Di pagi hari saat sedang menikmati teh hangat dan pempek yang dibawa istri dari Lampung, ada yang kirim penggalan video. Lalu kawan alumni ada yang menanyakan soal validitas sejarah NU yang dinarasikan dalam unggahan tersebut.
Dalam video itu, seolah adanya NU itu, merupakan gagasan dari Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, hanya karena ia keturunan Arab, maka tidak diperbolehkan oleh Belanda (baca: Pemerintah Hindia Belanda), kata penceramah dalam video.
Faktanya, Jami’atul Khayr (1905) dan Al-Irsyad (1914) yang lahir jauh sebelum berdirinya NU diperbolehkan dan eksis sampai detik ini. Kedua organisasi tsb adalah didirikan oleh orang-orang keturunan Arab. Yang pertama didominasi oleh kaum sayyid (keturunan Nabi) dan yang kedua adalah wadah untuk keturunan Arab non sayyid. Bahkan Rabithah Alawiyah (RA) pun, didirikan pada 1928, sebelum kemerdekaan.
Cikal bakal NU, berawal dari Konggres Al-Islam IV dan V, di mana kaum tradisionalis (pesantren) tidak terakomodasi dalam delegasi Mu’tamar ‘Alam al-Islami (Konfrensi Islam Internasional) di Makkah. Dari situ, KH. Wahab Hasbullah bersama rekan-rekannya membentuk Komite Hijaz –untuk mengirim delegasi sendiri ke Arab Saudi. Inilah yang akhirnya mengilhami terbentuknya organisasi Santri Tradisionalis dengan nama Nahdlatul Ulama (NU) di tahun 1926.
Selama ini al-Faqir selalu memilih diam soal polemik nasab yang berseliweran di mana-mana, termasuk di media sosial. Alasannya simple. Pembahasan tersebut bukan “elan-vital” agama. Tidak perlu diperdebatkan terus menerus. Menguras energi. “Idza shahhati al-Mashlahatu fahuwa madzhabi”. Tapi, kalau upaya pembelokan sejarah NU, sebagai Nahdliyyin, tidak boleh diam. Distorsi sejarah adalah kejahatan serius. Mengaburkan masa lalu, berarti merusak masa depan generasi berikutnya. Kata seorang intelektual Mesir, “man la madhiya lahu, la hadhara lahu, wa man la hadhara lahu fala mustaqbala lahu (barang siapa yang tidak punya masa lalu, ia tidak berhak atas hari ini, dan yang tidak memiliki masa kini, berarti tidak akan mampu megenggam masa depan)”. Jawaban atas video tadi, adalah wujud tanggungjawab moral al-Faqir. Tak kurang, tak lebih.
Kenapa, orang-orang keturunan Arab Yaman akhir-akhir ini sering kontroversial. Ada semacam upaya untuk mendistorsi sejarah orang lain? Nahdliyyin ingin dijauhkan dari akar sejarahnya sendiri. Budaya tabligh mereka tanpa dibarengi standar ilmiah yang jelas. Tanpa triangulasi data. Asal ngomong. Bicara sejarah dari sumber yang tidak kredibel. Masalahnya, muhibbinnya banyak, dan tidak biasa berpikir kritis. Mayoritas umat ini masih silau dengan apapun yang berbau asing. Termasuk berbau Arab.
Sebab itu, untuk generasi muda NU, dan Nahdliyyin secara umum, hendaknya kembali ke buku-buku sejarah yang ditulis oleh sejarawan otoritatif; atau silahkan merujuk ke sumber-sumber yang ditulis oleh para akademisi NU, bukan dari penceramah atau sunber abal-abal, atau dari media sosial tanpa cross-check data lebih dulu.
Isu Yamanisasi Indonesia apakah riil? Wallahu a’lam. Intinya, kalian tetap perlu waspada.
Penulis: Sukron Makmun., (Wakil Ketua PWNU Banten)
Sumber tulisan :https://rminubanten.or.id/pembelokan-sejarah-nu/