Nasab Ba’alwi Tidak Memenuhi Standar Syuhrah wal Istifadhoh

*Nasab Ba’alwi Tidak Memenuhi Standar Syuhrah wal Istifadhoh*

 

Salah satu metode utama dalam menetapkan keabsahan nasab adalah Syuhrah wal Istifadhoh, yakni kepopuleran yang melahirkan keyakinan kuat akan kebenaran suatu garis keturunan. Dalam berbagai kitab ilmu nasab, metode ini memiliki sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu nasab dapat dianggap sah dan diakui secara ilmiah maupun tradisional.

 

*Dalam Kitab Rosa’il Ilmin Nasab (hal. 103)*, disebutkan beberapa syarat utama Syuhrah wal Istifadhoh, yaitu:

 

*1. Kepopuleran yang memberikan keyakinan kuat*

→ Nasab harus dikenal luas secara turun-temurun dan diterima oleh masyarakat tanpa keraguan.

 

*2. Tidak adanya penolakan yang sahih*

→ Jika ada bukti sejarah atau dokumen yang bertentangan dengan klaim nasab tersebut, maka nasabnya tidak dapat diterima.

 

*3. Penyebutan nasab harus sudah ada sejak dahulu*

→ Artinya, garis keturunan tersebut harus telah dikenal dan diakui sejak generasi awal.

 

*4. Nasab harus terkenal di tempat asalnya, bukan di tempat perantauan*

→ Jika sebuah keluarga baru mengklaim nasab setelah berpindah ke tempat lain, maka klaim tersebut patut diragukan.

 

*Dalam Kitab Mugoddimat Fi Ilmil Ansab (hal. 59)*, juga ditambahkan syarat bahwa:

 

*1. Kepopuleran nasab harus berdasarkan ilmu dan sejarah yang valid, bukan hasil rekayasa*

 

*2. Nasab tidak boleh berupa klaim baru yang dibuat-buat untuk tujuan popularitas*

 

*3. Harus ada dalil-dalil yang pasti, bukan sekadar dugaan atau rekayasa*

 

*4. Tidak boleh ada bukti yang bertentangan secara tegas dengan klaim nasab tersebut*

 

Dari semua syarat di atas, nasab Ba’alwi tidak memenuhi standar keabsahan metode Syuhrah wal Istifadhoh. Tidak ada kepopuleran turun-temurun mengenai hubungan mereka dengan keturunan Nabi Muhammad Saw. Selain itu, terdapat banyak bukti historis dan genetis yang justru menentang klaim mereka.

 

 

*Kesalahan Analogi dengan Kaum Rabi’ah*

 

Para pendukung nasab Ba’alwi sering kali mengutip kisah Nabi Muhammad Saw. yang menerima kaum Rabi’ah tanpa menanyakan dalil dan saksi nasabnya. Kisah ini disebutkan dalam Shahih Bukhari, di mana Rasulullah Saw. menyambut utusan dari Bani Abul Qais, bagian dari kabilah Rabi’ah, dan langsung mengakui penisbatan mereka kepada Rabi’ah meskipun jarak waktu antara Nabi dan Rabi’ah sekitar 500 tahun. Mereka berpendapat bahwa pengakuan Nabi Saw. terhadap kaum Rabi’ah cukup sebagai bukti metode Syuhrah wal Istifadhoh bagi nasab Ba’alwi.

 

Namun, pendapat ini tidak bisa diterima karena terdapat perbedaan mendasar (Qiyas Ma’al Fariq) antara kasus Rabi’ah dan Ubaidillah (leluhur yang diklaim oleh Ba’alwi):

 

*1. Rabi’ah sudah memiliki Syuhrah wal Istifadhoh, sedangkan Ubaidillah tidak*

→ Kaum Rabi’ah telah dikenal luas secara turun-temurun, sementara nasab Ubaidillah baru diklaim jauh setelah generasi awalnya.

 

*2. Nasab Rabi’ah sahih, sementara nasab Ubaidillah diragukan*

→ Tidak ada catatan yang meragukan keabsahan nasab kaum Rabi’ah, sedangkan nasab Ubaidillah dipenuhi dengan ketidakpastian sejarah dan kontradiksi.

 

*3. Nasab Rabi’ah tidak ada yang menentang, sedangkan nasab Ubaidillah banyak yang membantah*

→ Sepanjang sejarah, tidak ada pertentangan mengenai nasab kaum Rabi’ah, sementara klaim nasab Ubaidillah justru dipertanyakan oleh berbagai ahli sejarah dan ilmu nasab.

 

Dalam *Kitab Al-Madkhol Ila Ilmin Nasab Wa Qowa’idihi Wa Inayatil Arab Bihi (hal. 73)*, disebutkan bahwa penyebutan rantai lengkap nasab tidak selalu menjadi syarat mutlak, asalkan sudah ada kepastian historis yang mendukung. Namun, dalam kasus Ba’alwi, tidak ada bukti kuat yang mendukung klaim nasab mereka.

 

 

*Kesimpulan*

 

Berdasarkan metode ilmiah dan standar keabsahan dalam ilmu nasab, klaim Ba’alwi sebagai dzuriat Nabi Muhammad Saw. tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat Syuhrah wal Istifadhoh. Tidak ada kepopuleran nasab yang berkesinambungan, justru banyak bukti sejarah dan genetika yang menentangnya. Oleh karena itu, klaim mereka tidak memiliki dasar ilmiah, baik dari segi sejarah, filologi, maupun genetika.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *