Menyoal Klaim Imigran Yaman Sebagai Keturunan Pejuang

Menyoal Klaim Imigran Yaman Sebagai Keturunan Pejuang

Oleh KH. Ali Badri Masyhuri

Banyak yang bertanya pada saya tentang Sumpah Pemuda yang diprakarsai oleh Abdurrahman Rasyid Baswedan. Peristiwa itu katanya dikalim oleh Baalawi Indonesia sebagai kontribusi imgiran Yaman pada perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Maka saya akan jelaskan kronologi dan tujuan Sumpah Pemuda AR Baswedan itu.
Di awal telah kita bicarakan bagaimana kacaunya kondisi imgran Yaman saat itu akibat pertikaian antara kum Baalawi Indonesia dibawah naungan Rabithah Alawiyah dan kaum non Baalawi dibawah Al-Irsyad.
Singkat cerita, pertikaian itu bermula karena Baalawi imigran tidak mengesahkan pernikahan seorang India dengan syarifah Baalawi yang terjadi pada tahun 1.323 H atau sekitar 1.906 M.
Pertikaian itu berlangsung hingga tahun 1.942 setelah Jepang menjajah negeri ini dengan kejamnya. Berbagai upaya perdamaian gagal total. Penyebabnya adalah karena Rabithah alawiyah tidak mau berdamai. Berkatalah Habib Ali bin Muhsin Assegaf dalam kitab Al-Istizadah halaman 1.383:

وكان العلامة ابن عبيد الله قد وصل إلى جاوى سنة 1.336 هـ وتوصط للإصلاح كما قال على ثلاثة شروط وضعها : أولها اجتناب السباب والثاني الرجوع في كل ما يختلفون فيه إلى مذهب البلاد الحضرمية الوحيد وهو الشافعي ، والثالث مبادلة الحقوق الإسلامية. وقال ابن عبيد الله : فتلقاها الإرشاديون بالقبول من أول وهلة ، بينما أقام أهل الرابطة في سبيله العثرات ، وقد لمح ابن عبيد الله على أن لدى هؤلاء رغبة في استمرار الخلاف ، وقد بذل الجد ابن عبيد الله جهدا جبارا للإصلاح بين الجماعتين والتقى بالفريقين وألقى الخطب وكتب المقالات ودبج القصائد ولقي من وراء ذلك أذى كثيرا.

Terjemah:

“Al-Allamah Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf datang ke Jawa pada tahun 1.336 H (1.916 M) dan berusaha menengahi untuk mendamaikan –sebagaimana yang beliau katakan– atas tiga syarat yang beliau buat. Yang pertama, menjauhi caci maki. Yang kedua, apabila mereka berselisih tentang suatu hal agar kembali pada madzhab satu-satunya di Hadramaut, yaitu madzhab Syafi’i. Yang ketiga, agar saling memenuhi hak-hak sebagai sesama muslim. Kalangan Al-Irsyad langsung setuju dan menerima tiga syarat itu untuk berdamai. Sementara kalangan Rabithah Alawiyah justru mencari jalan untuk terus ribut. Habib Abdurrahman bin Ubaidillah melihat adanya keinginan dari pihak Rabithah Alawiyah agar pertikaian itu terus berlangsung. Kakek saya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah, telah mengerahkan upaya yang luar biasa untuk mendamaikan mereka. Beliau pun menemui dua kelompok itu, menyampaikan nasehat, menulis makalah dan menggubah syair. Namun dari upaya itu beliau justru mendapatkan perlakuan menyakitkan”.
Aneh kan? Kalangan Al-Irsyad langsung setuju untuk berdamai, sedangkan kalangan Rabithah Alawiyah malah mencaci Habib Abdurrahman, seorang habib yang sangat alim dan beliau adalah mufti Hadramaut. Rabithah Alawiyah mencaci habib alim yang paling disegani oleh habaib Hadramaut. La haula wala quwwata illa bilLah!
Kenapa Rabithah Alawiyah menolak berdamai? Karena berdamai berarti syarifah boleh menikah dengan pribumi atau non sayyid! Jadi tidak salah juga kalau ada yang curiga bahwa pemerintah Belanda ada main dibalik sikap keras kepala Rabithah Alawiyah itu, yakni ada kaitannya dengan peraturan pemerintah kolonial Belanda bahwa imigran Yaman tidak boleh menikah dengan pribumi, dimana peraturan itu telah diperkuat dengan fatwa Habib Utsman Bin Yahya, seorang ulama’ Baalawi yang diangkat sebagai Mufti Betawi oleh pemerintah kolonial Belanda.
Setelah Habib Abdurrahman gagal dan pulang ke Yaman dengan tangan hampa, pertikaian antara Rabithah Alawiyah dan Al-Irsyad terus berlangsung, dan yang salah adalah Rabithah Alawiyah.
Setelah itu, masih banyak ulama’ habaib Yaman datang ke Jawa. Tentu saja tujuan mereka untuk mencoba mendamaikan pertikaian itu, namun semuanya gagal total, seperti Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf (Kakek habib Taufiq) yang datang ke Jawa pada tahun 1.918 dan kemudian menetap di Pasuruan. Juga Habib Shaleh Al-Hamid yang datang ke Jawa pada tahun 1.921 dan kemudian menetap di Tanggul Jember.
Saya salut dengan beliau berdua. Mufti Hadramaut saja dilawan dan direndahkan oleh Rabithah Alawiyah, namun mereka berdua masih mau mencoba mendamaikan Rabithah Alawiyah dengan Al-Irsyad. Mereka menunjukkan tanggung jawab yang besar dalam berdakwah. Mereka tetap datang ke Jawa walaupun dari awal melihat kemungkinan gagalnya lebih besar daripada kemungkinan berhasilnya.
Berkat ketulusan mereka, Allah SWT mengganti keinginan mereka yang tidak tercapai itu dengan kemuliaan lain, yaitu berjuang bersama para kiai di Jawa, berdakwah dan mengajar pribumi, bahkan beliau berdua kemudian dikenal sebagai wali Allah.
Pada tiap kelompok yang baik ada saja oknumnya. Begitu pula sebaliknya, pada tiap kelompok yang buruk ada saja yang baik. Ketika citra imigran Yaman saat itu buruk sekali di mata pribumi bahkan di mata dunia, tentu ada juga yang baik walaupun namanya tidak dikenal.
Setidaknya ada dua nama dari mereka yang sempat mencuat dan dua-duanya bukan dari kalangan Baalawi. Yang pertama dari keluarga Al-Amudi, dan yang kedua dari keluarga Baswedan. Mereka berdua memiliki ide agar imigran Yaman itu melupakan kebangsaan leluhurnya di Yaman.
Mereka berdua melihat akar masalah pertikaian ini adalah karena mereka membawa tradisi Yaman, bahkan mereka berdua mengajak semua imigran Yaman untuk keluar dari pengkastaan yang dibuat oleh Belanda, dimana Belanda menempatkan imigran Arab dan Cina pada kasta kedua dan pribumi pada kasta ketiga (paling rendah).
Seandainya mereka menjadi orang Indonesia dan merasa sebagai bangsa Indonesia maka pertikaian ini akan mudah diatasi. Tentu saja, kalau mereka merasa sebagai bangsa Indonesia, maka mereka akan lebih peduli pada perjuangan kemerdekan daripada bertikai gara-gara hal yang sangat tidak penting itu.
Mereka bertikai dan tidak peduli dengan perjuangan kemerdekaan karena mereka tidak merasa sebagai bangsa Indonesia. Namun, ide itu mendapat pertentangan yang sangat hebat dari hampir semua sesama imigran Yaman, bahkan Al-Amudi hampir terbunuh oleh para penentangnya.
Sedangkan Baswedan terus maju untuk menunjukkan ketidak-terlibatannya dengan pertikaian memalukan itu, sekaligus menunjukkan keberpihakannya pada para pejuang, hingga dia pun bertekad membuat “Sumpah Pemuda”.
Abdurrahman Rasyid Baswedan dimusuhi oleh mayoritas imigran Yaman, baik Baalawi maupun non Baalawi, sehingga ikrar Sumpah Pemuda hanya dihadiri oleh puluhan imigran Yaman saja. Ribuan imigran Yaman yang lain sama sekali tidak mendukungnya, mereka lebih memilih dan lebih bangga berkebangsaan Yaman daripada berkebangsaan Indonesia.
Maka sangat tidak layak kalau semua keturunan imigran Yaman yang sekarang ini mengaku keturunan pejuang, baik yang Baalawi maupun yang non Baalawi. Mereka tidak bisa menggandol nama besar Baswedan, apalagi mengklaim bahwa Sumpah Pemuda dibuat oleh semua imigran Yaman, nonsen.
Sumpah Pemuda sama sekali tidak ada pengaruhnya untuk konflik imigran Yaman itu. Sumpah Pemuda justru menjadi masalah baru di kalangan mereka. Pertikaian memalukan imigran Yaman itu terus berlangsung hingga Jepang menduduki negeri ini pada tahun 1942. Serangan Jepang dan kekalahan Belanda membuat situasi negeri ini jauh lebih mencekam, karena Jepang menjajah negeri ini lebih keji daripada Belanda, hal ini membuat imigran Yaman juga ketakutan hingga berhentilah pertikaian mereka yang sangat tidak penting itu (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.392).
Kita berhusnudzon saja, bahwa dengan Sumpah Pemuda itu, Baswedan memang tulus untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia, walaupun tujuan utama lahirnya Sumpah Pemuda adalah untuk mendamaikan bangsanya sendiri, yakni sesama imigran Yaman yang sedang bertikai itu.
Setelah Indonesia merdeka, imigran Yaman yang hampir setengah abad membuat keributan itu menjadi bingung; bertahan di Indonesia segan, pulang ke Yaman tak mau. Namun para kiai berbesar hati menerima mereka dan memberikan rekomendasi pada pemerintah Indonesia agar imigran Yaman itu diterima sebagai bangsa Indonesia, sejak saat itulah keluarga besar Rabithah Alawiyah dan keluarga besar Al-Irsyad resmi berbangsa Indonesia. Namun saya melihat resminya itu hanya di KTP saja, karena –sampai sekarang– mereka dengan pribumi asli tetap saja seperti minyak dengan air.
Kemudian, banyak orang yang meminta saya menceritakan tentang Walisongo yang awalnya mereka juga imigran. Oh ya, ada yang menganggap kalimat “imigran” itu konotasinya tidak baik, entah kenapa. Menurut Wikipedia, imigrasi adalah perpindahan orang dari suatu negara ke negara lain, apapun tujuannya, di mana ia bukan merupakan warga negara.
Imigrasi merujuk pada perpindahan untuk menetap permanen yang dilakukan oleh imigran, sedangkan turis dan pendatang untuk jangka waktu pendek tidak dianggap imigran. Dalam bahasa Arab, imigrasi adalah Hijrah (هجرة), pelaku imigrasi atau imigran adalah Muhajir (مهاجر).
Maka kedudukan imigrasi tergantung tujuannya, kalau ulama yang berimigrasi untuk dakwah biasanya disebut Al-Muhajir Ilallah (المهاجر إلى الله), seperti Sayyid Ahmad Al-Muhajir dan Walisongo. Kalimat “ilallah” merujuk pada sabda Rasulullah SAW:

من كانت هجرته إلى الله فهجرته إلى الله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها

Terjemah:

“Barangsiapa (tujuan) hijrahnya kepada Allah maka hijrahnya (sampai) pada (keridoan) Allah. Barangsiapa (tujuan) hijrahnya kepada (pencaharian) harta dunia maka ia akan mendapatkannya”.

Orang Arab yang berimigrasi ke Nusantara dengan tujuan “kepada Allah” maka mereka pun diberi keberkahan dengan memiliki banyak keturunan yang mendirikan pesantren dan madrasah untuk mempertahakan agama Allah. Sedangkan orang Arab yang berimigrasi dengan tujuan “kepada harta dunia” maka mereka pun diberi apa yang mereka mau, sehingga tidak heran apabila orang Arab Indonesia banyak yang kaya sejak zaman kolonial hingga sekarang.
Lihat saja rumah-rumah besar mereka –misalnya di sekitar Ampel– yang sejak zaman Belanda bertahan sampai sekarang. Allah telah berikan mereka sesuai niat hijrahnya.
Maka, Walisongo yang pertama datang ke Nusantara adalah imigran. Anak-anak mereka yang lahir di Nusantara adalah anak-anak imigran. Demikian juga orang Arab yang datang langsung dari Yaman, mereka adalah imigran, status anak-anak mereka yang lahir di Indonesia baru menjadi pribumi setelah Indonesia merdeka dan mereka diterima sebagai bangsa Indonesia, walaupun hingga kini mereka tetap lebih kental dengan budaya Yaman daripada budaya Indonesia.
Berbeda dengan Walisongo, kepiawaian mereka didalam bersosial, bahkan di dalam mempribumi, menjadikan mereka hampir tidak pernah disebut sebagai imigran, pribumi lupa kalau mereka adalah imigran, karena mereka secara total berbudaya Nusantara, menggunakan gelar Nusantara, kawin-mawin dengan pribumi Nusantara; yang tinggal di tanah Melayu menjadi suku Melayu, yang tinggal di tanah Jawa menjadi suku Jawa, yang tinggal di tanah Madura menjadi suku Madura, yang tinggal di tanah Pasundan menjadi suku Sunda.
Walisongo memiliki konsep yang sangat dipegang teguh, yaitu menghargai tokoh dan budaya setempat. Setiap bangsa merasa bangga dengan kebangsaannya, sangat sensitif terhadap semua yang dianggap asing. Dari sejarah penguasaan pemerintahan oleh keluarga keturunan Syekh Jumadil Kubro, hampir tidak ada pendirian pemerintahan baru atau oleh orang baru (asing) di Nusantara ini.
Ketika Maulana Ali Nurul Alam menjadi penguasa Kerajaan Champa, beliau melanjutkan Kerajaan milik kakek dari ibunya, beliau pun tidak menggunakan nama panggilan yang asing di telinga orang Champa, beliau dikenal dengan panggilan “Wan Bo Teri Teri”.

Ketika Syarif Hidayatullah menjadi penguasa Kerajaan Cirebon, beliau melanjutkan Kerajaan milik mertua dan paman dari ibunya, orang Cirebon menganggap beliau sebagai trah Raja Asli mereka, Prabu Siliwangi, walaupun dari garis perempuan, hingga kini beliaupun lebih akrab disebut “Sunan Gunung Jati”.
Itu hanya contoh kecil saja untuk menggambarkan kejelian dan kepekaan mereka dalam menjaga perasaan dan menghormati budaya setempat. Sehingga walaupun mereka datang dari negeri asing dan membawa agama asing, tidak seorang pun dari pribumi Nusantara yang merasa dijajah oleh Syekh Jumadil Kubro dan keturunannya, sehingga tidak pernah ada istilah “Dinasti Jumadil Kubro”.
Justru keluarga besar Syekh Jumadil Kubro sangat dicintai dan dihormati karena jasa-jasa mereka bagi bangsa ini. Bangsa ini tahu persis bahwa keluarga besar Syekh Jumadil Kubro itu tidak datang ke negeri ini untuk mencari nafkah. Justru mereka adalah orang-orang terhorman di negeri mereka dan mereka datang ke negeri ini untuk memperjuangkan bangsa ini.
Dan satu lagi, keberhasilan keluarga besar Syekh Jumadil Kubro di Nusantara Raya ini menjadi mudah karena adanya sebuah budaya luhur di Nusantara, yaitu bahwa bangsa Nusantara menerima keluarga dari garis perempuan. Seandainya di Arab, mereka tidak akan pernah bisa mewarisi kepemimpinan kakek dari garis ibu. Seandainya di tanah Jawa berlaku budaya Arab yang hanya menerima keluarga dari garis laki-laki, niscaya Maulana Ali Nurul Alam tidak akan pernah bisa menjadi penguasa Kerajaan Champa.
Sunan Gunung Jati tidak akan pernah bisa menjadi penguasa Kerajaan Cirebon, Sunan Drajat tidak akan pernah bisa mendirikan Perdikan Drajat, Sunan Giri tidak akan pernah bisa mendirikan Kerajaan Giri Kedaton, Joko Tingkir tidak akan pernah bisa mendirikan Kesultanan Pajang.
Mereka bisa menjadi penguasa di kerajaan masing-masing karena ibu mereka adalah putri penguasa sebelumnya. Sedangkan nasab mereka dari garis laki-laki bersambung pada seorang imigran, yaitu Syekh Jumadil Kubro.

diambil dari:
https://www.dutaislam.com/2023/06/menyoal-klaim-imigran-yaman-sebagai-keturunan-pejuang.html




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *