat Muqaddimah al-Baha fi Tarikh Hadramaut: 9)

KITAB AL-BURQOH AL-MUSYIQOH

Habib Abu Bakar al-Sakran, dalam kitabnya al-Burqoh al-Musyiqah, ketika menceritakan kisah tentang Ubaidillah, Alwi bin Ubaidillah, Muhammad bin Alwi, Alwi bn Muhammad, Ali bin Alwi dan Muhammad bin Ali Sohib Mirbat, tidak menyebutkan referensi dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Sakran dalam kitab tersebut menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa adalah seorang imam (pemimpin); seorang yang ilmunya banyak; ayah dari para syekh; seseorang yang disebut oleh para ahli sejarah; seorang yang unggul melebihi ulama semasanya; ia punya tanah air di Irak; ia punya rumah di Bashrah; ia di Irak punya pangkat tinggi dan kekayaan yang melimpah ruah; ketika di Irak terjadi fitnah, ia menuruti perintah Allah untuk pindah dari Bashrah menuju ke Madinah, lalu ke Makkah, lalu ke Yaman sehingga sampai di Hadramaut dan menetap di Tarim.

Darimana al-Sakran mengetahui semua itu tanpa menyebutkan satu referensipun, padahal jarak antara al-Sakran dan Ahmad bin Isa telah terbentang 550 tahun. Begitupula ketika al-Sakran menyebutkan biografi Ubaidillah, ia menyatakan bahwa ia seorang imam; seorang ulama yang luas ilmunya; seseorang yang disebut oleh para sejarawan dan ulama tobaqot; ia punya tiga anak: Alwi, Bashri dan Jadid. Dari mana al-Sakran mengetahui semua itu, tanpa referensi satupun yang disebutkan?

KITAB AL-RAUD AL-JALI

Kitab al-Raudul Jali karya Murtadlo Azzabidi (w. 1205 H) dalam cetakan maktabah Daar Kanan Li Al Nasyr wa Al-Tawzji’ tahun 1431 H. ditahqiq oleh Arif Ahmad Abdul Gani, berbeda isi kesimpulan dengan kitab Al-Raud Al-Jali cetakan tahun tahun 1444 H. Kitab itu di tahqiq oleh Muhammad Abu Bakar Ba Dzib (teman Hanif al-Atas), dan di ta’liq oleh Habib Alwi bin Tohir Al haddad (w. 1382 H.) Konklusi dua cetakan kitab ini tentang Abdullah anak Ahmad menjadi berbeda. Kitab cetakan yang ditahqiq oleh Arif Ahmad Abdul Gani menyebut Abdullah sebagai anak Ahmad adalah termasuk ketetapan yang tidak disepakati, sementara dalam kitab cetakan yang ditahqiq oleh Abu Bakar Ba dzib (teman Hanif Alatas dari Tarim) menjadi yang disepakati.

KITAB TARIKH HADRAMAUT

Kitab Tarikh hadramaut, atau disebut juga kitab Tarikh Syanbal (w. 920 H), karena ia karya Syekh Syanbal ba Alawi, Didalamnya, diantaranya, menerangkan tentang bahwa al-Fakih al-Muqoddam adalah seorang al-Alim al-Robbani, ‘umdat al-muhaqiqin, dan salah seorang wali kutub. Kitab ini dicetak oleh Maktabah Son’a al-Atsariyah tahun 1994 M/1414 H, ditahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi. Para sejarawan Yaman berpendapat, bahwa kitab ini mencurigakan.

Seorang peneliti sejarah dan geografi Hadhramaut, Profesor Hussein Saleh bin Issa bin Omar bin Salman, mengatakan kitab itu terbukti menjiplak (dari kitab tarikh Ibnu Hisan), dan ditulis pada abad keempat belas Hijriah, dan Syekh Syanbal adalah orang yang tidak dikenal. catatan orientalis Inggris Robert Bertram Serjeant, tentang naskah Syanbal menyatakan: Jelas bahwa naskah tersebut baru saja disalin. Ia mencela klaim bahwa Syanbal hidup pada abad kesepuluh Hijriah, dan bahwa penulisnya tidak hidup pada abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana disebutkan oleh pentahqiq, Abdullah Al -Habsyi.

KITAB AL-BAHA FI TARIKH HADRAMAUT

Kitab al-baha fi Tarikh Hadramaut, karya abdurahman bin Ali bin Hisan (w. 818 H), ditahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi, diterbitkan oleh Darul Fatah tahun 2019. Kitab ini merupakan kronik sejarah Hadramut dari tahun 424 -926 Hijrah, menurut pengakuan pentahqiqnya, dicetak dari manuskrip yang tidak lengkap. Ada beberapa tahun yang hilang, lalu pentahqiq melengkapinya dari kitab Tarikh Syanbal yang problematic tersebut di atas. Kendati ada pengakuan tambahan, dalam isi kitab versi cetak, tidak dibedakan, mana ibaroh asli dari manuskrip kitab al-Baha, dan mana ibaroh yang merupakan tambahan dari pentahqiq. Dalam kitab ini disebutkan wafatnya al-Fakih al-Muqoddam, tetapi apakah nama itu merupakan nama yang sesuai naskah asli atau merupakan tambahan dari pentahqiq. Maka kitab ini tidak bisa menjadi rujukan sebagaimana kitab Abna’ al-Imam.

KITAB AL-IMAM AL-MUHAJIR

Kitab al-Imam al-Muhajir, ditulis oleh Muhamad Dhiya Syihab dan Abdullah bin Nuh. Kitab ini terdiri dari sekitar 244 halaman, diterbitkan oleh penerbit Dar al-Syarq tahun 1400 H/1980 M. kitab ini merupakan biografi dari Ahmad bin Isa yang oleh kalangan Ba Alawi kemudian di berikan gelar al-Muhajir. Kitab ini di awali dengan mengutarakan keadaan Kota Basrah abad ke 4 yang gemilang dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Latar belakang sejarah ini dipetik dari referensi sejarah yang kredibel seperti kitab-kitab karya Ibnu Khalikan, Ibnul Atsir, al-Mas’udi, Ibnu Jarir, al-Sayuti dan sebagainya.

Namun, ketika menjelaskan tentang biografi dari Ahmad bin Isa sendiri, penulisnya tidak mencantumkan refernsi darimana ia mendapatkan berita itu. Seperti ketika ia menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa mulai belajar dari kedua orangtuanya. Tentu semua anak akan belajar dari kedua orangtuanya. Ini masih bisa difahami walau tanpa referensi. Kemudian dilanjutkan, bahwa Ahmad bin Isa gemar menuntut ilmu dari para ulama, baik di Bashrah maupun di kota-kota lainnya di Irak. Penjelasan ini seharusnya sudah menyebutkan siapa ulama-ulama yang didatangi oleh Ahmad bin Isa, dan dari mana penulis kitab ini mengetahui berita itu, namun paragraph ini tanpa referensi, agaknya ia keluar dari imajinasi penulis tentang banyaknya ulama di Irak waktu itu, dan kemungkinan besar itulah yang dilakukan remaja seusia Ahmad bin Isa ketika berada di lingkungan para ulama. Referensi kemudian disebutkan pada paragraph yang lain, diambil dari kitab Tsaurah al-Zanji, yaitu ketika menerangkan bahwa Bashrah ketika itu merupakan pusat pemikiran yang besar. Kota tempat bersinggungannya berbagai macam aliran filsafat, keyakinan dan pemikiran.

Rupanya, penulis kitab ini sangat bersusah payah mencari sosok Ahmad bin Isa dalam kitab-kitab sejarah atau kitab lainnya. Ketika menemukan nama Ahmad bin Isa, lalu tanpa diteliti lebih lanjut, langsung diambil. kesalahan fatal-pun terjadi, ketika mengutip sosok Ahmad bin Isa yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad, disebutkan dalam kitab itu: Ibnu Jarir al-Tabari menerima surat dari Ahmad bin Isa al-Alawi dari Kota Bashrah, lalu Ibnu jarir membalasnya dengan kalimat “wahai amirku”. Penulis kitab ini kemudian menyatakan: cukuplah untuk mengetahui betapa agung kedudukan Ahmad bin Isa, dari penyebutan Ibnu jarir terhadapnya “wahai amirku”. Penulis tidak teliti, atau pura-pura tidak mengerti, bahwa Ahmad bin Isa al-Alawi yang dimaksud dalam kitab Tarikh Bagdad itu, bukanlah Ahmad bin Isa al-Naqib, tetapi sosok lain, yaitu Ahmad bin Isa bin Mansur.

Lalu tentang hijrahnya Ahmad bin Isa ke Hadramaut, penulis kitab ini sama sekali tidak menyebutkan sumber, kecuali dari majalah al-Rabitah tulisan Habib Ali bin Ahmad al-Athas. Kejadian tahun 317 Hijriah diceritakan oleh orang yang hidup seribu tahun lebih setelah wafatnya, dengan tanpa sumber dari mana ia mengetahui berita itu. Pola penulisan seperti itu, kita jumpai dalam kitab tersebut pada halaman-halaman selanjutnya sampai akhir kitab.

KITAB AL-GURAR

Kitab Gurar al-baha al-Dhau’I wa Durar al-jamal al-Bahi, yang lebih dikenal dengan nama kitab al-Gurar, karya Muhammad bin Ali Khirid Ba Alawi (w. 960 H), diterbitkan oleh Maktabah al-Azhariyah, tahun 2022, tanpa pentahqiq. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Ahmad bin Isa hijrah dari Irak ke Hadramaut tahun 317 H. penyebutan itu tidak bersumber referensi apapun. Cerita tentang orang di masa lalu tanpa adanya sumber disebut dengan dongeng. Disebutkan pula, bahwa Ahmad bin Isa mengungguli teman-temanya dalam kebaikan, untuk kisah ini dan sebab hijrahnya Ahmad bin Isa, al-Gurar mengutip dari kitab al-Jauhar al-Syafaf, kitab karya al-Khatib yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Abdullah Muhammad al-Habsyi mengatakan: kitab ini penuh dengan cerita-cerita dusta.

Dapat dikatakan, kitab al-Gurar ini, mengenai nasab dan sejarah Ba Alawi, bersumber pokok kepada dua kitab abad Sembilan, yaitu: al-Burqoh al-Musyiqoh karya al-Sakran (895 H) dan kitab al-Jauhar al-Syafaf (855 H), keduanya adalah kitab inti peletak dasar dari kontruksi nasab dan sejarah Ba Alawi. Kedua kitab itu tidak bisa menunjukan dari mana ia bisa mendapatkan riwayat kitab sebelumnya yang menunjukan bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut, dan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah. Kitab kitab al-Jauhar al-Syafaf dan kitab al-Burqoh al-Musyiqoh, bisa dikatakan menceritakan kejadian 500 tahun sebelumnya berdasar imajinasi yang dipetik dari ruang hampa.

KITAB ITSBAT ITTISOL NASAB SADAT AL-ALAWIYYIN

Kitab Itsbat Ittishol Nasab Sadat al-‘Alawiyyin karya habib Umar bin Salim al-Athos, di Cetak di Mesir tahun 1317 H. kitab ini berisi tentang jawaban pengarang tentang nasab Ba Alawi. Dalam kitab ia menjelaskan bahwa nasab Ba Alawi adalah sahih dan termasuk “amrun tsabitun bi toriqin sohihin” (perkarya yang telah tetap dengan cara yang sahih). Menurutnya, cara yang sahih adalah syuhroh dan istifadoh. Mengenai syuhroh dan istifadoh ini, saya telah sebutkan dalam kitab saya, I’anat al-Akhyar, berdasar pendapat para ulama diantaranya Imam Syafi’I, al-Ruyani, bahwa syuhroh dan istifadoh itu batal bila ada bayyinah yang menyatkan sebaliknya. Seperti nasab Ba Alawi tersebut, ketika ada bayyinah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa hanya mempunyai anak tiga: Muhammad, Ali dan Husain, tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah, maka syuhroh dan istifadoh Ubaidillah hari ini menjadi batal. Dalam kitab ini pula, Habib Umar al-Athos mengingatkan bahwa siapa saja yang mengingkari nasab Ba Alawi sama saja ia menyakiti Rasulullah Saw.

Disinilah integritas ilmiyah itu dipertanyakan, yaitu ketika kajian ilmiyah tentang pengakuan nasab mulia, tidak dijawab sebagaimana kajian ilmiyah, tetapi membawanya pada hal-hal teologis. Menyakiti nabi Muhammad Saw, mungkin dapat diterima ketika ada orang yang tidak mengakui Sayidina Husain sebagai cucu Nabi Muhammad Saw. Karena berita tentangnya mutawatir dan disepakati seluruh ulama. Berbeda dengan nasab Ba Alawi, ketika mereka mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw, mereka tidak bisa menunjukan bukti kitab-kitab nasab yang ada pada masa Ahmad bin Isa yang menyebutkan Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah. Maka mempermasalahkan nasab Ba Alawi bukanlah mempermasalahkan nasab keturunan Nabi Muhammad Saw, tetapi mempermasalahkan orang yang ingin masuk ke dalam nasab Nabi Muhammad Saw dengan zalim.

KITAB UQUD AL-ALMAS

Kitab Uqud al-Almas, karya Habib Alawi bin Tohir bin Abdullah al-haddad, diterbitkan oleh matba’ah al-Madani tahun 1388 H/1968 M. kitab ini merupakan biografi dari Habib Ahmad bin Hasan al-Athos. Ketika menjelaskan tentang nasab Ba Alawi, kitab inipun mentok kepada kitab al-jauhar al-Syafaf. Tidak bisa mencari yang lebih tua agar ketersambungan itu masuk akal. Jarak pengarang al-Jauhar al-Syafaf dan Ahmad bin Isa adalah 550 tahun. Bagaimana dalam jarak sepanjang itu ia bisa mengetahui biografi dan anak-anaknya tanpa referensi kitab selanjutnya. Tradisi lisan? Tradisi lisan hanya bisa diterima jika periwayatnya jelas semacam hadits. Sedangkan, nasab Ba Alawi ini periwayatnya tidak jelas. Jikapun nama ayah dari Ba Alawi akan dijadikan perawi bagi anaknya, nama-nama yang ada dalam silsilah Ba Alawi itu nama-nama yang tidak dikenal sejarah, yang sulit dikonfirmasi kesahihan keberadaannya apalagi keadilannya. Selain kitab al-Jauhar al-Syafaf, kitab ini juga menjadikan al-Burqoh al-Musyiqoh sebagai referensi. Sebagaimana telah dijelaskan di awal, nasab dan sejarah Ba Alawi akan mentok dikedua kitab yang ditulis di abad 9 H ini.

Dalam kitab inipula, disebutkan bahwa nasab Ba Alawi telah di itsbat oleh Raja Yaman pada tahun 1351 H, sekitar 90 tahun yang lalu. Peng-itsbatan itu, menurut kitab ini, setelah timbulnya celaan dari orang-orang khawarij akan nasab mereka. Dari sini diketahui, setidaknya telah beberapa kejadian keraguan dan gugatan kaum muslimin terhadap nasab Ba Alawi yang dapat dibaca dari kitab-kitab Ba Alawi sendiri. Bersamaan dengan itu, Ba Alawi selalu dapat melewatinya dengan meminta secarik kertas itsbat dari orang atau lembaga yang dapat dipercaya. Zaman dahulu itu, untuk keraguan nasab akan berakhir dengan itsbat demikian, karena ilmu genetika belum mapan.

Hari ini, setiap persengketaan nasab akan dapat dikonfirmasi dengan melakukan tes DNA yang akan dapat menelusuri sambungan darah seseorang sampai ribuan tahun ke atas. Maka ketika hari ini Ba Alawi telah terbukti putus nasabnya kepada Nabi Muhammad Saw secara kajian pustaka, ketika mereka bergeming bahwa nasab mereka tersambung, untuk membuktikannya tidak ada jalan lain kecuali tes DNA. Jika kajian pustaka gagal, tes DNA enggan, lalu berdasar apa kita harus mengakui mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw.

Waallahu Alam




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *