Mengapa Para Habib Tidak Sah Menjadi Saksi Nikah?

Kita sering melihat di media sosial video para habib Ba’alwi menari di hadapan banyak orang. Bahkan tidak hanya habib muda, yang sudah dikenal sebagai ulama-pun tidak segan-segan untuk turun melantai menggerakan kaki dan tubuhnya dalam alunan music marawis. Tarian itu disebut sebagai tari “temani”, atau orang Yahudi menyebutnya “tza’ad Temani” (langkah Yaman), yaitu tarian yang berasal dari kaum Yahudi Yaman dengan gerakan khas menghentakan langkah kaki dengan mode tertentu.

Dalam fikih Islam, ulama berbeda pendapat tentang hukum menari. Hukumnya dibedakan dilihat dari jenis tarian itu sendiri, tarian yang dibawakan laki-laki dan perempuan, dan menari di hadapan siapa. Hukumnya berbeda pendapat dari mulai boleh, makruh sampai haram.

Ulama syafi’iah mayoritas membolehkan menari bagi laki-laki dengan sarat tertentu. Tetapi mereka sepakat bahwa orang yang sering menari, adalah termasuk orang yang tidak mempunyai muru’ah (kehormatan), dan yang melakukannya tidak sah untuk dijadikan sebagai saksi, termasuk saksi nikah.

Seorang saksi, diatur dalam fikih Islam, ia harus memenuhi sarat-sarat tertentu, diantaranya: ia harus mempunyai muru’ah (kehormatan). Dalam kitab Fathul Mu’in, muru’ah didefinisikan sebagai:

 

“Menjaga diri dari perbuatan rendah”

Kitab Fathul Mu’in juga memberikan beberapa contoh orang-orang yang tidak diterima kesaksiannya karena tidak mempunyai muru’ah.

“maka runtuhlah muru’ah itu oleh makan dan minum di pasar; berjalan di pasar tanpa menutup kepala dan badan, (hukum) ini untuk selain orang (yang bekerja) di pasar; mencium isteri di hadapan orang; memperbanyak (kata) yang membuat orang tertawa; sering main catur dan berjoget”. (Fathul Muin dalam I’anatuttalibin 4/319) .

Imam Al Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan:

“Berkata Abul Faraj: dan telah berkata Al Qaffal sebagian dari ulama kita: tidak diterima kesaksian para penyanyi dan para penari” (Tafsir Al Qurtubi 14/56)

Imam Nawawi dalam Raudatuttalibin mengatakan:

“Far’un (cabang masalah): apa yang kami hukumi kebolehannya dalam pemaparan ini, keseringan melakukannya berkonsekwensi ditolaknya kesaksian karena tercederainya muru’ah. Maka barangsiapa yang sering main catur, pergi ke pemandian umum, tertolak kesaksiannya, walaupun tidak disertai sesuatu yang membuatnya haram, karena didalamnya terdapat hal yang mengabaikan muru’ah. Begitu pula orang yang sering menyanyi dan mendengarkannya, ia mendatangi orang atau orang mendatanginya (untuk menyanyi), atau ia mengambil budak perempuan atau budak laki-laki untuk menyanyi bagi orang lain, begitupula hukum sering menari dan menabuh marawis” (Raudatuttalibin 11/230)

Ulama madzhab Hambali juga berpendapat yang sama, yaitu orang yang menari ditolak kesaksiannya, ia tidak bisa menjadi saksi. Contoh ulama Hambali yang berpendapat demikian adalah Ibnu Muflih ia berkata dalam kitabnya Al Mubdi’ fi Syarhil Muqni’:

“Maka tidak diterima kesaksian al mushafi’ (orang yang sering menampar wajah), Al Mutamaskhir (orang yang melakukan hal yang membuat orang lain mengejeknya), penyanyi, penari, pemain catur, pemain kartu, dan orang yang makan di pasar, orang yang melunjurkan kaki di hadapan orang, orang yang cerita jima’nya ia dengan isterinya atau budaknya, orang yang memasuki pemandian umum tanpa kain sarung, dan sebagainya. (Al Mubdi’ 10/225)

Jika para habib itu beralasan bahwa menari tarian temani itu adalah bagian dari budaya mereka, jadi ikut menari bersama itu bagian dari menjaga budaya mereka, tentu menjaga budaya itu adalah suatu hal dan hilangnya muru’ah itu adalah hal lain. Masyarakat Indonesia juga memiliki tarian-tarian sebagai bentuk prasasti perjalanan peradaban dan heritage budaya mereka, tetapi bukan berarti kesenian dan tarian itu dilakukan secara langsung oleh para ulamanya. Standar dan nilai suatu muru’ah, sebenarnya adalah pilihan-pilihan individu untuk menilai dirinya sendiri. Walaupun kiai-kiai NU tidak mengharamkan orang menari marawis contohnya, tetapi kita saksikan kiai-kiai muktabar di NU tidak ada yang melantai ikut menari bersama yang lainnya.

Tentu tidak semua habib Ba’alwi senang menari, tetapi yang tampak di media sosial, mereka yang dianggap sebagai ulama, imam besar, bahkan yang dianggap walipun pun ikut melantai. Tentu ini berarti standar muru’ah mereka memang seperti itu. Kiai-kiai musholla di kampung, terutama di kampung penulis, penulis lihat lebih tinggi muru’ahnya khusus dalam hal menari ini dibandingkan kalangan yang dianggap wali dari kalangan habib Ba’alwi.

Penulis Imaduddin Utsman Al-Bantani

sumber tulisan :https://rminubanten.or.id/mengapa-para-habib-tidak-sah-menjadi-saksi-nikah/




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *