Rasisme Petaka Dalam Sejarah Umat Manusia

Bila kita mencermati dengan seksama, tingkah laku klan Habaib Ba’alawi dengan doktrin nya, satu Habib yang bodoh lebih utama daripada 70 Ulama ahwal, juga ada faham kesetaraan dalam perkawinan berbasis nasab. Ini bukanlah doktrin biasa. Tapi kita wajib curiga bahwa itu doktrin sudah by desain untuk dicekokin kepada para kaum pribumi terutama yang menjadi “muhibbin” mereka.

Doktrin yang diajarkan oleh Klan Habaib Ba’alawi tersebut sangat menabrak akal sehat dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Bagaimana mereka bisa menganggap sama orang bodoh dengan orang berilmu? Juga madzhab mana yang menjadikan kafaah sebagai syarat sah nya nikah? Mengapa mereka bisa menganggap nasab lebih mulia dari ilmu dan taqwa? Ajaran dari mana itu?

Walisongo yang mengajarkan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW panutan umat Islam di Nusantara tidak pernah mengajarkan kepada umat Nusantara ajaran bodoh seperti itu.

“Sungguh Allah telah menghilangkan fanatisme jahiliyah dengan Islam dan berbangga-bangga atas nenek-moyang, karena manusia seluruhnya dari Adam, dan Adam dari tanah.” (HR. Abu Dawud)

Bahwa, Islam mengakui kesetaraan antar etnis dan budaya. Islam menolak diskriminasi yang berbasis etnis karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam Al-Qur’an disebutkan secara eksplisit keragaman etnis manusia dengan istilah: perbedaan “lidah”—al-sinah—yang merujuk pada bahasa, dan perbedaan “warna”—al-alwan—yang berarti warna kulit yang umumnya dipahami sebagai perbedaan ras. Al-Qur’an juga menyebutkan perbedaan bangsa-bangsa (syu’ub) dan suku-suku (qaba’il) yang menunjukkan pengakuan terbuka Islam terhadap keragaman etnis dan budaya manusia.

Doktrin yang mempercayai bahwa suatu etnis tertentu lebih unggul dan mulia disebut rasisme. Manusia dinilai karena warna kulitnya dan dari mana asal etnisnya. Rasisme merupakan petaka dalam sejarah umat manusia, di mana manusia ditinggikan dan direndahkan hanya berdasarkan warna kulit dan etnisnya saja.

Turunan dari fanatisme etnis ini (rasisme) seperti ketakutan pada yang terlihat asing (xenofobia) dan generalisasi terhadap suatu kelompok etnis tertentu yang disebut stereotip.

Dalam pandangan Islam, segala bentuk rasisme, xenofobia, dan stereotip tidak bisa diterima. Karena pandangan dan sikap ini menimbulkan dan menyuburkan diskriminasi dan penolakan. Sikap dan pandangan ini pun jauh dari nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang diakui oleh Islam. Diskriminasi yang berdasarkan etnis, generalisasi, dan ketakutan pada yang dianggap asing merupakan bentuk dari kezaliman yang sangat ditolak oleh Islam.

Mengolok-olok, menghina, merendahkan seseorang karena alasan suku, kelompok, dan keturunan merupakan tindakan rasialisme. Tindakan ini tidak dibenarkan dalam Islam. Larangan ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلاَ نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلاَ تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُوا بِالأَْلْقَابِ

“Hai orang yang beriman! Janganlah suatu suku di antara kamu mengolok-olok suku yang lain, mungkin (yang diolok-olok itu) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), janganlah wanita mengolok-olok wanita yang lain, mungkin (wanita yang diolok-olok) lebih baik dari (wanita yang mengolok-olok), janganlah kamu saling mencaci, dan janganlah saling memberi nama ejekan”. (Al-Hujarat, Ayat 11)

Bahwa garis keturunan tidak bisa dijadikan patokan suatu kebaikan ataupun keunggulan. Kalau benar garis keturunan bisa dijadikan standar kebaikan atau keunggulan seseorang, maka perkataan Allah tentang kemuliaan orang saleh tidak akan ada artinya. Dalam surat Al-Hujurat Allah berkata:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (Al-Hujurat, Ayat 13)

Suku, bangsa, ras, dan nasab adalah identitas yang pasti melekat pada setiap orang. Keberagaman itu ada tidak lain supaya umat manusia saling mengenal satu sama lain. Bukan untuk dijadikan alat ukur atas kemuliaan, kebaikan, bahkan kredibilitas seseorang untuk di tokohkan. Sebab kata Allah, mulia tidaknya seseorang ditentukan oleh keimanan masing-masing.

Semoga ini bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk mewujudkan Islam yang ramah dan mengakui kesetaraan, serta Islam yang menolak rasisme, rasialisme, dan fanatisme etnis.

 

Waallahu Alam




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *