Mengingatkan Pentingnya Adab dan Empati Seorang Mubaligh: Refleksi dari Sikap di Atas Panggung
Dalam setiap peran yang kita jalani, adab dan empati menjadi fondasi utama. Seorang mubaligh, yang posisinya dihormati oleh masyarakat, seharusnya menjadi teladan dalam setiap sikap dan perkataannya. Namun, kejadian yang melibatkan Kyai Miftah, di mana beliau bercanda kepada seorang penjual es di atas panggung, justru mencerminkan sikap yang kurang bijak dan jauh dari nilai-nilai empati.
Ketika Kyai Miftah bertanya, “Es masih ada?” dengan harapan si penjual es dapat menjual dagangannya, jawaban sederhana dari penjual es tersebut seharusnya menjadi momen bagi Kyai untuk mendukung atau bahkan membeli dagangannya. Namun, candaan Kyai, “Kalau masih ada ya dijual, Goblog!” yang disertai tawa terbahak-bahak, justru mempermalukan si penjual di depan umum.
Islam Menjunjung Tinggi Kehormatan Sesama
Allah SWT berfirman:
*”Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang merendahkan.”* (QS. Al-Hujurat: 11).
Ayat ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk menjaga kehormatan sesama, terlebih kepada mereka yang bekerja keras mencari nafkah dengan halal. Candaan yang menyakiti hati seseorang, walaupun tidak disengaja, tetap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Adab dalam Berinteraksi dengan Orang Lain
Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam adab dan empati. Beliau selalu menghormati setiap orang, baik itu pemimpin maupun rakyat biasa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Candaan yang merendahkan martabat orang lain bukanlah akhlak seorang muslim yang baik, apalagi seorang mubaligh yang seharusnya menjadi teladan dalam sikap dan perkataan.
Pandangan Ulama tentang Empati dan Perkataan
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa seorang yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat harus lebih berhati-hati dalam berbicara. Perkataannya memiliki dampak besar, baik itu memberikan manfaat atau justru menyakitkan orang lain.
Selain itu, ulama besar Ahlus Sunnah, Imam Nawawi, menekankan bahwa bercanda tidaklah dilarang selama tidak mengandung unsur penghinaan, kebohongan, atau menyakiti orang lain. Namun, jika candaan berpotensi melukai hati seseorang, maka itu menjadi tercela.
Nasehat untuk Kyai Miftah
Kepada Kyai Miftah, kami sampaikan dengan penuh hormat:
Sebagai seorang mubaligh, setiap ucapan dan tindakan Anda berada dalam pengawasan masyarakat. Anda adalah panutan, dan setiap perkataan Anda bisa memengaruhi hati banyak orang. Sikap empati kepada penjual es, yang sudah berusaha keras mencari nafkah, adalah cerminan keindahan Islam yang sesungguhnya.
Kami mengingatkan, bukan untuk merendahkan, tetapi sebagai bentuk kasih sayang sesama muslim. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan berkata, terutama di hadapan publik. Jadikan Rasulullah SAW sebagai teladan, yang selalu menjaga perasaan orang lain dengan kelembutan dan kasih sayang.
Akhir Kata:
Mubaligh memiliki tugas mulia untuk menyampaikan kebaikan dan menjadi teladan akhlak yang mulia. Semoga peristiwa ini mengingatkan kita semua untuk terus berusaha menjaga adab dan empati, terlebih kepada mereka yang bekerja keras mencari nafkah. Islam adalah agama rahmat, dan rahmat itu terpancar dari sikap kita terhadap sesama.
Wallahu a’lam bishawab.