Nusantara Menggugat Idiologi Rasisme Ba’alawi

Yahudi adalah bangsa pertama yg menerapkan rasisme, yang kemudian oleh bangsa Eropa. Bangsa Yahudi bersikap rasis karena alasan keagamaan. Bangsa Yahudi mengklaim bahwa mereka adalah bangsa terpilih dan mereka menyebut bangsa di luar Yahudi sebagai Ghayim (manusia binatang). Rasisme Hitler adalah reaksi terhadap rasisme Yahudi. Ironi bangsa yg memperkenalkan rasisme justru menjadi sasaran rasisme.

Konsep eugenetika disalahartikan dan dijadikan alasan untuk menghabisi dan mencegah keturunan manusia yg dipandang berkualitas rendah, salah satunya dilakukan ilmuwan Jerman Eugen Fischer.

Di tahun 1900 an, Presiden Amerika Serikat saat itu, Calvin Coolidge melarang perkawinan antara ras nordik (kulit putih) dengan ras lain di luar rasnya. Perkawinan berbeda ras itu dianggap bisa mengurangi keunggulan ras mereka di masa depan. Hingga tahun 1935, diperkirakan 20.000 nyawa sudah melayang di Amerika karena praktek eugenetika.

Jerman saat pemerintahan dikuasai Nazi dan mengorbankan 375.000 nyawa. Pada waktu itu, pemerintahan Jerman yang dipimpin Hittler sangat mendukung eugenetika yang menyatakan bahwa manusia terunggul di muka bumi hanyalah Ras Aria Murni.

Meski studi saat ini sudah membuktikan bahwa gen bukanlah penentu satu-satunya kecerdasan, namun praktik eugenetika hingga saat ini masih tetap bertahan.

Seperti pernah diungkapkan pakar komunikasi : faktor genetik atau keturunan bisa dikalahkan oleh faktor lingkungan dan nutrisi. “Nurture atau lingkungan bisa mengalahkan nature atau warisan biologis jika otak terus distimulasi,” jelas Jalaludin.

Sebagai contoh, anak berbakat bisa dilahirkan dari bapak atau ibu yang cerdas tapi belum mampu menjadi anak yang pintar tanpa bimbingan yang baik dari lingkungan. Bahkan faktor emosional yang dikendalikan dari lingkungan menjadi pemicu keunggulan bangsa.

Darwin menegaskan bahwa walaupun perjuangan untuk mempertahankan eksistensi manusia itu penting, masih ada hal-hal lain yang lebih penting. Kualitas moral manusia mengalami kemajuan berkat pengaruh kebiasaan, kekuatan akal budi, instruksi, agama, dll, daripada seleksi alam.

Namun bagi penganut rasisme yang mengusung eugeunitika (adalah ilmu yang mempelajari perbaikan keturunan lewat pembiakan selektif) bahkan untuk pembenarannya mereka tak segan mengajukan argumen dengan dalil agama, jika Yahudi mengajukan dalil “bangsa terpilih”, kalangan keturunan Arab Hadramaut mengajukan dalil kafaah (kesetaraan) pemurnian nasab.

Karenanya jangan heran karena dididik rasis kalangan ini pula yang akhir-akhir ini “mendakwahkan” isu rasis kepada ras lain. Saat melakukan penghasutan kepada pribumi para rasis ini menempatkan diri sebagai pribumi dengan alasan kesamaan agama, walaupun saat mereka berada dilingkungannya sendiri tetap saja pribumi tak dianggap sekufu (setara).

Kalangan Habib Ba’alwi berakidah kastanisasi rasis penyembah berhala nasab memandang pribumi sebagai pembawa darah najis yang punya kewajiban untuk melayaninya sebagai pembawa darah suci. Kalangan Habib Ba’alwi membawa adat budaya kasta hadramaut dan menempatkan diri di kasta brahmana dan menempatkan pribumi yang mereka sebut sebagai ahwal di kasta sudra.

Di masa kolonial sistem kasta tersebut mendapat tempat dalam politik rasis apertheid yang dijalankan oleh pemerintah penjajah Belanda, dimana penjajah Belanda membagi kasta berdasarkan ras, imigran Hadramaut selaku timur asing mendapat posisi di kasta kedua di atas pribumi. Dan didalam kalangan imigran Hadramaut pun dibentuk sub sub kasta yg terdiri dari kasta sayyid (diklaim milik Habib Ba’alwi), kasta masyaikh, kasta qabili dan kasta abid.

Bahwa, rasisme tersebut mendapat perlawanan dari kalangan pejuang kemerdekaan. Sementara itu di kalangan internal imigran Hadramaut pun timbul perlawanan dari kalangan yang direndahkan hanya karena keturunan tanpa memandang prestasi. perseteruan antara kalangan Habib Ba’alwi dengan kalangan Qabili memuncak ditandai dengan pecahnya Jamiatul Khair, organisasi imigran Arab Hadramaut, yang kemudian kalangan qabili mendirikan organisasi al Irsyad.

Kalangan Habib Ba’alwi yang mengklaim secara sepihak dirinya sebagai dzuriyah Nabi SAW bersikukuh bahwa kasta dan rasisme adalah ajaran Nabi SAW, sementara kalangan qabili berpendapat bahwa kemuliaan manusia berdasarkan ketaqwaannya bukan karena keturunan, Nabi SAW mengajarkan ahlaqul karimah bukan nasabul karimah.

Kalangan Habib Ba’alwi mendapat dukungan Vanderplas karena sejalan dengan eugeunitika rasis yang dijalankan oleh Belanda, hingga katanya seorang bernama Vanderplas merestui bahkan mendorong didirikannya LSM rasis Rabithah Alawiyyin.

Selain karena punya ideologi rasisme yang sama, kalangan Habib Ba’alwi pun merupakan sekutu setia yang sangat berjasa mendukung penjajahan, diantaranya saat bersekutu meruntuhkan kerajaan di Gresik, persengkokolan dengan VOC saat meruntuhkan Kesultanan Banten dan yang terbesar adalah peran mufti Betawi dalam memadamkan perlawanan Aceh dan perlawanan pejuang tarekat Banten Jawa Madura, jasanya yang lain memvonis tarekat dan tasawuf sebagai ajaran sesat.

Atas jasanya yang luar biasa tersebut mufti Betawi Habib Utsman Bin Yahya mendapat bintang jasa tertinggi dari penjajah Belanda, bintang oranye dari Ratu Wilhelmina.

Ajaran rasis yg didalili sempat mati suri, bangkit lagi pada jaman SBY. Sebutan ahwal terhadap pribumi sebagai sudra menjadi marak. Oknum-oknum keturunan imigran Hadramaut berkampanye rasis, mereka menempatkan diri sebagai manusia termulia yang harus diistimewakan, dengan dalil merekalah satu-satunya pembawa darah suci keturunan Nabi SAW, kalangan ahwal wajib untuk memuliakan.

Akan tetapi sayang mereka ini mengemis minta penghormatan dengan merendahkan manusia lainnya, tak ada rasa hormat mereka terhadap yang lainnya, tak perduli itu ulama atau umara, karena bagi mereka hanya merekalah yang paling mulia.

Mereka punya jargon awamnya Habaib Ba’alwi derajat 70 kali lebih tinggi dibandingkan ulamanya non Habaib Ba’alwi. Ironisnya ajaran rasis tersebut banyak ditelan oleh kalangan ahwal yang notabene derajatnya direndahkan, lebih-lebih ironi lagi justru lebih fanatik dan lebih rasis.

Yang terpengaruh ajaran rasis tersebut memang kebanyakan nya dari kalangan yang dulunya di jaman penjajahan masuk di kasta inlander yang sudah biasa disudrakan dan direndahkan. Apalagi mereka punya ketakutan mendapat karomah Habib Ba’alwi, takut kualat katanya.

Yang mana dalam biografinya selalu diceritakan jika ada Habib Ba’alwi yang tersinggung kemudian ia marah lalu mengeluarkan karomahnya, dimana dengan karomah tersebut siapapun yang pernah menyinggung nya akan mendapat bala bencana, ada yang rumahnya kebakaran, ada yang jadi buta, ada yamg anaknya mati, ada yang kecelakaan hingga cacat dll. ( Jauh beda dengan karomah Wali yang asli, justru menyelamatkan ).

Tetapi banyak juga yang tak termakan dokrin tersebut, namun itu menjadi pemicu kemarahan mereka. Karenanya di panggung-panggung majelis mereka beredarlah fitnah-fitnah terhadap Kiai dan Ulama, oknum Habib Ba’alwi berkata bahwa bahwa para Kiai dan Ulama menyembunyikan dalil-dalil tentang kewajiban ahwal memuliakan ahlul bait, dan yang dimaksud sebagai ahlul baibait tersebut adalah Habib Ba’alwi bukan yang lain.

Namun kalangan Habib Ba’alwi yang berakidah kastanisasi rasis penyambah berhala nasab terjenghak karena ternyata saat melihat fakta sejarah bahwa dzuriyah Nabi SAW, yang selama ini jadi alasan untuk merendahkan manusia lain, di nusantara ini bukan hanya mereka, karena sebelumnya mereka datang selaku pengungsi Hadramaut di jaman Belanda.

Ternyata di Nusantara ini telah banyak dzuriyah Nabi SAW bertebaran yang karena diantaranya menikahi putri raja, hingga keturunannya menjadi bangsawan pribumi, dzuriyah yang lain menjadi tokoh-tokoh agama yang mendirikan perguruan dan pesantren Islam.

Alih-alih merasa gembira karena ternyata ada kerabat, kalangan Habib Ba’alwi yang panik kalah pamor dan bakul nasinya terancam bukannya berusaha menyambungkan kekerabatan dan persaudaraan tetapi malah mendiskreditkan bahwa nasab keraton palsu, nasab para kiai putus, dan Walisongo abtar. Tentu saja sikap demikian menimbulkan ketersinggungan kerabat keraton, Kiai dan kerabat Walisongo.

Yang kemudian muncul Ulama muda dari Banten adalah KH Imaduddin Utsman Al Bantani melalui penelitianya berksimpulan bahwa nasab Habib Ba’alwi tidak tersambung dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam Tesis “Menakar Keshahihan Nasab Habib Di Indonesia” Tahun 2022 dan “Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad SAW” tahun 2023.

 

Wallahu Alam




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *