Berikut ini tanggapan ilmiah terhadap beberapa poin dalam buku ‘Keabsahan Nasab Ba’alawi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya’ :
*I. Mengkaji Nasab dengan Mengabaikan dan Menabrak Tatanan Ilmu Nasab*
*A. Membuang Keterangan para Ulama yang Tsiqah dengan Alasan Bukan Kitab Sezaman*
KH Imaduddin menggunakan standar ilmiah modern dalam kajiannya, termasuk penilaian filologis dan genetika, yang menekankan pentingnya referensi primer atau sezaman. Dalam filologi, penulisan sejarah yang sahih harus memiliki landasan dari sumber sezaman atau yang bisa diverifikasi keberadaannya pada periode yang relevan. Kitab Al-Burqatul Mutsiqoh yang ditulis oleh Habib Ali Al-Sakran, yang menjadi acuan utama dalam klaim nasab Ba’alawi, disusun pada abad ke-9 Hijriah, sementara Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang diklaim sebagai leluhur utama, lahir pada abad ke-3 atau ke-4 Hijriah. Tidak adanya referensi primer atau sekunder yang mendukung keberadaan Ubaidillah menunjukkan ketidakvalidan klaim tersebut.
Kitab sezaman adalah mutlak untuk meneliti kesahihan sebuah masab. Sayyid Husain bin Haidar al-Hasyimi dalam kitabnya “Rasa’il fi Ilm al-Ansab” halaman 183-184 mengatakan tentang cara mendeteksi kesahihan nasab dengan kitab sezaman:
فإن الله يهيئ للقرون الابدال في الدين، والابدال في كل العلوم والحقائق التى في فلك الدين، فطريقة الحبر البدل في تحقيق الانساب وكشف زورها ان يقوم بتحرير السلسلة ودراستها دراسة كاملة متكاملة من جميع النواحي على النحو التالي:
ان يدرس السلسلة المعروضة عليه دراسة نسبية محضة، فهو يلاحظ بحواسه كلها، ويصنف وينظم البيانات والمعلومات ويلخص الافكار، ويطبق خبراته. وهذه الدراسة على اي حال – في النسبة الصادقة او في الدعوى – تكون عبر مراحل يتبعها النسابة المحقق ، وهي:
أ- تحرير النسب بمعني ان يبسط النسب تارة ويشجره أخرى الخ
ب- يعد النسابة طبقات السلسلة ويقدر تواريخ الولادة والوفاة اذا جهلت لغير العلويين، ويوزع الطبقات على الفترة الزمنية التي شغلتها السلسلة ، ويوثق هذه الطبقات من المصادر المعتبرة ما امكن الى آخر طبقة يمكن توثيقها وتخريجها من تلك المصادر.
ت- متى صحت النسبة للفرد او للجماعة فان النسابة يقوم بتقويم السلسلة وتصويب الخلل الطارئ عليها – ما لو وجد- ما دامت صحيحة غير مكذوبة، واما الكذب فلا يتأتى معه اصلاح الخلل وضبطه ومراجعته على المصادر المتخصصة ومقابلته عليها.
“Maka sesungguhnya Allah menyiapkan bagi setiap masa para ‘abdal’ dalam agama. Para abdal itu (ada) dalam setiap ilmu dan hakikat yang ada dalam orbit agama, maka cara ‘al-habr’ (orang alim) yang ‘al-badal’ (ulama utama dalam setiap masa) dalam memverifikasi silsilah dan mengungkap kepalsuannya adalah dengan meneliti silsilah dan mengkajinya dengan kajian yang sempurna dan terintegrasi dari segala aspek sebagai berikut:
Ia mempelajari silsilah yang disajikan kepadanya dengan kajian nasab yang murni, mengamati dengan seluruh indranya, mengklasifikasikan dan menyusun data-data dan informasi-informasi, merangkum pemikiran-pemikiran, dan menerapkan pengalamannya. Kajian ini, bagaimanapun juga – baik dalam silsilah yang benar maupun (silsilah yang hanya) pengakuan – berlangsung melalui tahapan-tahapan yang (biasa) dijalankan oleh seorang ahli nasab yang muhaqiq (mentepakan berdasar dalil), yaitu:
- a) Penelitian nasab, yaitu ia menulis nasab secara mubassat (ditulis dari ayah ke anak) dalam satu waktu, dan membuat musyajjar (susunan pohon nasab dari anak ke ayah) dalam waktu lainnya. Dst.
- b) Ahli nasab (peneliti) menghitung (ada berapa) tobaqot (lapisan) silsilah itu. Lalu memperkirakan tanggal lahir dan kematian (nya masing-masing), jika tidak diketahui, (ini) bagi (silsilah) orang non-Alawi (jika ia alawi biasanya tanggal lahir dan wafat tercatat rapih), lalu membagi tobaqot-tobaqot tersebut dengan periode waktu (tahun hidup) yang ditempati silsilah tersebut, dan menguji keabsahan setiap tobaqot (silsilah) tersebut dengan sumber-sumber (kitab atau yang lainnya) yang dapat dipercaya semaksimal mungkin hingga tobaqot terakhir yang dapat diuji kesahihannya dan di takhrij dari sumber-sumber tersebut.
- c) Ketika nasab itu sahih untuk seseorang atau suatu kelompok, maka ahli nasab akan memperbaiki cacat yang terjadi di dalam silsilah itu, jika ada, dan jika nasab itu nasab yang benar bukan nasab yang dusta. Jika nasab itu dusta, maka tidak akan bisa diperbaiki, didobiti (diluruskan), (tidak akan pula dapat) di cari referensinya dari sumber-sumber khusus itu (serta tidak dapat) di muqobalah (dihadapkan) dengan sumber-sumber itu.”
Dari kutipan di atas, jelaslah bagaimana narasi yang dibangun oleh para pembela nasab Ba’alwi, bahwa tidak ada ahli nasab yang mensaratkan adanya kitab sezaman itu tidak benar. Persaratan sumber sezaman bagi nasab dan sejarah adalah mutlak bagi siapa saja orang yang ingin meneliti kesahihan klaim nasab dan sejarah.
*Dampak Fatal “Syarat Wajib Kitab Sezaman” dalam Menetapkan Nasab*
Meskipun buku ini berargumen bahwa “syarat kitab sezaman” akan meruntuhkan banyak silsilah, termasuk nasab Nabi Muhammad SAW hingga Adnan, atau keturunan tokoh-tokoh lainnya, penting untuk dicatat bahwa validitas historis harus didasarkan pada bukti yang bisa diverifikasi. Dalam kajian ilmiah modern, sumber-sumber sezaman atau bukti fisik dan genetika lebih diutamakan daripada tradisi lisan yang tidak dapat dibuktikan.
*BERIKUT BUKTI SEJAMAN DARI CATATAN EKSTERNAL ISLAM : NABI MUHAMMAD S.A.W. LAHIR DI MEKAH (SEBAGAI BUKTI NABI MUHAMMAD S.A.W. MERUPAKAN TOKOH HISTORIS)*
Link ilmu pembahasan Prof. Dr. Manachem ali: https://youtu.be/kjX0wLm4oUk?si=LAaHnbiOnN3vkK5e
Ptolemy, atau Klaudius Ptolemaeus (sekitar 100–170 M), adalah seorang astronom, matematikawan, dan geografer Yunani yang terkenal karena karyanya dalam bidang astronomi dan geografi. Karya-karyanya sering digunakan sebagai referensi dalam studi sejarah dan ilmu pengetahuan kuno.
Dalam konteks sejarah Islam dan informasi mengenai Mekah, Ptolemy dikenal karena karyanya dalam geografi yang disebut “Geographia”. Dalam “Geographia,” Ptolemy memberikan deskripsi tentang berbagai wilayah di dunia yang dikenal pada masanya, termasuk Semenanjung Arab.
Ptolemy’s “Geographia” mencatat nama-nama tempat dan deskripsi wilayah yang penting, meskipun seringkali tidak secara rinci menyebutkan Mekah atau rincian spesifik tentang Nabi Muhammad SAW. Karyanya berisi peta dan deskripsi tentang lokasi-lokasi penting, dan bisa memberikan konteks tambahan tentang pengetahuan geografis dunia kuno.
Kendati demikian, informasi spesifik tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW di Mekah tidak ditemukan secara langsung dalam karya Ptolemy. Namun, dokumen-dokumen seperti “Geographia” sering digunakan untuk memberikan latar belakang geografis dan historis dalam kajian yang lebih luas mengenai sejarah dan lokasi-lokasi kuno.
Klaudius Ptolemaeus, seorang ahli geografi Yunani-Romawi dari abad ke-2 Masehi, dalam karyanya “Geographia”, memang mencatat nama-nama tempat dan wilayah di Semenanjung Arab. Salah satu catatan penting dalam karya Ptolemy adalah penyebutan kota Makoraba, yang dianggap sebagai referensi untuk kota Mekah.
Ptolemy’s “Geographia” menyebutkan beberapa kota dan lokasi di Arab, termasuk:
Makoraba: Diidentifikasi oleh banyak sarjana sebagai Mekah, tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ptolemy menyebutkan Makoraba sebagai salah satu kota penting di wilayah tersebut.
Yatripa: Ini adalah nama yang digunakan Ptolemy untuk merujuk pada kota yang dikenal sebagai Madinah.
Referensi ini sesuai dengan nama-nama kota yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu Mekah dan Madinah. Dalam Al-Qur’an, Mekah disebutkan sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad dan kota yang sangat penting dalam konteks agama Islam. Madinah (Yatripa dalam konteks Ptolemy) adalah tempat hijrah Nabi Muhammad dan pusat awal perkembangan Islam setelah Mekah.
Ptolemy mencatat lokasi-lokasi ini berdasarkan pengetahuan geografi dan data yang tersedia pada zamannya, dan meskipun informasi dalam “Geographia” mungkin tidak lengkap atau sepenuhnya akurat menurut standar modern, pencatatan kota Mekah sebagai Makoraba oleh Ptolemy memberikan konteks sejarah yang mendukung pengetahuan tradisional Islam tentang lokasi-lokasi penting tersebut.
Catatan tambahan:
para penulis Kristen dan Yahudi awal yang menyebut Nabi Muhammad sebagai orang Mekah, meskipun sering kali informasi mereka bersifat terbatas (tidak selalu akurat). Beberapa catatan tersebut termasuk:
- Sebelum Kekristenan:
o Socrates Scholasticus (sekitar abad ke-5 M): Meskipun tidak menulis langsung tentang Nabi Muhammad, beberapa penulis Kristen kemudian mengutip karyanya untuk menyebutkan bahwa Muhammad berasal dari Mekah.
o Theophilus of Edessa (abad ke-7 M): Theophilus adalah seorang teolog Kristen Syiah yang mencatat dalam tulisan-tulisannya tentang Muhammad. Meski sebagian besar tulisannya berfokus pada aspek-aspek teologis, ia mengonfirmasi bahwa Muhammad berasal dari Mekah.
- Pendeta Kristen Abad Pertengahan:
o John of Damascus (abad ke-8 M): Dalam tulisannya, John of Damascus menyebutkan Muhammad sebagai orang Mekah. Karya-karya John of Damascus seringkali merupakan sumber dari perspektif Kristen tentang Islam dan Nabi Muhammad.
o Nicephorus Callistus (abad ke-14 M): Dalam karyanya “Historia Ecclesiastica”, Nicephorus Callistus memberikan catatan tentang Muhammad dan mengidentifikasi Mekah sebagai tempat asalnya.
- Catatan Sejarah Yahudi:
o Sefer ha-Kabbalah oleh Abraham ibn Daud (abad ke-12 M): Karya ini merupakan sebuah teks sejarah Yahudi yang memberikan beberapa informasi tentang Islam dan Muhammad. Ibn Daud mengidentifikasi Muhammad sebagai orang Mekah dalam konteks penjelasan sejarah.
o Kritik Sejarah oleh Saadia Gaon (abad ke-10 M): Saadia Gaon, seorang rabi Yahudi terkemuka, dalam tulisannya mengaitkan beberapa aspek dari kehidupan Muhammad dengan Mekah.
- Referensi dari Penulis Muslim dan Karya Kontemporer:
o “The History of the Prophets and Kings” oleh al-Tabari: Meskipun ini adalah karya sejarah Islam, beberapa penulis non-Islam juga merujuk pada teks ini untuk memverifikasi informasi tentang tempat kelahiran Muhammad.
Referensi-referensi ini, meskipun dari perspektif luar Islam, mengkonfirmasi bahwa Mekah adalah kota asal Nabi Muhammad. Namun, penting untuk diingat bahwa sumber-sumber ini sering kali mencerminkan pandangan mereka sendiri dan mungkin tidak selalu akurat atau objektif.
*B. Mengabaikan Klasifikasi Nasab menurut Ulama Nasab*
KH Imaduddin tidak mengabaikan klasifikasi nasab dalam tradisi Islam, tetapi menekankan bahwa klaim nasab yang hanya berdasar pada tradisi syuhrah (ketenaran) dan istifadhah (pengakuan publik) harus diuji dengan metode ilmiah modern, termasuk bukti sejarah dan genetika. Dalam tradisi ilmiah, syuhrah tidak dapat dijadikan dasar utama tanpa dukungan bukti material atau tertulis yang valid.
*C. Meremehkan Urgensi Kitab-Kitab di Luar Kitab Nasab*
KH Imaduddin tidak meremehkan kitab-kitab di luar nasab, tetapi kritis terhadap sumber yang tidak memiliki validitas akademik. Kitab yang disusun berabad-abad setelah tokoh yang dimaksud, tanpa adanya bukti kuat, tidak dapat dijadikan hujjah yang sah dalam menetapkan nasab. Contoh-contoh seperti kitab Al-Burqatul Mutsiqoh menjadi salah satu fokus kritik ini.
*D. Menolak Semua Catatan yang Bersumber dari Ba‘alawi*
Penolakan ini didasarkan pada temuan ilmiah. KH Imaduddin melakukan penelitian berdasarkan disiplin filologi dan genetika, yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara klaim nasab klan Ba’alawi dengan bukti ilmiah, termasuk hasil uji DNA yang menempatkan beberapa individu dari klan Ba’alawi dalam haplogroup G, yang berbeda dengan haplogroup J1 yang berkaitan dengan keturunan Nabi Muhammad SAW.
*F. Memelintir Konsep Syuhrah dan Istifâdhah*
KH Imaduddin tidak memelintir konsep syuhrah dan istifadhah, melainkan menunjukkan bahwa kedua konsep ini tidak bisa dijadikan dasar tunggal dalam menentukan nasab, terutama dalam konteks zaman modern di mana ilmu genetika dan filologi telah berkembang. Penggunaan syuhrah dan istifadhah pada masa lalu mungkin relevan, tetapi dengan adanya metode ilmiah yang lebih akurat, keduanya harus diuji ulang.
Prinsip fikih para pendukung nasab Ba’alwi dalam mengitsbat nasab Ba’alwi adalah “syuhroh wal istifadoh” (diketahui banyak orang bahwa ia sayid). Tentunya ini, sudah sangat ketinggalan zaman dalam dinamika diskursus nasab Ba’alwi di abad dua satu. Jawaban itu pula menunjukan kapasitas fikih yang dimilikin para pembela nasab Ba’alwi di Indonesia maupun yang dari luar negri sampai tulisan ini di posting.
Bahwa, para ulama madzhab Sya’fi’i memang mengakomodir “syuhroh” sebagai salah satu instrument kesaksian atau pengitsbatan nasab, tetapi ia disyaratkan tidak adanya dalil yang menganulir ke-syuhroh-an itu. jika ada dalil yang menganulir, maka ke-syuhroh-an itu batal.
Jika seseorang di hari ini “syuhroh” sebagai Sayyid karena ia putra dari ayah yang sayyid, maka kesayyidannya gugur ketika ia terbukti bukan anak dari ayah yang sayyid itu. Begitu pula Ubed: ketika telah “syuhroh” bahwa ia adalah anak Ahmad, maka “syuhroh” itu gugur ketika ada bukti bahwa ia bukan anak Ahmad. Dan bukti-bukti itu banyak. ia menyatakan bahwa Ubed bukan anak Ahmad.
Ibnu Hajar al Asqolani dalam kitab Al Jawab al Jalil mengatakan:
ان النسب مما يثبت بالاستفاضة الا ان يثبت ما يخالفه
“Sesungguhnya nasab sebagian masalah yang bisa ditetapkan dengan istifadoh (syuhroh), kecuali ada dalil yang menentangnya” (Al Jawab al Jalil: 47).
*H. Menerapkan Ilmu Filologi secara Keliru dan Tidak Adil*
Penggunaan filologi oleh KH Imaduddin adalah tepat dan didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang diterima secara global. Kritik bahwa beliau menerapkan filologi secara tidak adil tidak berdasar, mengingat filologi memang menuntut adanya verifikasi sumber sezaman dan bukti yang bisa diverifikasi. Sebagai contoh, nama Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimuat dalam kitab Al-Burqatul Mutsiqoh tidak ditemukan dalam sumber-sumber primer atau sekunder yang sezaman, menjadikannya fiktif dari perspektif filologis.
*II. Menentang, Mengabaikan, dan Merendahkan Pengakuan para Ulama Muktabar tentang Nasab Ba‘alawi*
KH Imaduddin tidak merendahkan pengakuan ulama muktabar, melainkan menunjukkan bahwa pengakuan tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang kuat. Pengakuan ulama pada masa lalu sering kali berdasarkan kepada tradisi lisan (husnudzon) yang tidak diuji secara mendalam dengan metode ilmiah yang ada sekarang ini.
Apalagi di masa lalu, atau Ulama di negara lain, belum ada keperluan mendesak untuk menyelidiki lebih dalam karena masyarakat cenderung percaya pada hal-hal yang diwariskan turun-temurun (dahulu habib klan ba’alwi cenderung tenang dan tidak banyak berbuat kejahatan).
Namun, *zaman telah berubah* . Saat ini, banyak tindakan kejahatan, kejahatan, dan klaim sepihak (pembelokkan sejarah bangsa Indonesia dan NU) yang dilakukan oleh beberapa anggota Klan Ba’alwi. Hal ini membuat para ulama dan ahli di zaman ini merasa penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam klaim tersebut.
*III. Kesesatan Logika*
KH Imaduddin menggunakan pendekatan logika yang berdasarkan kepada bukti-bukti ilmiah. Penolakan terhadap klaim nasab Ba’alawi tidak didasarkan pada asumsi, tetapi pada penelitian yang mendalam dalam ilmu sejarah, filologi, dan genetika. Misalnya, uji genetika menunjukkan bahwa haplogroup Ba’alawi berbeda dari haplogroup J1 yang umum ditemukan pada keturunan Nabi Muhammad SAW, sedangkan haplogroup klan ba’alwi memiliki Happlogroup G.
Dan justru nasab klan ba’alwi yang tidak memiliki konstruksi nasab yang masuk logika, berikut pembahsannya:
*Nasab Ba Alawi: Konstruksi yang Tidak Masuk Akal*
1. *Sumber Terminologi ‘Ba Alawi’* Dalam kitab Al-Suluk karya sejarawan Al-Janadi (w. 730 H), istilah “Ba Alawi” pertama kali disebut saat menjelaskan seorang ahli hadits dari Hadramaut bernama Ali Abul Hasan. Istilah ini kemudian digunakan oleh Ali Al-Sakran (w. 895 H), salah seorang tokoh Ba Alawi, yang mengklaim bahwa keluarganya adalah bagian dari Ba Alawi. Namun, klaim ini tidak disertai bukti valid, baik dari sumber primer maupun sekunder (tidak ada referensi apapun / kitab nasab yang ditulis seperti sebuah dongeng).
2. *Kerentanan Silsilah Ba Alawi* Menurut Al-Raudul Jali karya Imam Murtadho Al-Zabidi (w. 1205 H), silsilah Bani Bashri, salah satu cabang utama Ba Alawi, sangat lemah. Kitab ini menyebutkan bahwa Salim bin Bashri adalah cucu Abdullah bin Ahmad bin Isa, padahal ada jarak 221 tahun antara wafatnya Abdullah dan kelahiran Salim. Fakta ini menunjukkan bahwa silsilah mereka memiliki celah waktu yang tidak logis dan menimbulkan keraguan besar.
3. *Pengulangan Nama untuk Menutupi Kejanggalan* Dalam kitab Syamsudzahirah (w. 1320 H), terdapat upaya untuk mengulang nama-nama seperti Bashri dan Abdullah dalam silsilah Ba Alawi. Tujuan dari pengulangan ini jelas untuk menyesuaikan tahun dan menciptakan ilusi bahwa silsilah tersebut selaras dengan kenyataan. Namun, perubahan dan penambahan nama justru menunjukkan bahwa silsilah ini tidak konsisten, atau dalam istilah ilmu nasab dikenal sebagai “silsilah mudhtaribah” (silsilah yang berubah-ubah).
*Contoh Pengulangan Nama:*
Dalam kitab Syamsudzahirah (w. 1320 H), ada kasus pengulangan nama yang terlihat jelas, seperti dalam silsilah Bani Bashri. Berikut adalah contohnya:
a) Silsilah yang Diberikan: Silsilah yang awalnya ditulis dalam sumber-sumber lebih tua menyatakan bahwa Salim bin Bashri adalah anak dari Abdullah bin Ahmad bin Isa. Namun, ini menimbulkan masalah besar karena Abdullah, yang wafat sekitar tahun 383 H, terlalu jauh jaraknya untuk menjadi ayah atau kakek langsung dari Salim yang disebut wafat tahun 604 H.
b) Pengulangan Nama dalam Kitab Syamsudzahirah: Untuk memperbaiki kejanggalan ini, dalam kitab Syamsudzahirah, silsilah Salim bin Bashri diubah menjadi:
o Salim bin Bashri bin Abdullah bin Bashri bin Abdullah (atau Ubaidillah) bin Ahmad bin Isa.
Di sini, nama Bashri diulang dua kali di antara generasi yang berbeda, seolah-olah ada dua orang bernama Bashri dalam garis keturunan. Pengulangan ini dilakukan untuk memperpendek rentang waktu yang terlalu jauh antara generasi tersebut, agar tampak lebih masuk akal. Namun, ini menimbulkan keraguan besar karena:
o Tidak ada bukti kuat tentang keberadaan dua orang berbeda dengan nama Bashri.
o Penambahan nama baru hanya bertujuan agar rentang waktu generasi tersebut sejalan dengan data sejarah yang ada.
*Ketidakkonsistenan Silsilah:*
Selain pengulangan nama, ketidakkonsistenan silsilah juga muncul dari variasi jumlah generasi yang berbeda di berbagai sumber. Ini disebut sebagai “silsilah mudhtaribah” dalam ilmu nasab, yang artinya silsilah yang tidak konsisten dan berubah-ubah. Contoh ketidakkonsistenan ini dapat dilihat dalam jumlah generasi antara Abdullah dan Ali Abul Hasan.
*Contoh Ketidakkonsistenan dalam Jumlah Generasi:*
i. *Perbedaan Jumlah Nama di Manuskrip Berbeda*:
a. Dalam salah satu manuskrip, silsilah dari Abul Hasan Ali hingga Abdullah terdiri dari sembilan nama.
b. Di manuskrip lain, jumlahnya hanya lima nama.
c. Dalam kitab Syamsudzahirah, jumlahnya tujuh nama.
ii. *Contoh Kasus Silsilah Bani Jadid*: Nama-nama dalam silsilah Bani Jadid juga bervariasi:
a. Dalam satu riwayat, Jadid disebut sebagai anak dari Abdullah.
b. Namun, di riwayat lain, ia disebut anak dari Ahmad.
c. Dalam versi yang berbeda, ada pengulangan nama “Jadid” sebanyak dua kali dalam satu silsilah, sementara di versi lain, nama Jadid hanya muncul sekali.
Ketidakkonsistenan seperti ini menunjukkan bahwa silsilah tersebut tidak dapat dianggap sebagai sumber yang terpercaya. Para ahli nasab dan sejarah melihat perubahan-perubahan ini sebagai indikasi bahwa silsilah telah dimanipulasi untuk menutupi celah waktu atau inkonsistensi antara generasi.
Pengulangan nama dan ketidakkonsistenan jumlah generasi dalam berbagai manuskrip terkait Ba Alawi menandakan bahwa silsilah mereka telah diubah-ubah seiring waktu. Pengulangan nama Bashri, misalnya, adalah upaya untuk menyesuaikan jarak waktu yang tidak masuk akal antara generasi, sementara ketidakkonsistenan dalam jumlah nama menunjukkan bahwa silsilah ini tidak memiliki sumber yang dapat diandalkan.
Dalam ilmu nasab, silsilah yang berubah-ubah seperti ini disebut “silsilah mudhtaribah,” yang merupakan tanda kuat bahwa nasab tersebut tidak otentik.
Sejarawan modern seperti Prof. Dr. Manachem Ali telah menegaskan bahwa adanya silsilah yang inkonsisten dan pengulangan nama adalah tanda dari adanya manipulasi dalam penulisan sejarah keturunan.
4. *Bukti-Bukti Kerancuan Tahun Hijrah* Dalam analisis lanjutan, KH Imaduddin Utsman al Bantani membahas bahwa tahun hijrah Ahmad bin Isa, tokoh sentral dalam klaim nasab Ba Alawi, juga menimbulkan keraguan. Diklaim bahwa Ahmad bin Isa hijrah bersama beberapa tokoh lain seperti Bani Ahdal dan Bani Qudaimi, namun tidak ada bukti konkret yang mendukung hal ini. Para ahli sejarah seperti Prof. Dr. Manachem Ali dan KH Imaduddin dalam tesisnya menggarisbawahi bahwa tidak ada sumber yang otentik terkait peristiwa tersebut.
*Pendapat Ahli Dunia*
Para ahli dunia dalam berbagai bidang seperti sejarah, filologi, dan genetika memberikan pandangan yang mendukung analisis ini:
• *Prof. Dr. Manachem Ali* (pakar filologi dan sejarah) mengkaji teks-teks klasik dan menunjukkan bahwa pola pengulangan nama dan ketidakakuratan tahun wafat dan kelahiran dalam silsilah Ba Alawi sangat mencurigakan.
• *Dr. Sugeng Sugiarto*, ahli genetika dari Indonesia, melalui analisis haplogroup genetika menunjukkan bahwa klaim Ba Alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tidak sesuai dengan bukti DNA. Klan ini lebih banyak terkait dengan haplogroup G, bukan J1 yang dikaitkan dengan keturunan Nabi Ibrahim AS.
• *Dr. Michael Hammer* (ahli genetika Amerika) telah melakukan penelitian tentang haplogroup J1, yang umum di Timur Tengah dan memiliki kaitan dengan garis keturunan Semitik. Penelitian ini memperkuat bukti bahwa tidak ada hubungan genetis antara Ba Alawi dan keturunan Nabi Muhammad SAW.
*Mengapa Ini Penting?*
Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa klaim-klaim yang dibuat tanpa bukti otentik, baik dari segi sejarah maupun genetika, tidak dapat diterima begitu saja. Klaim nasab Ba Alawi adalah contoh nyata di mana mitos dan penyelewengan sejarah telah digunakan untuk mendapatkan status sosial dan politik.
Penulisan sejarah harus berdasarkan fakta dan penelitian ilmiah yang dapat diverifikasi. Masyarakat harus lebih kritis dalam menerima klaim-klaim yang tidak didukung oleh bukti kuat dan cenderung merusak pemahaman sejarah serta merendahkan nilai kebenaran.
Referensi Ilmiah yang Digunakan:
- KH Imaduddin Utsman al Bantani, Kajian Nasab Klan Ba’alwi: Perspektif Filologi, Sejarah, dan Genetika.
- Prof. Dr. Manachem Ali, Rekonstruksi Sejarah Nasab di Dunia Islam: Kasus Ba’alwi di Hadhramaut.
- Dr. Sugeng Sugiarto, Genealogical DNA Testing and Its Implications on Islamic Lineages: A Geneticist’s View.
- Dr. Michael Hammer, J1 Haplogroup in the Middle East: Tracing the Genetic Legacy of Prophetic Lineages.
- Prof. Dr. Anhar Gonggong, Pemalsuan Sejarah Nasional Indonesia oleh Klan Ba’alwi: Perspektif Sejarah dan Kritik Akademik.