Antara Cinta Gus Fahrur dan Kebenaran: Menggali Fakta Nasab Klan Ba’alawi dengan Bijak

*”Antara Cinta Gus Fahrur dan Kebenaran: Menggali Fakta Nasab Klan Ba’alawi dengan Bijak”*

*”Cinta dalam Islam: Harmoni Antara Perasaan dan Akal”*

 

*Pendahuluan*
Dalam Islam, cinta adalah anugerah yang indah, namun agama juga menekankan pentingnya akal dan logika dalam setiap aspek kehidupan, termasuk cinta. Cinta mati, atau cinta yang membutakan, bisa membawa seseorang pada tindakan yang tidak rasional. Oleh karena itu, Islam mengajarkan untuk selalu menggunakan akal sehat dan kebijaksanaan dalam mengekspresikan perasaan cinta.

 

Seseorang harus mempertimbangkan apakah cinta tersebut sejalan dengan nilai-nilai Islam, seperti menjaga kesucian nasab Nabi saw (tidak memalsukan nasabnya ke pada orang lain seperti yang dilakukan klan ba’alwi), menghormati batas-batas yang ditetapkan syariat (ajaran sesat habib klan ba’alwi: bisa Miraj 70x dalam semalam, 1 habib bodoh lebih utama dari 70 kyai yang alim, dll kesesatan ajaran habib klan ba’alwi), serta memastikan bahwa cinta itu membawa kebaikan, bukan keburukan (Pemalsuan sejarah NU, pemalsuan makam dimana-mana, pemalsuan sejarah bangsa, dsb).

 

Surah Al-Mulk (67:10):

“Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau menggunakan akal kami, niscaya kami tidak akan termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.'”

 

*Kesalahan Pernyataan Dr. Ahmad Fahrur Rozi*

Pernyataan Dr. Ahmad Fahrur Rozi tentang cintanya kepada Klan Ba’alwi, yang ia ungkapkan dengan kalimat “Demi Allah, jika mencintai habaib adalah dosa biarlah saya tidak akan bertaubat selamanya,” mencerminkan cinta yang berlebihan tanpa mempertimbangkan aspek rasionalitas dan kaidah syariat. Dalam Islam, cinta, termasuk cinta kepada ulama atau habaib, harus tetap berada dalam koridor syariah dan tidak boleh melampaui batas, apalagi hingga mengabaikan penggunaan akal yang dianugerahkan oleh Allah.

*Nasehat untuk Dr. Fahrur Rozi:* Dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah (ASWAJA), kita mengajarkan untuk mencintai ulama, habaib, dan keturunan Rasulullah SAW, namun cinta tersebut harus tetap proporsional dan tidak berlebihan sehingga menutup mata terhadap kebenaran. Rasulullah SAW sendiri bersabda:

“Tiga hal yang membinasakan: Kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kagum pada diri sendiri.” (HR. Al-Baihaqi).

Cinta yang membutakan tanpa mempertimbangkan akal dapat membawa sikap fanatisme yang berlebihan, yang berbahaya dalam kehidupan beragama. Fanatisme seperti ini bertentangan dengan prinsip-prinsip moderasi dalam Islam. Dalam *Fiqhul Akbar* karya Imam Abu Hanifah, salah satu ulama besar Ahlus Sunnah wal Jamaah, dijelaskan bahwa dalam memahami agama, seseorang harus selalu menggunakan akal dan dalil syariat, serta menjauhkan diri dari ekstremisme dalam bentuk apapun, termasuk dalam mencintai seseorang.

Selain itu, Al-Qur’an berulang kali mengingatkan pentingnya penggunaan akal. Salah satunya dalam surat *Al-A’raf (7:179)* , Allah SWT berfirman:

“Dan sungguh, Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka memiliki telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih dari itu.

Ayat ini menjadi peringatan bahwa tidak menggunakan akal yang telah dianugerahkan Allah dapat membuat seseorang sesat, meskipun mereka berpikir tengah berbuat baik.

*Imam Al-Ghazali* , dalam *Ihya Ulumuddin* , juga menegaskan bahwa cinta yang hakiki adalah cinta yang mendekatkan seseorang kepada Allah SWT, bukan cinta yang membutakan sehingga menjauhkan dari kebenaran atau melampaui batas-batas syariat.

Oleh karena itu, Dr. Fahrur Rozi, dalam cintanya kepada Klan Ba’alwi, tetap harus mengedepankan akal dan rasionalitas. Cinta yang sejati dalam Islam adalah cinta yang membawa kepada kebenaran dan mengikuti tuntunan syariat, bukan cinta yang membuat seseorang enggan bertaubat atau menolak kebenaran. serupa yang diajarkan dalam tradisi ASWAJA, cinta kepada siapapun, termasuk habaib, harus tetap berada dalam koridor kebenaran yang diajarkan Rasulullah SAW, tanpa meninggalkan akal sehat dan logika.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *