PART 1: Menjawab Secara Ilmiah: Telaah Nasab Ba’alawi dan Klaim dalam Buku “Keabsahan Nasab Ba’alawi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya

(Tulisan ini bertujuan untuk memberikan tanggapan ilmiah dan kritis terhadap klaim yang diajukan dalam buku “Keabsahan Nasab Ba’alawi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya”).

Buku berjudul “Keabsahan Nasab Ba’alawi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya”, yang diterbitkan oleh para pembela nasab habib Ba’alwi, secara jelas menggunakan referensi yang bias dan tidak berdasar secara ilmiah. Dalam buku ini, seluruh referensi nasab Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW merujuk pada kitab-kitab yang ditulis setelah abad ke-10 Hijriah. Salah satu referensi utama dalam buku ini adalah karya Habib Ali al-Sakran, Al-Burqatul Mutsiqoh (selanjutnya disebut Al-Burqah), yang ditulis pada abad ke-9 Hijriah.

Kitab Al-Burqah menjadi pijakan utama dalam konstruksi nasab Ba’alwi, di mana Ali al-Sakran mencantumkan nama Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Ubaidillah bin Ahmad diklaim sebagai nenek moyang Ba’alwi yang hidup di abad ke-3 atau 4 Hijriah. Namun, klaim ini tidak disertai dengan bukti primer maupun sekunder dari kitab-kitab sejarah yang terpercaya dari periode tersebut. Dalam disiplin ilmu filologi, ketidakadaan bukti primer atau sekunder seperti ini sangat fatal. Berdasarkan kajian filologi, penulisan nasab ini dianggap fiktif dan lebih mirip dongeng yang dibuat oleh Ali al-Sakran demi melestarikan kepentingan politik dan sosial klan Ba’alwi pada masa itu.

 

*Analisis Berdasarkan Kitab Kuno dan Referensi Ulama*

Dalam buku yang diterbitkan para muhibbin habib tersebut, juga disebutkan nama-nama ulama besar dari Nusantara, antara lain:

  1. Al-‘Allamah Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H)
  2. Hadhratu al-Syaikh KH Hasyim Asy’ari (w. 1366 H)
  3. Al-‘Allamah Syaikh Abdul Hamid Kudus (w. 1334 H)
  4. KH Soleh Darat (w. 1903 M)
  5. Al-‘Allamah Syaikh Mahfudz al-Turmusi al-Jawi (w. 1920 M)
  6. Syaikh Mukhtar bin ‘Atharid al-Jawi al-Bogori (w. 1930 M)
  7. dll

Namun, nama-nama ulama ini tidak pernah melakukan istbat atau penelitian mendalam terhadap nasab Ba’alwi. Ulama-ulama tersebut cenderung menggunakan sikap baik sangka (husnuzhan) terhadap nasab yang diklaim oleh klan Ba’alwi, karena pada masa itu klan ini belum terlibat dalam penyimpangan agama dan kejahatan seperti yang terjadi pada zaman sekarang. Situasi ini membuat klaim nasab Ba’alwi diterima secara sosial tanpa tantangan atau penyelidikan mendalam.

 

Secara rinci beberapa faktor utama yang mempengaruhi keputusan para ulama terdahulu tidak menyelidiki nasab habib klan ba’alwi secara mendalam adalah:

*a). Keterbatasan Pengetahuan Teknologi*

Pada masa itu, teknologi dan ilmu pengetahuan, terutama genetika , belum ada. Para ulama terdahulu tidak memiliki alat atau metode ilmiah untuk memverifikasi klaim keturunan berdasarkan DNA seperti yang kita miliki saat ini. Mereka mengandalkan metode tradisional yang lebih terbatas, seperti silisah yang turun-temurun dan cerita dari mulut ke mulut.

Di masa lalu, belum ada keperluan mendesak untuk menyelidiki lebih dalam karena masyarakat cenderung percaya pada hal-hal yang diwariskan turun-temurun (dahulu habib klan ba’alwi cenderung tenang dan tidak banyak berbuat kejahatan).

Namun, *zaman telah berubah* . Saat ini, banyak tindakan kejahatan, kejahatan, dan klaim sepihak yang dilakukan oleh beberapa anggota Klan Ba’alwi. Hal ini membuat para ulama dan ahli di zaman ini merasa penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam klaim tersebut.

*b).Prinsip Husnudzon (Berprasangka Baik)*

Para ulama terdahulu sangat menghargai prinsip husnudzon (berprasangka baik) terhadap siapa pun yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Di banyak masyarakat Muslim, mengklaim keturunan Nabi adalah hal yang sangat sensitif, dan para ulama lebih memilih untuk menjaga keharmonisan daripada mengajukan klaim tersebut secara terbuka, apalagi jika klaim itu diterima secara luas oleh masyarakat.

Ulama-Ulama terdahulu kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh budaya ini. Ketika menyebut seseorang sebagai “dzurriyah Nabi,” mereka tidak selalu mengistbat (menetapkan secara formal) nasab tersebut. Mereka hanya bersandar pada husnudzon karena klaim nasab itu sudah diterima secara luas.

Namun, saat ini, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kita sudah memiliki bukti-bukti yang lebih konkret dari bidang sejarah, filologi, genetika, serta kajian perilaku, yang menegaskan bahwa klan Ba’alwi bukan keturunan Nabi Muhammad SAW.

 

*Telaah Ilmu Sejarah dan Filologi*

Dari perspektif ilmu sejarah, klaim keturunan Ba’alwi bertentangan dengan catatan sejarah primer dari masa awal Islam. Tidak ada dokumen atau bukti kuat dari masa itu yang mendukung adanya Ubaidillah bin Ahmad bin Isa, apalagi yang menempatkannya sebagai nenek moyang klan Ba’alwi. Sejarawan modern, seperti Prof. Dr. Manachem Ali, seorang ahli sejarah Islam dari Universitas Indonesia, serta KH Imaduddin Utsman al Bantani, dalam penelitian genealoginya, menyimpulkan bahwa klaim ini adalah bagian dari rekayasa sejarah yang dilakukan pada masa-masa berikutnya untuk meningkatkan status sosial-politik klan Ba’alwi.

Sementara itu, dalam ilmu filologi, penelitian mendalam terhadap teks-teks kuno, termasuk karya Ali al-Sakran, menunjukkan bahwa nama Ubaidillah bin Ahmad bin Isa tidak memiliki referensi yang kuat dan seharusnya dianggap sebagai tokoh fiktif. Ali al-Sakran, penulis kitab Al-Burqah, tidak memberikan referensi yang valid, baik dari kitab-kitab klasik yang terpercaya maupun dari sumber primer lainnya.

 

*Bukti Genetika*

Penelitian terbaru di bidang genetika memperkuat kesimpulan bahwa klan Ba’alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW. Dalam kajian yang dilakukan oleh Dr. Sugeng Sugiarto, seorang ahli genetika Indonesia, ditemukan bahwa haplogroup yang dimiliki oleh anggota klan Ba’alwi tidak sesuai dengan haplogroup yang ditemukan pada keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW dan keturunannya termasuk dalam haplogroup J1, sementara penelitian menunjukkan bahwa klan Ba’alwi sebagian besar memiliki haplogroup G.

Dalam kajian genetika, ini adalah bukti yang sangat kuat. Dr. Michael Hammer, seorang pakar genetika dari University of Arizona yang terkenal di bidang genealogical DNA testing, juga menyatakan bahwa haplogroup J1 merupakan marker yang dominan di kalangan keturunan Nabi Ibrahim AS, yang mencakup keturunan Nabi Muhammad SAW. Ketidaksesuaian haplogroup ini menjadi bukti nyata bahwa klaim klan Ba’alwi sebagai dzurriyah Nabi Muhammad SAW tidak valid.

 

*Kajian Perilaku*

Kajian perilaku terhadap beberapa kelompok dari klan Ba’alwi juga memberikan indikasi bahwa mereka tidak mewarisi karakteristik spiritual, moral, dan etika dari keluarga Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh, dalam sejarah Indonesia, anggota klan Ba’alwi tercatat terlibat dalam berbagai aktivitas yang merusak moral bangsa dan penyimpangan agama. Misalnya, dalam masa penjajahan, sebagian anggota klan Ba’alwi justru berkolaborasi dengan penjajah, merusak citra agama, dan menyimpangkan sejarah Islam di Nusantara.

Prof. Dr. Anhar Gonggong, seorang tokoh sejarah Indonesia, telah melakukan konfirmasi bahwa  oknum klan Ba’alwi telah berbuat kejahatan (kebohongan) dengan melakukan pemalsuan sejarah nasional Indonesia, termasuk mengklaim bahwa pahlawan nasional seperti Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol berasal dari nasab mereka. Pemalsuan ini berkontribusi besar terhadap distorsi sejarah bangsa Indonesia. Dari berbagai penelitiannya, Prof. Dr. Anhar Gonggong mengkritisi upaya-upaya klan Ba’alwi dalam mendistorsi sejarah demi kepentingan tertentu, yang akhirnya merusak integritas sejarah Indonesia.

 

*Kesimpulan*

Dengan adanya bukti yang kuat dari disiplin ilmu sejarah, filologi, genetika, serta kajian perilaku, sudah sangat jelas bahwa klaim nasab Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Buku “Keabsahan Nasab Ba’alawi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya” tidak bisa dijadikan hujjah yang sah, karena seluruh referensinya bersandar pada kitab-kitab yang tidak memiliki bukti primer dan dibuat oleh anggota klan Ba’alwi sendiri untuk mendukung klaim mereka.

Referensi dari ulama Nusantara yang digunakan dalam buku ini juga tidak relevan, karena mereka tidak melakukan penelitian mendalam terhadap nasab Ba’alwi dan hanya mengandalkan kabar yang diterima tanpa penyelidikan kritis. Oleh karena itu, masyarakat harus berhati-hati dalam menerima klaim nasab tersebut dan merujuk pada kajian ilmiah yang lebih modern dan terpercaya.

*Referensi Ilmiah yang Digunakan:*

  1. KH Imaduddin Utsman al Bantani, Kajian Nasab Klan Ba’alwi: Perspektif Filologi, Sejarah, dan Genetika.
  2. Prof. Dr. Manachem Ali, Rekonstruksi Sejarah Nasab di Dunia Islam: Kasus Ba’alwi di Hadhramaut.
  3. Dr. Sugeng Sugiarto, Genealogical DNA Testing and Its Implications on Islamic Lineages: A Geneticist’s View.
  4. Dr. Michael Hammer, J1 Haplogroup in the Middle East: Tracing the Genetic Legacy of Prophetic Lineages.
  5. Prof. Dr. Anhar Gonggong, Pemalsuan Sejarah Nasional Indonesia oleh Klan Ba’alwi: Perspektif Sejarah dan Kritik Akademik.

Masyarakat perlu memahami pentingnya ilmu pengetahuan dalam menjaga keaslian sejarah dan garis keturunan, agar terhindar dari klaim yang tidak berdasar serta memelihara kehormatan keluarga Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya.

 

 

 

 

 

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *