Menjawab dengan ILMU dan ILMIAH atas pernyataan Kiai Idrus Ramli Yang Masih Level Pembaca Dan Taqlid Buta

Video Tengku Muda Qori Menjawab KH. Idrus Ramli.

Berikut jawaban Kyai Imaduddin terkait pernyataan KH. Idrus Ramli dengan tulisan sebagai berikut:

Kiai Idrus Ramli Masih Level Pembaca Dan Taqlid Buta

Nasab Ba’alwi sudah jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ia batal ditinjau dari berbagai perspektif. Yang demikian itu dapat difahami oleh ia yang pernah mengenyam mata kuliah “metodologi penelitian”.

Sumber-sumber nasab Ba’alwi adalah kitab-kitab nasab dan manuskrip berbahasa Arab “gundul” dari mulai abad ke-3 sampai ke-9 Hijriah. Oleh karena itu, ia yang hanya kuliah dan belajar mata kuliah “metodologi penelitian”, tanpa mempunyai kemampuan membaca Bahasa Arab “gundul”, tidak bisa meneliti nasab Ba’alwi, begitupula, ia yang hanya bisa membaca tulisan berbahasa Arab “gundul” tanpa pernah mengenyam bangku kuliah dan belajar mata kuliah “metodologi penelitian”, sulit untuk mampu menganalisa dan menghipotesa nasab Ba’alwi, apakah ia nasab yang valid atau tidak.

Di kanal Youtubnya, Kiai idrus Romli, menyatakan bahwa nasab Ba’alwi adalah nasab yang “sahih” karena telah terdapat di dalam sebuah kitab yang berjudul “Tabaqat al-Khawas” karya Ahmad al-Shurji al-Zabidi (w.893 H.). Tanpa metodologi yang jelas, hanya bermodal membaca sebuah kitab, lalu ia menyatakan bahwa berita yang ada di dalam kitab itu “sahih”. kiai Idrus Ramli memang seorang pembaca yang baik, tetapi ia belum masuk ke dalam kategori “al-bahis” (peneliti), yang demikian itu, dapat dilihat dari mudahnya ia menerima sebuah berita yang ada dalam suatu kitab lalu dipercaya dan diyakini.

Walaupun, misalnya, seorang kiai itu tidak pernah kuliah, tidak pernah belajar mata kuliah “metodologi penelitian”, sebenarnya, ada piranti dalam hasanah kitab kuning yang mempunyai fungsi yang sama, yaitu meneliti sebuah kesahihan riwayat, yaitu “ilmu hadits dirayah”. Dalam “ilmu hadits dirayah”, misalnya dipelajari tentang bab “al-wijadah” yaitu ketika kita menemukan sebuah berita dalam sebuah kitab, maka kita tidak boleh langsung mempercayai isi kitab itu kecuali setelah melakukan langkah-langkah tertentu yang meyakinkan kita bahwa berita itu benar dan sahih.

Kiai Idrus Ramli, selain belum memahami teori “al-wijadah” dalam ilmu hadits dirayah, ia juga belum memahami teori “muttasil wa munqati’” (riwayat yang tersambung dan riwayat yang terputus) ketika membaca kitab “Tabaqat al-Khowas”. Ia juga tidak memahami teori “ma’rifat al-tawarikh” dalam disiplin ilmu yang sama tentang sejarah setiap perawi, dari pemahaman tentang teori itu, kita akan memahami pula pentingnya mengetahui rentang jarak tahun antara tahun kapan kitab itu ditulis dan kapan berita itu terjadi. Kitab yang dibaca Kiai idrus Ramli itu kitab abad ke-9 Hiriah, sedangkan hidupnya Ahmad bin Isa adalah abad ke-3 hijriah, jaraknya 600 tahun, lalu dari kitab apa Al-Shurji mendapatkan informasi bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak Ubaidillah?

Penulis berharap, dengan reputasi Kiai idrus Ramli selama ini, hendaklah ia membaca buku-buku tentang “metodologi penelitian” apalagi yang khusus tentang “metodologi penelitian sejarah”, jika enggan membaca buku-buku modern, bacalah kitab-kitab ilmu hadits dirayah, terutama tentang teori “al-wijadah”, “muttasil wa munqati’” dan teori “ma’rifat al-tawarikh”. Jika telah memahami itu semua, baru silahkan meneliti nasab Ba’alwi, penulis yakin, kesimpulan Kiai Idrus Ramli akan sama dengan penulis, yaitu bahwa nasab Ba’alwi adalah nasab yang batal, sama sekali tidak tersambung kepada nasab Nabi Muhammad Saw. dan, lalu jika telah mengetahui tentang batalnya nasab Ba’alwi, dan bahwa para Ba’alwi seperti Bin Yahya, Bin Syihab, Bin Semit, Assegaf dan sebagainya itu bukanlah keturunan Nabi Muhammad Saw., lalu hendaklah Kiai Idrus Ramli membaca hadits Imam Bukhari di bawah ini:

إن من أعظم الفرى أن يدعى الرجل إلى غير أبيه

“Sesungguhnya, termasuk paling besarnya kedustaan adalah, seseorang yang mengaku (ayah) bukan kepada ayah (kandungnya)”.

Ubaidillah itu bukan anak Ahmad bin Isa. kitab nasab abad ke-5 sampai abad ke-9 menyebutkan demikian. Maka membela Ubaidillah yang “mengaku” ayahnya adalah Ahmad, adalah suatu kedustaan, bahkan termasuk paling besarnya kedustaan. Berarti itu dosa besar. Lalu bagaimana hukum orang yang membelanya? Tentu ketika ia tahu bahwa itu suatu dosa, lalu ia tetap membelanya, maka ia pun termasuk dalam katagori “al-ta’awun ala al-ismi” (saling bantu membantu dalam berbuat dosa).

Jika Kiai idrus Ramli masih penasaran membela nasab Ba’alwi, silahkan jawab tiga saja pertanyaan penulis: pertama, adakah kitab abad ke-3 sampai ke-8 hijriah yang menyebutkan Ahmad bin Isa tinggal di Basrah? Kedua, adakah kitab abad ke-3 sampai ke-8 Hijriah yang menyebut Ahmad bin Isa pindah ke Hadramaut? Adakah kitab abad ke-3 sampai ke-8 Hijriah yang menyebutkan bahwa ia mempunyai anak bernama Ubaidillah?.

Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *