Paradoks Nasab Klan Ba’alwi: Fakta di Balik Klaim yang Dipertanyakan Logika dan Ahli Sejarah

*Paradoks Nasab Klan Ba’alwi: Fakta di Balik Klaim yang Dipertanyakan Logika dan Ahli Sejarah*

Buku berjudul *“Keabsahan Nasab Ba’alwi; Membongkar Penyimpangan Pembatalnya”* yang setebal 566 halaman telah diterbitkan secara resmi oleh Rabithah Alawiyah. Buku ini disusun oleh *Tim Pengawal Persatuan Ummat* dengan kata pengantar dari beberapa ulama Nusantara. Salah satu klaim utama yang dibahas di dalamnya adalah keabsahan keturunan Ba’alwi sebagai keturunan Rasulullah Muhammad SAW melalui jalur Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Dalam hal ini, buku tersebut menyatakan bahwa keabsahan ini didukung oleh beberapa bukti, di antaranya adalah pencatatan rapi nasab, pengakuan para ulama nasab, serta penyebaran nasab secara *istifadhah* (berkesinambungan dan menyeluruh).

 

Namun, klaim ini tampaknya bertentangan dengan berbagai sumber referensi sejarah yang tidak menyebutkan nama Ubaidillah sebagai anak dari Ahmad bin Isa. Fenomena ini menimbulkan paradoks besar, terutama dalam konteks kajian ilmiah mengenai nasab dan sejarah. Berikut beberapa poin yang menjadi paradoks dalam klaim ini:

*1. Ketiadaan Nama Ubaidillah dalam Kitab-Kitab Nasab Kuno*

Buku ini menyebutkan bahwa nasab Ubaidillah bin Ahmad bin Isa diakui secara luas oleh para ulama nasab. Namun, hal ini bertentangan dengan fakta bahwa sejumlah besar kitab nasab kuno tidak mencantumkan nama Ubaidillah sebagai keturunan Ahmad bin Isa. Berikut adalah beberapa kitab penting yang tidak menyebutkan nama Ubaidillah dalam silsilah keturunan Ahmad bin Isa:

  • *Maqitil At Thalibiyyin* karya Abu Al-Faraj Al-Isfahani (abad ke-4 H)
  • *Tahdzib Al Nasab* karya Abu Hasan Al Ubaidili Al Husaini (abad ke-4 H)
  • *Al Majdi* karya Abu Hasan Ali Al Umri (abad ke-5 H)
  • *Nihayatul Ikhtisar* karya As Sayyid An Naqib Abu Muhammad Syamsuddin bin Muhammad Al Athqa (abad ke-6 H)
  • *Syajarah Al Mubarakah* karya Fahrurrozi (abad ke-6 H)
  • *Thoroful Ashhab fi Marifatil Ansab* karya Sultan Raja Al Asyraf Umar bin Yusuf bin Rosul (abad ke-7 H), yang menyatakan tidak adanya keluarga keturunan Al-Husaini di Yaman.
  • *At Tadzkirah fi Ansab Al Muthaharah* karya Ibnu Mahna Al Ubaidili Al Husaini (abad ke-7 H)
  • *Umdah di Thalib Kubra dan Sughra* karya Jamaluddin bin Ali Ibnu Anbah Al Husaini (abad ke-8 H)
  • *Al Ashili* karya Syarif Shafiudin Muhammad bin Tajuddin Ibnu Thaqthaqi Al Husaini (abad ke-8 H)
  • *Sikhakul Akhbar Nasabi Sa’adah Al Fatimiyah Al Akhyar* karya Sayyid Muhammad Sirajuddin bin Abdullah Al Qosim bin Muhammad Huzam Ar Rifai (abad ke-9 H)
  • *Musyajarah Al Kasyaf* karya Sayyid Jamaluddin Abdullah bin Abi Al Barakat Al Jurjani (abad ke-10 H)

 

Tidak tercantumnya nama Ubaidillah dalam kitab-kitab ini menimbulkan pertanyaan besar terhadap klaim keabsahan nasab yang dibuat oleh Ba’alwi. Apabila nama Ubaidillah benar-benar merupakan keturunan dari Ahmad bin Isa, maka seharusnya terdapat dokumentasi yang kuat dalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama nasab terkemuka sepanjang abad.

 

*2. Kontradiksi dengan Metode Istifadhah*

Buku “Keabsahan Nasab Ba’alwi” menyatakan bahwa nasab mereka diakui secara *istifadhah* , yaitu tersebar secara luas dan menyeluruh dari generasi ke generasi. Namun, konsep istifadhah memerlukan bukti yang konsisten dari para ahli nasab dan kitab-kitab nasab sepanjang sejarah. Dalam kasus Ba’alwi, tidak adanya bukti dari kitab-kitab nasab terkemuka hingga abad ke-9 H menimbulkan keraguan terhadap klaim bahwa nasab ini telah diterima secara menyeluruh dan istifadhah.

Sebagai contoh, kitab *“Thoroful Ashhab fi Marifatil Ansab”* karya Sultan Raja Al Asyraf Umar bin Yusuf bin Rosul, yang mencatat sensus keturunan Nabi Muhammad SAW di Yaman pada abad ke-7 H, tidak mencantumkan keturunan Al-Husaini di wilayah tersebut. Jika nasab Ba’alwi benar-benar sudah diakui pada saat itu, maka seharusnya mereka termasuk dalam sensus tersebut.

 

*3. Syuhroh dan Istifadhah dalam Konteks Fikih Nasab*

Dalam buku yang diterbitkan oleh Rabithah Alawiyah, dikemukakan bahwa nasab Ba’alwi diakui secara *syuhroh* (dikenal secara luas) dan *istifadhah* (disebarluaskan secara menyeluruh). Namun menurut pandangan para ulama fikih, syuhroh wal istifadah memiliki syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar dianggap sah.

*Imam Ar-Ruyani* (w. 502 H) dalam kitabnya *Bahrul Madzhab* menyebutkan empat syarat untuk penetapan nasab:

  1. Harus diakui sepanjang masa, bukan hanya di masa tertentu.
  2. Harus bernasab kepada leluhur yang diakui oleh masyarakat umum.
  3. Tidak ada penolakan terhadap nasab tersebut.
  4. Tidak adanya dalil atau bukti yang dibandingkan yang dapat menolak keabsahan nasab tersebut.

Dalam hal nasab Ba’alwi, klaim syuhroh wal istifadah tidak memenuhi syarat pertama dan kedua. Nasab ini baru menjadi masyhur setelah abad ke-9 H, dan sebelum itu tidak ada bukti yang kuat dari sumber-sumber terpercaya. Selain itu, penolakan terhadap nasab ini oleh banyak ahli nasab di berbagai generasi juga menunjukkan bahwa klaim ini tidak memenuhi persyaratan ketiga.

 

*4. Kesimpulan: Paradoks Nasab Ba’alwi*

Paradoks yang terjadi dalam klaim nasab Ba’alwi ini menjadi semakin jelas ketika kita membandingkan klaim tersebut dengan fakta-fakta sejarah yang ada. Tidak adanya nama Ubaidillah dalam berbagai kitab nasab terkemuka, serta tidak terpenuhinya syarat-syarat syuhroh wal istifadah menurut para ulama fikih, menunjukkan adanya masalah mendasar dalam keabsahan nasab ini. Klaim yang dibuat oleh Rabithah Alawiyah dan para pendukungnya perlu ditinjau ulang dengan pendekatan yang lebih kritis dan ilmiah.

 

*Referensi:*

  1. Maqitil At Thalibiyyin, Abu Al Faraj Al Isfahani.
  2. Tahdzib Al Nasab, Abu Hasan Al Ubaidili Al Husaini.
  3. Bahrul Madzhab, Imam Ar-Ruyani.
  4. Thoroful Ashhab fi Marifatil Ansab, Sultan Raja Al Asyraf Umar bin Yusuf bin Rosul.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *