“NU dan RA: Menelaah Peran Pejuang dan Tantangan Pengkhianatan dalam Sejarah”

“NU dan RA: Menelaah Peran Pejuang dan Tantangan Pengkhianatan dalam Sejarah”

Oleh : KRT. FAQIH WIRAHADININGRAT

NU didirikan tahun 1926, oleh banyak ulama Nusantara yang bermental Pejuang dan Anti Penjajahan. Dan catat, apabila ada klaim oknum Ba’alawi bilang mereka terlibat. Maka sebutkan siapa Hahib yang ikut di dalam Deklarasi Pendirian NU. Tentu saja jawabannya, NIHIL

Selain pendirian NU 1926, ada peristiwa bersejarah lainnya dalam perjuangan Kemerdekaan, yaitu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Bila merasa sealiran, semadzhab atau seideologi dalam perjuangan, maka harusnya ikut mendukung perjuangan NU. Namun kenyataannya, malah mendirikan organisasi sendiri demi kepentingan ras-nya. Bukannya melebur, malah eksklusif dan cenderung rasis. Buktinya? Baca 2 fatwa dari Mufti Batavia boneka Belanda, Usman bin Yahya. Terkait hukum kafa’ah dalam pernikahan yang rasis, dan mengharamkan pemberontakan pada Penjajah Belanda. Fatwa rasis diatas akhirnya memicu konflik ras dengan sesama Imigran Timur-Tengah yang awalnya bersatu dalam Jamiatul Khair. Namun akhirnya pecah dan mendirikan Al Irsyad. Konflik Ba’alawi dan Al Irsyad ini mengakibatkan pertumbuhan darah di berbagai tempat.

Dan kisah imigran bersaing di bawah dominasi Kolonial Belanda ini terjadi di banyak era sebelumnya. Termasuk bisa dibaca pada tulisan berikut ini, dimana pribumi menjadi budaknya, terutama di Batavia.

Namun, kini mereka seolah sebagai bagian dari pihak paling berjasa bagi negeri. Klaim sesat bahwa Ba’alawi ikut berjuang dalam kemerdekaan bangsa, sangat bisa dipertanyakan dan dipatahkan.

Misalnya, siapa tokoh mereka yang terlibat dalam Sumpah Pemuda 1928. Jangankan terlibat, malah mereka mendirikan organsisasi sendiri yang rasis 2 bulan kemudian. (Robithoh Alawiyah berdiri 27 Desember 1928). Catat, dalam peristiwa bersejarah itu etnis Arab absen. Justru etnis Tionghoa malah yang terlibat aktif di dalamnya. Buktinya diadakan di rumah SIE KONG LIAN, seorang patriotik peranakan Tionghoa.

Baru setelah merasa terkucill dari pergaulan kepemudaan, maka sebagian Imigran Yaman Non Ba’alawi mulai tergerak dan sadar mendukung Sumpah Pemuda. Dan ini terjadi TELAT 6 TAHUN, atau pada tahun 1934. Itupun konon di bawah intimidasi dan teror dari Ba’alawi yang masih ingin menjadi antek kesayangan kolonial.

Kejahatan atas klaim sesat Turunan Nabi, maupun klaim keterlibatan Sejarah Kemerdekaan Bangsa ala narasi gegabah Ba’alawi. Bisa di-inventarisir dengan sangat banyak dan sistematis.

Pertanyaan lengkap yang harus dijawab akal sehat :

Dalam posisi di pihak mana Mufti Batavia Usman bin Yahya berpihak dengan fatwa sesatnya terkait pernikahan rasis dibungkus kafa’ah, dan haram memberontak pada kolonial? Pro Kemerdekaan atau Penjajah.

Adakah Deklarator NU dari Ba’alawi? Kok sekarang seolah NU harus menghormat pada Ba’alawi, dan kastanya seolah diatas ulama-ulama NU asli pribumi Nusantara.

Dimana posisi Ba’alawi dalam Sumpah Pemuda 1928?

Dimana posisi Ba’alawi dalam Resolusi Jihad NU dalam menghadapi invasi Sekutu 1945?

Adakah ulama-ulama mereka jadi tokoh pergerakan yang ikut berjuang, atau menjadi korban di garis depan?

Adakah ulama-ulama mereka jadi tokoh pergerakan yang ikut berjuang, atau menjadi korban di garis depan?

Dimana posisi Ba’alawi ketika menghadapi Agresi Militer 1 dan 2 dari Belanda?

Adakah mereka menjadi tokoh Pejuang di dalamnya?

Dan dimana posisi mereka ketika menghadapi Pengkhianatan PKI baik tahun 1948 dan 1965. Adakah oknum atau ulama mereka yang menjadi korban clash dengan PKI?

(Tentu saja kita tidak boleh lupa siapa Ketua Umum PKI DN. Aidit yang Ba’alawi ataupun Fahrul & Shofyan Baraqbah. Terlebih yang sudah pernah kami ulas, bahwa tokoh-tokoh Komunis di Yaman justru dari keluarga Ba’alawi sendiri.)

Lalu klaim bahwa Sultan Hamid Al Gadri adalah bagian dari Ba’alawi yang diklaim sebagai pencetus lambang Garuda adalah klaim sepihak dan terlalu gegabah. Mengapa?

Benarkah Marga Al Gadri adalah Ba’alawi?

Coba ditelusuri, adakah marga ini di Yaman

Coba dirunut, amaliah tradisinya selama ratusan tahun, lebih dekat ke ulama Nusantara atau ulama Ba’alawi.

Yang terakhir, coba di test Y-DNA, apakah marga ini berhaplogroup sama dengan Ba’alawi dari marga lainnya. Seperti Assegaf atau Bin Yahya misalnya (yaitu 2 marga yang mencoba mencaplok nasab Mataram Islam).

Bila kesemua pertanyaan tadi jawabannya ambigu, maka yang terjadi adalah, mereka sesungguhnya keluarga trah Nusantara yang sedang di-ba’alawikan.

Tujuannya? Tentu saja dahulu ini bagian dari penyesatan sejarah kolonial Belanda ala Van den Berg. Dan semoga pertanyaan kritis tersebut bisa membuka kesadaran nurani banyak pihak.

Tertulis di banyak kisah dan manuskrip, bahwa Burung Garuda adalah burung suci atau mitologi di Nusantara dan telah dipakai sejak era Majapahit hingga Mataram Islam. Dan secara teknis sudah dibantah oleh banyak Sejarawan Indonesia, bisa dilihat pada Seminar Nasional PADASUKA di UIN Jakarta tanggal 26 Agustus 2023 kemaren.

Khusus untuk Sultan Hamid Al Gadri, terlepas dari segala kontroversi, beliau pernah mendapat anugerah Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden (“Ajudan dalam Pelayanan Luar Biasa kepada Paduka Ratu Belanda”). Yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda. Silahkan dinilai dan dinalar sendiri dengan akal sehat.

Selamat Hari Santri, semoga para Kyai dan Santri mampu membuat bangga negeri, bahwa menjadi Pejuang tidak boleh berhenti, apalagi terbius klaim sesat para Yahudi Khazari pengaku turunan Nabi.

Merdeka !!!

Wassalam, Salam Sejahtera dan Rahayu Nusantaraku.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *