Menanggapi Lora Ismail: Istikharahlah, Agar Mengetahui Apakah Ba’Alwi Cucu Nabi Muhammad SAW Atau Bukan

Lora Ismail mengatakan: “ Kiai Imad meminta syarat kitab sezaman.”

Saya jawab: yang saya minta adalah kitab sezaman jika ada, kalau tidak ada, kitab yang mendekati saja juga boleh. Dan nasab Ba’alwi tidak didukung oleh kitab sezaman dan kitab yang mendekati. Kitab Al Burqoh yang menyebut Ahmad bin Isa mempunyai anak Ubed di tahun 895 H bertentangan dengan kitab Al Syajarah al Mubarakah yang menyebut bahwa anak Ahmad bin Isa hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Maka pengakuan sepihak Ali al Sakran tertolak secara ilmiyah karena bertentangan dengan kitab-kitab sebelumnya.

Lora Ismail mengatakan: “Para Habaib tidak memberikan syarat yang diminta Kiai Imad.”

Saya menjawab: mereka bukan tidak memberikan bukti sezaman atau yang mendekati, mereka sudah berusaha memberikan, tetapi apa yang diberikan terkonfirmasi palsu. Seperti sanad-sanad wayang Muhammad bin Ahmad bin Isa yang katanya mendapatkan hadits dari pamannya Ubed lalu Ubed mendapatkannya dari al-Husain bin Muhammad Ibnu al-Askari . itu sanad palsu, karena dalam kitab Tarikh Bagdad juz 8 halaman 569 disebut Ibnul Askari tidak mempunyai murid bernama Ubed. Bukti sezaman atau yang mendekati tertolak.

Lora Ismail mengatakan: “Kiai Imad yaqin bahkan haqqul yaqin bahwa nasab Ba’alawi rungkad dan para Muhibbin Kiai Imad bersorak riang gembira.”

Saya menjawab: saya Haqqul yaqin bahwa Ba’alwi atau para habib-habib itu seperti Syekh Umar bin Hafidz, Riziq Syihab, Bahar Smith, Lutfi bin Yahya, Taufik Assegaf dan lain-lain bukanlah cucu Nabi Muhammad SAW. mengenai saya punya muhibbin dalam pengertian seperti para Ba’alwi itu, saya tidak tahu, kalau tahu akan saya larang. Karena kalimat “muhibbin” itu konotasinya negative yaitu orang yang berkecenderungan terhadap sesuatu bukan karena dalil tetapi karena suka atau tidak suka, sedangkan yang setuju dengan tesis saya itu kebanyakan adalah orang-orang yang mengikuti karena dalil bukan karena suka atau tidak suka.

Lora Ismail mengatakan: “ dalam ilmu nasab, apakah kitab sezaman merupakan syarat mutlak dan satu-satunya untuk mengkonfirmasi sebuah nasab ? “

Saya jawab, ya jelas kitab nasab sezaman atau yang mendekatinya adalah sarat mutlak untuk mengkonfirmasi sebuah nasab, jika tidak, maka nasab itu adalah nasab sangkuriang binti Dewi Sumbi yang untuk mengkonfirmasi apakah benar Sangkuriang adalah anak Dewi Sumbi tidak memerlukan kitab sezaman. Telah syuhroh dan istifadoh bahwa Sangkuriang adalah anak Dewi Sumbi karena ia dimunculkan sebagai legenda lalu disebar-luaskan melalui cerita rakyat dan film. Jika anak-anak ditanya siapakah ibu sangkuriang? Maka anak-anak itu akan menjawab: Dewi Sumbi. Tetapi apakah dengan syuhroh dan istifadoh itu lalu sosok Sangkuriang benar-benar ada? tidak. Sangkuriang hanyalah sebuah legenda, sosoknya fiktif, tidak ada yang dapat menunjukan bukti apapun di masa di mana Sangkuriang diasumsikan hidup atau di masa yang paling dekat dengannya bahwa sosok Sangkuriang adalah sosok yang pernah eksis di dunia. Ia hanya sosok yang diciptakan.

Lora Ismail mengatakan: “setelah membaca beberapa kitab nasab khususnya kitab-kitab yang menjadi rujukan utama Kiai Imad dan para jagoannya dalam masalah ini ( Muqoddimat fi ilmil ansab, Rasail fi ilmil ansab, Al-Kafi Al-Muntakhab dll ), saya berani menyimpulkan bahwa dalam hal ini terdapat 2 kubu : 1. Para pakar ilmu nasab dalam kitab-kitab itu yang sama sekali tidak mensyaratkan kitab sezaman untuk menkonfirmasi kebenaran suatu nasab, kitab nasab adalah salah satu turuq ( cara ) untuk mengkonfirmasi nasab tapi bukan satu-satunya karena masih ada beberapa opsi lain termasuk Assyuhrah wal istifadhoh ( kemasyhuran dan reputasi sebuah nasab ); 2. Kiai Imad Dkk yang mengatakan bahwa kitab sezaman merupakan syarat mutlak bagi keabsahan suatu nasab, jika tidak maka nasab tsb dipastikan palsu, fiktif dan terputus.”

Saya menjawab, apa yang dikatakan Lora Ismail bahwa pakar ilmu nasab sama sekali tidak mensaratkan kitab sezaman atau yang mendekatinya, pernyataan itu jelas keliru. Ia tidak memahami ibarah ulama dalam kitab-kitabnya. Perhatikan ibarah-ibarah ulama di bawah ini:

Sayyid Al Husan bin Haidar al hasyimi dalam kitab Rasa’il fi ‘ilmil Ansab mengatakan:

الطريق الثاني كتب النسابين الابدال

“Cara yang kedua (menetapkan nasab adalah dengan) kitab-kitab para ahli nasab yang abdal” (Rasa’il h. 103).

Siapa yang dimaksud dengan kalimat “al-abdal”?

Perhatikan ibarah Sayyid al Husain di halaman lain:

الابدال هم الذين يخلفون بعضهم بعضا على هذا العلم

“Al-abdal adalah mereka yang saling bergenerasi menggantikan sebagian mereka kepada yang lain” (Rasa’il h. 193).

Apa arti menggantikan dari satu generasi ke generasi lainnya? Artinya yaitu kitab nasab abad sembilan adalah kelanjutan dari kitab abad kedelapan, kitab nasab abad kedelapan adalah kelanjutan dari kitab nasab abad ketujuh, kitab nasab abad ketujuh adalah kelanjutan dari kitab nasab abad ke enam dan seterusnya. Kitab yang lebih belakangan (muda) tidak boleh bertentangan dengan kitab yang terdahulu (tua). Inilah yang dimaksud kitab sezaman atau yang mendekatinya.

Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Al Muqaddimat fi ‘Ilm al Ansab:

شروط اعتماد الرقعة 1. ان لا تكون مخالفة للاصول

“Syarat menjadikan kitab nasab sebagai pegangan adalah pertama ia tidak boleh berbeda dengan kitab-kitab asal” (Al-Muqaddimah: h. 58)

Perhatikan! Menurut Syekh Khalil Ibrahim, kitab nasab yang bisa dijadikan pegangan adalah kitab nasab yang tidak beretentangan dengan kitab-kitab asal. Apa yang dimaksud dengan kitab asal? Ya tentu kitab sebelumnya. Artinya jika di kitab nasab abad keenam telah ditetapkan bahwa Ahmad hanya mempunyai anak tiga maka kitab-kitab nasab masa selanjutnya tidak boleh mencatat empat. Jika mencatat empat berarti bertentangan dengan kitab asal, dan nama keempat adalah nama susupan.

Penambahan Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa di abad sembilan bertentangan dengan kitab abad keenam yang menyebut nama anaknya hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada yang bernama Ubed. Munculnya nama Ubed sebagai anak Ahmad setelah 550 tahun dari wafatnya Ahmad tanpa referensi apapun menunjukan nama Ubed adalah susupan yang wajib ditolak akal sehat.

Dr. Abdurrahman bin Majid al Qaraja dalam kitabnya Al Kafi al Muntakhob mengatakan:

ولا يقدم بحال على ما يثبته النسابة خصوصا ان كانوا اقرب زمانا او مكانا

“Sejarawan tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli nasab khususnya jika ahli nasab itu lebih dekat masanya atau tempatnya” (Al Kafi al Muntkhab, h. 71).

Perhatikan apa yang dikatakan oleh Dr. Abdurrahman bin Majid tentang kitab sezaman atau yang lebih dekat zamannya dengan objek penelitian. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa kitab sejarah tidak boleh didahulukan dari kitab nasab apalagi jika kitab nasab itu zamannya lebih dekat. Dari situ jelas kitab sezaman atau yang mendekati adalah instrumen dalam penelitian kesahihan nasab.

Lora ismail mengatakan: “Saya justru semakin yaqin haqqul yaqin bahwa syarat tersebut hanyalah syarat yang diada-adakan oleh Kiai Imad tanpa rujukan dari kitab nasab manapun !”

Saya menjawab: sudah disebutkan sebelumnya bahwa jika cara memahami kitab-kitab nasab itu benar, maka akan sama kesimpulannya yaitu, kesahihan sebuah sejarah dan nasab harus dikonfirmasi oleh kitab sezaman atau atau yang mendekatinya. Di Universitas-Universitas di Indonesia Sarat kitab sezaman atau yang mendekatinya, adalah metodologi standar dalam ilmu sejarah di mana ilmu nasab adalah bagian darinya. Tidak tahu kalau di Yaman, bisa jadi di sana, kesahihan sejarah dan nasab itu hanya di itsbat dengan dongeng-dongeng saja. Untuk lebih cerdas bacalah buku-buku sarjana dari Indonesia tentang Metodologi Ilmu Sejarah, agar cara berfikirnya seimbang dengan sarjana-sarjana Indonesia yang cerdas dan rasional.

Lora Ismail mengatakan: ada banyak sekali point dalam kitab beliau yang sangat bertentangan dengan pendapat Kiai Imad selama ini, salah satunya adalah ketika di point ke 10 halaman 96 beliau mewanti-wanti jangan sampai kita menuduh suatu nasab ( Tha’n fil nasab ) hanya karena sebuah nama yang tidak disebutkan dalam kitab tertentu :

١٠ . الطعن في نسب بعض القبائل بحجة أن جدهم الذي يرتبطون به لم تذكر له كتب الأنساب عقب ، فليس كل من لم تذكر له كتب الأنساب ذرية ليس بمعقب

Saya menjawab: lora Ismail salah memahami ibarah Syekh Khalil Ibrahim di atas. Ibarah itu bukan untuk semisal nasabnya Ubed yang tidak disebut sebagai anak Ahmad, tetapi untuk sebuah nama yang tidak disebut dengan kalimat “lahu ‘aqbun” (ia mempunyai keturunan). Di kitab nasab itu, kadang ada nama-nama yang ditulis dengan kalimat “lahu ‘aqbun (ia berketurunan), ada yang hanya ditulis namanya tanpa ada keterangan ia berketurunan atau tidak. Maka, kata Syekh Khalil Ibrahim, jika ada sebuah nama yang ditulis hanya namanya saja, tidak ditulis apakah ia mempunyai keturunan atau tidak, maka jangan di vonis ia tidak berketurunan. Kalau nama Ubed beda, Lora. Namanya memang tidak pernah disebutkan. Ia gelap gulita selama 550 tahun. Ia fiktif. Tidak sah orang hari ini mengaku keturunannya karena ia sosok ahistoris.

Lora Ismail menyatakan ia berkomunikasi dengan Syekh Khalil Ibrahim pengarang kitab Muqaddimat fi ‘Ilmil Ansab. Kita akan lihat, jika benar itu nomor wa Syekh Khalil Ibrahim, bahwa hujjah itu akan mentok kepada Syuhrah wal Istifadah dan pengakuan bahwa nama-nama wayang Ba’alwi benar-benar tidak ada dalam kitab-kitab nasab.

على الكافي صلاة الله على الشافي سلام الله # بمحيي الدين خلصنا من البلواء يا الله

Ketika ditanya tentang nasab Ba’alwi yang dibatalkan penulis dengan alasan ubaidillah tidak disebut dalam kitab nasab sebagai anak Ahmad , Syaikh Khalil Ibrahim menjawab : “ Syuhroh Istifadhoh para Sadah Ba’alawi telah mengungguli banyak nasab yang lain, sedangan disebutkannya Amud Nasab hanyalah syarat kesempurnaan ( bukan syarat sah ) “.

Saya berkomentar: Syuhrah dan istifadah nasab Ba’alwi tentu mengalahkan nasab yang lain, kenapa? Karena memang mereka klan yang paling mengiklankan nasabnya ke mana-mana: dalam pidato, dalam kitab-kitab dan dongeng-dongeng. Kemasyhuran nasab Ba’alwi, walaupun palsu, itu mengalahkan banyak nasab nasab yang sahih seperti keluarga Arrasi dan Al Toba-toba di Yaman. Nasab-nasab yang sahih banyak yang malu membicarakan nasabnya, sedangkan Ba’alwi terus mengiklankannya.

Lalu, ketika Syekh Khalil menyatakan bahwa nasab cukup dengan Syuhrah wal istifadah dan adanya nama-nama yang disebutkan dalam kitab hanya merupakan sebagai sarat kesempurnaan, itu bertentangan dengan perkataannya sendiri dalam kitabnya:

Perhatikan perkataan Syekh Khalil Ibrahim dalam kitabnya Muqaddimat halaman 59.

ان لا يكون لها ما يعارضها من رقعة قطعية الدلالة

“Syuhroh wal istifadah tidak boleh bertentangan dengan kitab-kitab yang dalilnya qot’I”.

Sedangkan, adanya nama Ubed di abad 9 H bertentangan dengan kitab nasab di abad 6 H, yaitu Al Syajarah al Mubarakah yang secara “qat’iyyuddilalah” menyatakan anaknya Ahmad hanya tiga dan tidak ada yang bernama Ubed. Maka syuhrah wal istifadah Ubed ini tertolak secara jelas dan tegas.

Lora Ismail bertanya kepada Syekh Khalil Ibrahim: “ jadi menurut anda nasab para Sadah Ba’aalwi valid sidi ? Meskipun Amud nasab mereka tidak disebutkan dalam kitab sezaman atau yang mendekati ? “ Syaikh Khalil Ibrahim menjawab: “ iya, mereka adalah pembawa ajaran islam moderat yang sesungguhnya.”

Saya berkomentar: jawaban Syekh Kholil ini mengindikasikan ia tidak memahami seluk beluk nasab Ba’alwi. ia belum tahu bahwa nasab Ba’alwi hari ini bertentangan dengan kitab Al Syajarah al Mubarakah, dan ia belum mengetahui bahwa nama-nama seperti Ubaid, Alwi, Muhammad dsb itu nama-nama fiktif belaka. Dari mana penulis mengetahui bahwa ia belum memahami seluk beluk nasab Ba’alwi? dari jawabannya ketika ditanya Lora Ismail tentang nama-nama leluhur Ba’alwi yang tidak disebutkan itu, ia bukan menjawab tentang kenapa nama-nama leluhur Ba’alwi tidak disebutkan atau ia memberikan bukti adanya kitab yang menyebutkan, malah ia menjawab hal lain yaitu tentang islam moderat.

Lora Ismail mengatakan: “ Masyaallah mereka adalah para guru kami terlepas dari komentar para pembenci, apakah anda mengenal mereka para Sadah Ba’alawi Siidi ? “ Syaikh Khalil Ibrahim menjawab : “apakah rembulan terlihat samar ? Mereka adalah para dai yang telah menyebarkan ilmu di barat dan timur dunia .”

Saya berkomentar: seneng ya gurunya diitsbat walau tanpa dalil. Ada cara agar hati tidak gundah gulana apakah gurunya cucu Nabi atau bukan: bangunlah di tengah malam, lalu jernihkan jiwa, istikharahlah, mohon kepada Allah petunjuk, apakah Ba’alwi cucu Nabi atau bukan. Insya Allah dengan ketulusan jiwa akan terbuka tirai kegelapan ma’rifat yang terbalut cinta buta, Allah akan hujamkan hakikat kebenaran di hati yang tiada terombang-ambing lagi oleh sesuatu selain kebenaran. Lalu akan tenanglah jiwa walau alam nyata memeberi jawaban bahwa gurunya bukan cucu Nabi.

Lora Ismail mengatakan: Dan untuk kesekian kalinya, Kiai Imad harus menerima pahitnya sebuah realita, seorang ulama pakar nasab yang kitabnya dijadikan hujjah oleh beliau untuk menguatkan tesisnya justru “mengkonfirmasi” keabsahan Nasab Ba’alawi…”

Saya menjawab: dan untuk kesekian kalinya kita mengetahui kwalitas moral ulama-ulama luar Indonesia, yang teori yang ia buat, ia dobrak untuk sebuah kepentingan. Dalam kitabnya Syekh Khalil mengatakan Syuhrah tidak boleh bertentangan dengan kitab nasab, sementara dalam perkataannya, syuhroh sah walau bertentangan dengan kitab nasab. maka Syekh Khalil Ibrahim nampaknya pula akan mengitsbat Dewi Sumbi sebagai ibu dari Sangkuriang, karena telah syuhrah di tengah masyarakat Sunda bahwa ia adalah ibu dari Sangkuriang. Banggalah berguru kepada ulama Indonesia yang konsisten kata dan perbuatan.

Lora ismail mengatakan: “Kiai Imad sepertinya sudah kehabisan “jerami” untuk ia gapai ketika perlahan mulai tenggelam dan tak punya pegangan, padahal ekspektasi dan harapan pendukungnya kepada beliau begitu tinggi, demi itu beliau sampai harus membangun narasi-narasi lain untuk mendukung tesisnya yang -katanya- ilmiah itu tapi ternyata hanya dibangun diatas asumsi dan ilusi ( yang satu persatu mulai dimentahkan oleh para penulis kitab-kitab rujukan beliau sendiri )”.

Saya berkomentar: kalimat itu adalah hiburan dari seorang murid yang berkespektasi tinggi bahwa gurunya adalah cucu Nabi. Sejak di Yamani berimajinasi bahwa ilmunya lebih istimewa dari para santri Indonesia karena ia belajar kepada seorang cucu Nabi, sedangkan santri Indonesia hanya berguru kepada cucu Walisongo yang nasabnya tidak di akui RA. Tetapi setelah pulang ke Indonesia, betapa hancur hatinya, ketika mengetahui kuatnya dalil yang membetalkan nasab gurunya. Dalam kitab nasab tertolak; dalam kitab sejarah namanya tiada; semua doktrin kesejarahannya hanya dongeng; hasil tes DNA nya G, jangankan cucu Nabi, ternyata orang Arab aja bukan.

Angan-angan tinggi itu kini jatuh melayang tak tentu arah bagai layang-layang putus yang tak tahu akan berakhir di mana, di dahan pohon, di rerumputan atau dilautan.

Terakhir, jika memang benar yang berkomunikasi itu Syaikh Khalil Ibrahim, Lora ismail bisa mengusulkan kepada RA agar Syaikh Kholil Ibrahim, Syekh Ibrahim bin Mansur dan Syekh Mahdi Roja’I agar menjadi wakil RA dalam berdiskusi dengan saya tentang batalnya nasab Ba’alwi.

Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantanie

sumber tulisan: https://rminubanten.or.id/menanggapi-lora-ismail-istikharahlah-agar-mengetahui-apakah-baalwi-cucu-nabi-muhammad-saw-atau-bukan/




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *