Dalam kitab Syamuzzahirah karya Syekh Abdurrahman al-Masyhur (w. 1320 H.), dan Hamisy Syamsuzzahiroh karya Dliya Syihab, disebutkan bahwa: Muhammad bin Ali Ba Alwi atau Fakih muqoddam wafat tahun 563 Hijriyah.
Disebut pula: Ia adalah salah seorang yang paling popular; Ia seorang ulama besar yang berhasil mengumpulkan ilmu dan amal; Ia adalah ulama yang telah laik berijtihad karena telah mencapai derajat ilmu riwayat dan ilmu logika. Karena itulah ia bergelar al-Faqih al-Muqoddam (Rajanya ahli fikih) dan al-Ustadz al-A’zom (guru besar). Tidak ada ulama sebelumnya yang bergelar seperti dia; Ia adalah seorang al-muhaddits (ahli hadits), mudarris (dosen), mursyid tarekat, dan juga seorang mufti. Ia adalah tempat berlindung bagi orang lain. (lihat Hamisy Saymsuzzahirah halaman 77).
Dengan sebutan se-”wow” itu, Hamisy Syammsuzzahirah tidak menyertakan referensi sedikitpun, ia tidak menyebutkan darimana ia mendapat keterangan itu.
Penulis telah banyak membaca banyak kitab karangan Ba Alwi, yang menerangkan nasab Ba Alwi secara umum, dan kisah Faqih Muqoddam secara khusus, polanya hampir sama, tanpa referensi. Kendatipun ada, referensinya akan buntu kepada kitab al-Burqotul Musyiqoh di abad ke- 9 Hijriah.
Kitab-kitab nasab dan sejarah karya Ba Alawi yang masyhur, yang jika kita membacanya memerlukan kewaspadaan tinggi dari sisi riwayah dan dirayah, membentang dari mulai masa kita hari ini sampai abad sembilan hijriah semuanya akan buntu referensinya kepada kitab Al-burqotul Musyiqoh di abad ke- 9 Hijriyah.
Puluhan kitab mereka tulis, seperti Khidmatul Asyiroh, Syamsuzzahiroh, al-Gurar, al-Masyraurrawi, al-manhajussawi, Syarhul ainiyyah, Tasbitul Fuad, Uqudul Almas, Arraudul jali, semuanya bermuara kepada kitab al-Burqoh.
Manuskrip-manuskrip eksternal tentang sejarah Yaman terutama Hadramaut mereka buru, jangan sampai didahului orang lain, lalu, ketika manuskrip itu didapat, mereka akan melihat dan meneliti, jika ia memperkokoh nasab dan sejarah mereka, maka akan dibiarkan seperti itu, lalu dicetak. Dan itu jarang sekali, bahkan hampir tidak ada. Sebaliknya, jika manuskrip itu kontraproduktif dengan nasab dan sejarah mereka, bahkan mendegradasi, maka mereka akan mencetak dengan interpolasi di sana-sini, atau akan sembunyikan atau bahkan mungkin juga dimusnahkan. Kita dan para sejarawan Yaman yang tercerahkan harus mencurigai itu, mengapa, karena narasi yang dibangun Ba Alwi adalah, bahwa orang Yaman terutama Hadramaut tidak suka menulis sejarah. Untuk apa narasi itu dibangun? Untuk justifikasi sejarah yang dibangun mulai abad sembilan hijriah hingga hari ini, agar tidak ada upaya mencari kesaksian yang menginterupsinya dari kitab sebelum abad ke-9 hijriah.
Seharusnya, kita mencari manuskrip itu untuk historiografi masa lalu sesuai dengan apa yang terjadi di masa itu, bukan malah menciptakan sejarah di masa lalu sesuai dengan keinginan mereka yang hidup di masa kini. Kedustaan apa lagi yang kekal, selain kedustaan yang terkodifikasi dan dikonsumsi manusia sepanjang zaman.
Kembali kepada al-Faqih Muqoddam. Kitab pertama yang menjadi rujukan semua kisah tentang al-Faqih al-Muqoddam, adalah kitab al-Burqotul Musyiqoh. Dalam kitab itu disebut bahwa para ulama ulama di masa Fakih Muqoddam sepakat bahwa ia pantas menjadi “Imam Besar” bagi seluruh umat Islam, karena ia telah memiliki sifat para khulafaurrasyidin (lihat h. 97).
Sayangnya, Ali al-Sakran tidak memuat satu referensipun akan riwayat kisah itu. Ia tidak menyebut siapa yang meriwayatkan kepadanya tentang kisah itu, atau dari kitab apa ia mendapatkannya. Padahal, tidak mungkin ia menyaksikan kesepakatn ulama itu secara langsung karena jarak masa hidup antara dirinya dan Faqih Muqoddam adalah 332 tahun. Jika dalam ilmu hadits riwayat semacam itu adalah termasuk kategori “hadits maudu’” (hadis palsu) atau disebut juga “Hadits Makdzub” (hadits tapi boong).
Seperti itulah sosok Faqih Muqoddam yang ditulis keluarga Ba Alwi. Belum lagi tentang keramat-keramatnya yang di luar “nurul”.
Ali assakran meriwayatkan kakeknya Abdurrahman berkata: “kami tidak akan melebihkan pangkat wali manapun mengalahkan Fakih Muqoddam kecuali ia para sahabat dan orang yang ada nash sorih tentang keutamaannya seperti Uweis al-Qorni” (lihat halaman 102). Dari ibarat ini, para Ba Alwi menyatakan bahwa pangkat syaikh Abdul Qadir al-jailani dan yang lainnya kalah dengan Faqih Muqoddam.
Ia juga meriwayatkan bahwa: Majlis Fakih Muqoddam dihadiri oleh para malaikat, para nabi dan rijalul gaib (wali-wali yang tidak nampak), Nabi Khidir, para wali, para orang solih, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat (lihat al-Burqoh halaman 105).
Ali Al-Sakran juga meriwayatkan bahwa para syekh yang ahli makrifat mengatakan “kami tidak mensolati janajah kecuali Fakih Muqoddam datang setelah kematiannya ikut mensolati janajah itu”. (lihat halaman 204).
Lalu dari mana kisah itu ia dapatkan, tidak ada referensi sama sekali. Paling Gus Rumail akan berkata “Ada referensinya, yaitu kitab al-jauhar al-Syafaf”. jika-pun Al-jauhar itu kitab yang benar ditulis sesuai angka tahun yang tertulis yaitu 855 Hijriyah, itu adalah waktu yang satu masa dengan al-Burqoh. Apalagi kitab itu penulis anggap kitab yang tidak pantas menjadi hujjah sama sekali, selain dari isinya yang hanya memuat cerita-cerita dusta, juga penulisnya tidak dikenal oleh para ahli ilmu.
Kalau ia dikatakan kitab eksternal oleh Gus Rumail, karena ditulis oleh al-khatib yang bukan dari keluraga Ba Alawi, itu kasusnya sama dengan kitab Al-Raud al-jali, di mana seorang dari non Ba Alwi menjadi murid dari seorang Ba Alwi, lalu ia disuruh menulis oleh gurunya itu. Jadi tidak bisa disebut eksternal karena sangat kering objektifitasnya.
Lalu, jika Faqih Muqoddam ini wafat di tahun 563 Hijriyah, apakah ulama-ulama pada zamannya mereportase sosoknya sebagai sosok kesejarahan sebagaimana hari ini kita kenal? Sayang, sosok Faqih Muqoddam ini sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama sezaman sebagaimana fenomena kesejarahanya hari ini yang kita kenal yang penuh dengan keluarbiasaan baik dalam ilmu fikih maupun keramatnya. Sosoknya sunyi di tengah masifnya kitab-kitab ulama yang ditulis di masa itu. Jangankan di dunia Islam secara luas, di sekitar Yaman saja, namanya di masa itu tidak terkonfirmasi.
Namanya muncul, berbarengan dengan kemunculan nasab Ba Alwi dalam kitab al-Burqoh al-Musyiqoh. Tidak ada lagi selain itu. Lalu apakah ia fiktif? Penulis ragu mengatakan sosok Faqih Muqoddam ini fiktif. Tetapi untuk mengatakan bahwa sosok kesejarahannya tidak sesuai dengan yang dikenal hari ini, penulis sangat yakin.
Mengapa penulis tidak yakin ia fiktif, padahal namanya tidak tereportase ulama di masanya? Jawabannya, karena jarak generasi antara Abdurrahman Al-Saqof (w. 819 H.) dan Fakih Muqoddam hanya lima generasi. Abdurrahman al-Saqof ini adalah kakek dari Ali al-Sakran dan perawi bagi al-Khatib pengarang kitab Al-Jauhar al-Syafaf. Jadi, dengan asumsi al-Khatib ini sosok historis, dan benar ia menulis kitab al-jauhar al-Syafaf, maka patut diduga kuat sosok Abdurrahman inilah yang meriwayatkan kepada Al-khatib tentang nasabnya sampai Faqih Muqoddam.
Jarak lima generasi itu toleratif bagi sebuah pengakuan nasab, karena hari inipun banyak orang yang masih bisa mengahafal nasabnya ke atas sampai empat generasi. Sebaliknya, jika Al-Khatib ini sama sekali tidak ada orangnya (sampai sekarang tidak ditemukan kitab sejarah menyebut tentang sosoknya dengan tahun wafat 855 Hijriah), maka, toleransi nasab Ba Alwi itu turun kepada Ali al-Sakran sampai empat generasi ke atasnya, yaitu Ali bin Abu Bakar bin Abdurrahman bin Muhammad Maula dawilah bin Ali Sohibuddark (w. 709 H.).
Kelima nama inipun, tidak disebutkan di dalam kitab-kitab nasab keturunan Nabi Muhamaad Saw yang semasa dengan mereka, seperti kitab Al-Ashili (709 H), al-Tsabat al Mushan (787 H.), Umdatuttolib (828 H.) dan An-Nafhah al Anbariyah (880 H.). semua kitab itu, walau sebagiannya ditulis oleh orang Yaman, tetapi sama sekali tidak mencatat Al-Al-Sakran dan seterusnya sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan lagi temuan penulis tentang modus Ba Alawi dalam upaya mempertahankan nasab, yaitu dengan menambahi jumlah karya ulama dimasa lalu, kemudian disebutkan karya itu hilang (mafqud).
Misal, dalam literasi Ba Alawi disebutkan bahwa Ibnu Inabah (w. 828 H.) menulis kitab tentang nasab Ba Alawi, tetapi kemudian disebut kitab itu hilang, ada juga yang menyebut kitab itu masih berupa manuskrip yang ada di Tarim.
Ibnu Inabah adalah seorang ahli nasab abad ke-9 yang terkenal, ia mempunyai kitab Umdatuttolib, dalam kitab itu ia menyebut nama Ahmad bin Isa dan anaknya, tetapi ia tidak menyebut Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah. Sungguh sangat mengherankan jika disebut, ia tidak menyebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa dalam kitab Umdatuttolib, karena akan menyebutkan secara luas di kitab lainnya. Ini kurang masuk akal bagi kebiasaan seorang penulis.
jikapun akan menulis Ubaidillah dan keturunannya secara luas, seyogyanya Ibnu Inabah menyebut terlebih dahulu nama Ubaidillah ini sebagai anak Ahmad bin Isa, lalu kemudian dalam kitab khususnya itu akan disebutkan seluruh keturunannya. Nyatanya dalam kitabnya yang mu’tabar, nama Ubaidillah tidak disebut sebagai anak Ahmad bin Isa, sementara Ahmad bin isa-nya disebut dan anak lainnya juga disebut. Pertanyaanya, apakah benar Ibnu Inabah mempunyai kitab yang khusus menerangkan nasab Ba Alwi? Jawabannya, Penulis tidak yakin dengan ketidakyakinan yang besar.
Juga Ibnu Hisan (w. 818 H), ia mempunyai kitab sejarah yang dikenal kitab Tarikh Ibnu Hisan. Lalu kitab ini ditahqiq oleh Abdullah Muhammad Al-habsyi, dalam mukaddimahnya, Abdullah Muhammad Al-Habsyi menyebut bahwa Ibnu Hisan mempunyai kitab lain tentang sejarah Faqih Muqoddam, tetapi kitab itu hilang.
Pertanyaan yang sama, apakah benar Ibnu Hisan mempunyai kitab yang khusus menerangkan Fakih Muqoddam? Jawabannya, penulis bukan saja tidak yakin, tetapi untuk kasus ini tidak percaya. Mengapa tidak percaya? Karena yang menjadi rujukan Abdullah Al-Habsyi adalah kitab Tarikh Syanbal. Ada apa dengan tarikh Syanbal? Tarikh Syanbal adalah kitab sejarah Hadramaut yang ditemukan oleh Abdullah Al-Habsyi sendiri, katanya karya Syekh Syanbal Ba Alwi, tetapi setelah diteliti isinya sama dengan kitab Tarikh Ibnu Hisan dengan tambahan di sana sini.
Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani.