*MENJAWAB TUDUHAN MUKIBIN: “KH IMADUDDIN UTSMAN AL BANTANI COPAS WAHABI?” – SEBUAH KLARIFIKASI ILMIAH DAN PEMBELAAN TERHADAP PEMIKIRAN KRITIS*
Tuduhan bahwa KH Imaduddin Utsman al Bantani menyalin isi kitabnya Al-Fikrah An-Nahdliyah dari situs-situs Wahhabi tanpa menyebutkan sumber, merupakan penilaian yang terlalu simplistis, emosional, dan terkesan tidak memahami metode keilmuan dalam penulisan kitab fikih.
Berikut poin-poin pembelaannya:
*1. Kesamaan Redaksi Bukan Bukti Peniruan, Tapi Bukti Kemandirian Penalaran*
Dalam dunia keilmuan Islam, terutama dalam fikih, penggunaan redaksi serupa adalah hal yang lumrah karena banyak masalah fikih dirujuk dari kitab-kitab klasik yang telah lama menjadi rujukan bersama, baik oleh ulama Ahlussunnah wal Jamaah, maupun oleh ulama di luar arus utama. Apalagi, mayoritas fatwa di situs seperti IslamQA dan IslamWeb juga mengambil dari referensi fikih mutaqaddimin (seperti Ibnu Qudamah, Nawawi, Al-Mardawi, Ibn Taymiyyah, dan lainnya) yang juga digunakan oleh para ulama NU.
Jadi, bukan berarti jika KH Imaduddin menggunakan redaksi yang mirip—atau bahkan sama—dengan situs tertentu, lalu otomatis beliau “mengopi pendapat Wahhabi”. Yang benar: ia mengutip pendapat ulama salaf yang memang dijadikan rujukan bersama.
*2. Mengutip Tanpa Taklid: Sikap Ilmiah yang Moderat*
KH Imaduddin tidak membabi buta mengikuti pendapat yang ia kutip. Beliau sering kali menambahkan pendapat dari ulama madzhab empat dan memberikan kesimpulan ijtihadiyah sendiri sesuai prinsip tarjih. Ini menunjukkan bahwa beliau menguasai materi, bukan sekadar menyalin. Jika sebagian pendapatnya beririsan dengan situs Wahhabi, maka itu bukan karena taklid, tapi karena beliau menyampaikan apa yang secara ilmiah benar menurut referensi fikih.
Bukankah para ulama besar NU seperti KH Sahal Mahfudz juga menganjurkan metode tarjih dalam fikih kontemporer?
*3. Selama Tidak Menyalahi Manhaj Aswaja, Maka Tidak Haram Mengutip Pendapat Siapa Pun*
Ulama besar seperti Imam Nawawi, Imam Suyuthi, atau bahkan ulama modern seperti Dr. Wahbah Zuhaili—yang jelas bukan Wahhabi—sering mengutip pendapat ulama yang bahkan menyimpang, hanya karena argumen mereka dianggap kuat dalam satu masalah fiqhiyah. Maka, tidak masalah bila KH Imaduddin mengutip pendapat ulama salaf atau situs mana pun selama tidak bertentangan dengan ushul Aswaja.
Imam Al-Ghazali bahkan pernah mengutip filsuf Yunani dalam menjelaskan logika. Apakah beliau jadi filsuf kafir? Tentu tidak.
*4. Fatwa Wahhabi Bukan Selalu Salah. Salah Bila Tak Sesuai Manhaj Aswaja*
Perlu diketahui, tidak semua isi situs IslamQA atau IslamWeb bertentangan dengan Aswaja. Banyak bahasan fikih muamalah, thaharah, nikah, dan jual beli yang isinya bersifat madzhabi dan teknis, dan tidak menyinggung ideologi. Oleh karena itu, KH Imaduddin bebas mengutip fatwa semacam ini jika memang bersumber dari referensi yang sahih dan bermanfaat bagi umat.
Contoh: menjelaskan jual beli kredit, khutbah dalam bahasa non-Arab, atau hukum menikah lewat telepon bukan wilayah sensitif akidah, tapi ijtihad fikih. Maka, boleh mengambil pendapat siapa pun yang ilmiah dan sesuai maqashid syariah.
*5. Ironi Tuduhan ‘Wahhabiyah’ Terhadap Penulis yang Jelas Mendukung NU*
Menuduh KH Imaduddin sebagai penyebar pemikiran Wahhabi justru menabrak fakta bahwa beliau:
Santri NU tulen.
Mendukung prinsip Aswaja dan menulis buku pemikiran NU.
Pernah diapresiasi oleh kader GP Ansor Banten melalui NU Online.
Mendukung metode pemikiran kritis, bukan taklid membabi buta.
Lalu, di mana letak wahhabiyah-nya?
*6. Tuduhan Tanpa Kritik Substansi Gagasan Adalah Cacat Logika*
Mukibin tidak membantah isi dan argumentasi dari kitab Al-Fikrah An-Nahdliyah, melainkan hanya mempermasalahkan “sumber”. Ini adalah kesalahan logika argumentum ad hominem dan genetic fallacy—menolak sebuah gagasan karena sumbernya, bukan karena isinya.
Padahal, kalau memang isi kitab tersebut menyimpang, bantahlah dengan dalil dan argumen, bukan dengan menyoroti gaya penulisannya saja.
*7. Serangan Personal Tidak Mengubah Fakta Ilmiah*
Yang lebih penting untuk ditekankan: serangan personal terhadap KH Imaduddin Utsman al Bantani tidak berpengaruh apa pun terhadap substansi argumen ilmiahnya, apalagi terhadap fakta-fakta genetika dan sejarah yang telah terungkap.
Tuduhan terhadap pribadi beliau tidak akan bisa mengubah kenyataan ilmiah bahwa nasab klan Ba’alwi tidak tersambung kepada Rasulullah Muhammad SAW. Hal ini telah dibuktikan melalui:
Penelitian genetika, bahwa haplogroup Ba’alwi (G) tidak sama dengan haplogroup keturunan Nabi (J1),
Kajian sejarah dan filologi, yang menunjukkan nama ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir’ tidak muncul dalam sumber sezaman,
Analisis perilaku dan politik klan Ba’alwi, yang sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlul Bait dan nilai-nilai kenabian.
Dengan demikian, membantah KH Imaduddin secara emosional bukan hanya tidak relevan, tapi juga menunjukkan kebingungan dalam membedakan antara debat ilmiah dan serangan pribadi.
—
*Penutup:* KH Imaduddin Utsman al Bantani adalah penulis dan pemikir NU yang bekerja berdasarkan rujukan ilmiah. Beliau tidak anti terhadap sumber mana pun selama isinya sahih dan tidak menyimpang dari prinsip Aswaja. Maka tuduhan “copas Wahhabi” adalah tuduhan tanpa bobot dan tak mempengaruhi integritas argumentasi maupun hasil penelitian beliau yang ilmiah dan independen, Justru inilah sikap intelektual dan inklusif yang diajarkan para ulama besar NU.
Maka, alih-alih menyerang pribadi dan sumber kutipan, mari kita bahas ide dan isi secara ilmiah dan adil. Bukankah itu akhlak ilmuwan sejati?