Menjawab Keraguan: Tesis KH Imaduddin Utsman al Bantani Tentang Nasab Ba’alwi dan Keturunan Rasulullah SAW

*Menjawab Keraguan: Tesis KH Imaduddin Utsman al Bantani Tentang Nasab Ba’alwi dan Keturunan Rasulullah SAW*

 

*Pendahuluan*

Tesis KH Imaduddin Utsman al Bantani bukan sekadar karya ilmiah biasa. Tesis ini menyajikan argumen yang kuat mengenai ketidakvalidan klaim nasab Ba’alwi sebagai keturunan Rasulullah SAW, yang sudah diterima oleh sebagian kalangan tanpa verifikasi ilmiah yang memadai. KH Imad menyoroti pentingnya memverifikasi setiap klaim genealogis melalui sumber yang otentik, historis, dan ilmiah. Tesis ini didukung dengan ratusan halaman referensi dari berbagai sumber yang mu’tabar dan mu’tamad.

 

*Studi Pustaka dan Metodologi*

KH Imaduddin memadukan doktrinal dan empirik, artinya karya ini tidak hanya berdasarkan teks-teks kitab klasik (doktrinal) tetapi juga didukung studi lapangan (empirik) yang memperkuat substansi argumen yang disampaikan. Ini adalah landasan yang diakui oleh para akademisi untuk memastikan sebuah karya ilmiah dapat berdiri kokoh, baik dari referensi primer, sekunder, hingga tersier.

Dalam dunia akademisi, referensi dari kitab mu’tabar sangat penting, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Sunni seperti Imam As-Suyuthi dan Ibn Khaldun, yang selalu menekankan pentingnya menggunakan sumber-sumber yang terpercaya dalam setiap penelitian ilmiah atau genealogi.

 

*Terputusnya Nasab Ba’alwi*

Poin utama dalam tesis ini adalah bahwa nasab Ba’alwi terputus dari Sayyidina Muhammad SAW karena tidak ada verifikasi yang jelas terkait sosok Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Dalam kitab nasab yang mu’tamad seperti yang ditulis oleh Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa atau Al-Qalqashandi dalam Subh al-A’sha, hanya ada tiga anak dari Ahmad bin Isa. Tidak ada penyebutan mengenai Ubaidillah.

Bahkan, KH Imaduddin melalui studi mendalamnya menunjukkan adanya bukti bahwa kitab-kitab yang muncul setelah abad ke-9 yang menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa mengalami tahrif atau pemalsuan. Sumber-sumber primer dari abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah tidak menyebutkan nama Ubaidillah, sementara kitab yang baru muncul ratusan tahun kemudian mencoba menambahkannya tanpa verifikasi yang memadai.

 

*Kontradiksi Sejarah*

Terdapat paradoks yang mencolok antara kitab-kitab nasab yang mu’tamad dan yang datang belakangan. Pada abad ke-9, baru muncul klaim bahwa Ubaidillah adalah anak keempat dari Ahmad bin Isa, tetapi klaim ini bersumber dari kitab yang ditulis oleh pihak dari klan Ba’alwi sendiri. Dalam studi historiografi, metode seperti ini menimbulkan kecurigaan akademik karena ada upaya untuk merevisi sejarah yang sudah lama disepakati.

Menurut Prof. Dr. Manachem Ali, seorang ahli filologi dan sejarah, fenomena seperti ini dalam penulisan sejarah sangat rentan terhadap bias kepentingan kelompok. Sejarawan seperti Ibn Khaldun juga memperingatkan tentang bahayanya memercayai narasi-narasi yang muncul dari kelompok-kelompok yang berkepentingan tanpa ada verifikasi dari sumber lain yang lebih otoritatif.

 

*Kaidah Syuhroh dan Istifadhah yang Salah Penerapan*

Pihak yang membela nasab Ba’alwi sering kali menggunakan kaidah syuhroh (populer) dan istifadhah (tersebar luas) sebagai pembenaran atas klaim mereka. Mereka berpendapat bahwa meskipun tidak ada data sezaman, populernya kabar bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa sudah cukup untuk dianggap sah.

Namun, kaidah ini sebenarnya bersifat kondisional dan harus didukung dengan bukti faktual yang cukup. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menyatakan bahwa popularitas suatu klaim tanpa bukti yang kuat bukanlah dasar untuk menerima sesuatu sebagai kebenaran. Dalam hal ini, KH Imad menunjukkan bahwa justru fakta bahwa kitab-kitab nasab mu’tamad yang menulis silsilah Ahmad bin Isa di masa lampau tidak pernah menyebutkan nama Ubaidillah, menjadikan kaidah syuhroh dan istifadhah tidak relevan.

 

*Analogi Cacat dan Ketidakmasukakalan Klaim Nasab*

Para penolak tesis KH Imad sering kali membuat analogi antara nasab Ahmad bin Isa dan nasab Nabi Musa hingga Nabi Adam, mengklaim bahwa nasab yang sangat jauh tidak perlu didokumentasikan secara detail. Ini adalah analogi yang sangat cacat, karena zaman Nabi Musa dan Nabi Adam tidak memiliki tradisi penulisan yang kuat, berbeda dengan masa Ahmad bin Isa di mana praktek tulis menulis sudah sangat mapan.

Seperti dijelaskan oleh ulama seperti Al-Baghdadi dalam Fihrist al-Baghdadi, masa Abbasiyah (di mana Ahmad bin Isa hidup) adalah masa kejayaan ilmu pengetahuan dan penulisan, sehingga sangat aneh jika silsilah keturunan Ahmad bin Isa yang sangat penting bagi masyarakat Islam tidak terdokumentasi dengan baik pada masa itu.

 

*Pentingnya Verifikasi Ilmiah dan Teknologi DNA*

KH Imad juga menyentuh aspek modern dalam pembuktian nasab, yaitu teknologi DNA. Menurut penelitian para genetika seperti Dr. Michael Hammer, tes DNA telah mampu membuktikan keterkaitan genetik di antara individu-individu yang mengklaim keturunan dari satu sumber yang sama. Namun, dalam kasus Ba’alwi, hasil DNA yang dilakukan justru menunjukkan perbedaan haplogroup, di mana sebagian besar keturunan Ba’alwi tidak memiliki haplogroup J1 yang umumnya diasosiasikan dengan keturunan Arab Quraish, termasuk Rasulullah SAW.

 

*Penutup*

Tesis KH Imaduddin memberikan landasan ilmiah yang sangat kuat dalam membantah klaim nasab Ba’alwi. Karya ini tidak hanya berbasis doktrinal, tetapi juga empirik dan dilengkapi dengan studi pustaka yang mendalam serta verifikasi ilmiah. Bagi para pembaca, ini adalah ajakan untuk selalu berpikir kritis, mencari kebenaran, dan tidak begitu saja menerima klaim nasab tanpa bukti yang sahih. Kita harus menjaga kejujuran intelektual dalam menyikapi sejarah, terutama yang berkaitan dengan keturunan Rasulullah SAW.

Referensi:

  1. Al-Qalqashandi, Subh al-A’sha.
  2. Ibn Khaldun, Muqaddimah.
  3. Dr. Michael Hammer, Penelitian DNA dan Haplogroup.
  4. Prof. Dr. Manachem Ali, Filologi Universitas Airlangga.
  5. Imam Nawawi, Al-Majmu’.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *