MENANGGAPI USTADZ TAUFIK SEGAF (Taufiq assegaf ketua RA)

MENANGGAPI USTADZ TAUFIK SEGAF

Lama penulis menanti jawaban Ustadh Taufik Segaf tentang 12 pertanyaan penulis, namun ia tak kunjung datang. Konsekwensinya, bila 12 pertanyaan dan narasi ilmiyah yang penulis kirimkan bahwa Ba Alwi bukan keturunan Nabi tidak bisa dijawab dan dibantah, maka mereka seharusnya merasa malu untuk mengaku di hadapan publik bahwa mereka adalah keturunan Nabi Muhammad Saw. Kini telah tersebar dan telah banyak diyakini masyarakat luas, bahwa Ba Alwi bukanlah keturunan Baginda Nabi Muhammad Saw. Kajian kitab nasab dan sejarah menyimpulkan bahwa pengakuan mereka sebagai keturunan Nabi adalah pengakuan yang baru muncul di tengah perjalanan keluarga mereka. Hasil test DNA menyebutkan bahwa keluarga mereka berhaplogroup “G”, yaitu klasifikasi bahwa mereka bukan orang Arab apalagi keturunan Nabi.

Nasab bukanlah rukun iman, di mana sebuah proposisi (pernyataan) harus diyakini apa adanya sebagaimana ia diperkenalkan. Nasab adalah sebuah silogisme yang tidak bisa berdiri dari ruang hampa. Ia memerlukan premis pendahuluan dari masa lalu, sehingga sebuah pengakuan nasab hari ini kemudian bisa disidangkan di tengah meja ilmiah sesuai kesahihan premis masa lalunya.

Ketika 12 pertanyaan penulis tidak mampu dijawab, sebuah video Youtube diunggah. Dalam video itu, tampak Ustadh Taufik Segaf duduk di sebuah bangku dalam sebuah pertemuan, entah acara pengajian atau lainnya, lalu seseorang yang tidak tampak dalam video bertanya:

“Ustadh, bagaimana kita menanggapi isu yang terkait tersebarnya terputusnya nasab sadah bani Alwi ini, di mana kita sebagai pecinta, kita merasa sakit hati, bahkan ada ulama yang membenarkan ucapan ini..”

Belum selesai ia bertanya, Taufik memotong “Siapa ulamanya? Sekelas apa ulamanya?. Ya itu kan…itu aja yah pertanyaanya?”

Lalu penanya itu melanjutkan:

“Sama yang kedua, ustadh, bagaimana hukumnya sumpah atas nama Allah, atau kitab al-Quran, akan tetapi ia juga memberikan konsekuensi seperti apabila ucapan dia salah ia akan mati, dan apabila ucapan orang itu benar apakah bisa disebutkan ucapan orang ini benar?”

Lalu Ustadh Taufik menjawab:

“Ulama itu siapa, sekelas siapa, kita nih kadang-kadang mengatakan ulama, ulama yang mana? Sekarang saya mau tanya, kalau ada orang mengatakan Imam Syafi’i berkata “A”, lalu ia mengatakan Imam Syafi’i keliru, ulama? Misalnya, Imam Nawawi itu keliru, yang bener itu begini, penemuan saya begini, itu ulama? Ya gak. Ahli nasab mengatakan nasab Ba Alwi itu tersambung, kemudian ada orang pakai sorban mengatakan gak tersambung, ulama? Males. faham ya. Itu bukan ulama. Itu ulam fil ma, dia bukan ulama, ada apa diladeni. Masa ulama, sudah jelas, jadi kalau orang itu, kalau ngomong, dilihat siapa yang ngomong, apa omongannya, siapa yang diomongin, anda bisa tahu itu….ini ada orang di pasar mengkritik professor, faham ya, omongannya ngelantur..”

Jawaban Ustadh Taufik itu masih panjang, tetapi yang laik untuk penulis tanggapi, sepertinya, hanya sampai di sana. Karena, narasi di atas ada kaitannya dengan keterputusan nasab Ba Alwi. Jawaban lainnya agaknya tidak terlalu perlu ditanggapi, karena hanya narasi apologetic yang tidak pantas dijawab orang-orang berilmu.

Sebenarnya, jawaban Taufik yang penulis kutip itupun tidak memenuhi standar jawaban ilmiah, tetapi itu kesempatan bagus yang bisa penulis ambil untuk mengatakan kepada masyarakat bahwa terputusnya nasab Ba Alwi itu memang merupakan sebuah kebenaran yang tidak dapat di bantah, terbukti dari ketua-nya saja, ketika ditanya tentang tanggapan atau jawaban terhadapan tesis bahwa Ba Alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad Saw., hanya mampu menjawab dengan jawaban seperti di atas: tidak ada dalil apapun; tidak ada pendapat ulama yang disebutkan; tidak ada bantahan dari 12 pertanyaan dan narasi penulis, kecuali mengelak dan memframing, bahwa yang berpendapat itu bukanlah ulama, ia hanya orang-orang di pasar.

Ia mengatakan: yang membatalkan nasab Ba Alwi bukan ulama, padahal dalam surat penulis, selain penulis sematkan nama lengkap penulis, penulis pula tambahkan bahwa penulis adalah pengasuh pondok pesantren, Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Banten, dan pengurus LBM PBNU. Masa pengasuh pondok pesantren bukan ulama; Ketua Komisi fatwa bukan ulama; pengurus LBM PBNU bukan ulama. Apakah ulama itu, menurut Taufik Segaf, harus dari marga Ba Alwi atau ia yang mau mengakui Ba Alwi sebagai keturunan Nabi saja?

Kata Taufik, yang membatalkan nasab Ba Alwi hanya sekelas orang-orang di pasar. Ia belum tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa kiai-kiai di tempatnya berada, Pasuruan, telah mengundang penulis untuk berceramah di sana, dan setelah ceramah, para kiai sepuh di Pasuruan mengundang penulis untuk mampir ke rumahnya, ke pesantrennya, sekedar untuk mengatakan bahwa mereka mendukung penulis, setuju dengan tesis penulis, dan agar penulis melanjutkan sosialisasi batalnya nasab Ba Alwi.
Apakah kiai-kiai itu, menurut Taufik, hanya orang-orang di pasar?

Ketika tersebar berita bahwa penulis tengah berada di Pasuruan, lalu ulama-ulama dari daerah lain menghubungi agar penulis-pun bersedia mampir ke rumahnya, ke pesantrennya: di Magetan, Probolinggo dan kiai-kiai di Jember. Apakah mereka bukan ulama dan hanya orang-orang pasar?

Banyak ulama-ulama yang telah menghubungi penulis, agar jika penulis berada di daerahnya, penulis bersedia mampir ke rumahnya, ke pesantrennya, dan kebanyakan dari undangan silaturahmi itu, belum dapat penulis penuhi karena keterbatasan waktu.

Beberapa PCNU di pulau Jawa bahkan telah mengundang penulis. Mereka mengumpulkan pengurus mulai dari jajaran syuriah, tanfidziah, MWC sampai ke pengurus ranting untuk berdiskusi dengan penulis. Sebagian dengan mengadakan acara umum, sebagian lagi acara tertutup. Sebagian sengaja dipublikasi, sebagian lagi tidak. Apakah mereka bukan ulama dan hanya orang-orang pasar?

Dari luar Pulau Jawa, banyak kiai-kiai, tuan guru, yang datang ke pesantren penulis, menyatakan dukungan dan keterharuan, bahkan dari mereka, ada yang hanya sekedar membacakan puisi di hadapan penulis yang telah dipersiapkannya dari rumah. Seperti puisi dari Sumatra, dari Jawa Timur ada yang membuat syair dalam tembang-tembang Bahasa Arab. Sebagian dari mereka lagi, menghubungi penulis dengan alat telekomunikasi: dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sebagian lagi meminta waktu untuk diadakan acara ceramah dan seminar penulis di pulau-pulau itu.
Apakah mereka bukan ulama?

Semua narasi berkesan riya dan sum’ah itu, dengan berat penulis sampaikan, untuk menjawab pertanyaan Ustadh Taufik Segaf “Siapa ulama itu?”

Matahari memang masih sama, tapi waktu telah berubah. Bangsa Indonesia telah cerdas. Ini yang harus diperhatikan. Tidak ada lagi jalan keluar, selain mengindonesia dengan seindonesia-indonesianya. Melucuti nama yang bukan ngindonesia; melupakan pengakuan palsu nasab mulia. Tataplah masa depan dengan persiapan pengetahuan dan prestasi yang membanggakan, bukan dengan hal lain yang mencederai kemanusiaan. Tanah air ini kaya raya; subur dan makmur. Tanahnya dapat memberi kenyang semua yang ada di atasnya; airnya dapat menghilangkan dahaga putra-putrinya. Syukurilah anak negeri ini mau berbagi. Cintai dan banggakan ia. Jangan lagi sebut nama negeri jauh yang dapat membuat putra-putri negeri ini cemburu. Karena negeri inilah yang memberimu segala-galanya. Bukan negeri miskin di sana yang mengusir putra-putrinya karena tidak mampu memberinya sepotong roti dan sesuap nasi.

Indonesia ini tanah pusaka; tercipta dengan takdir makanan yang melimpah; putra-putrinya cerdas, sopan dan berbudaya; Borobudur dan Prambanan adalah bukti bahwa bangsa ini adalah bangsa berperadaban besar dan kebudayaan yang tinggi. Ia hanya sejajar dengan Yunani dengan koloseumnya; Mesir dengan piramidanya; China dengan temboknya; dan Turki dengan Gobeklinya.

Penulis Imaduddin Utsman al-Bantani

Sumber  Tulisan : https://www.nahdlatul-ulum.com/menanggapi-ustadh-taufik-segaf/




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *