Saat Ulama dan Pemimpin Kami Dihina, Kami Diam. Tapi Ketika Kalian Dikritik, Dunia Kalian Gaduh

*Saat Ulama dan Pemimpin Kami Dihina, Kami Diam. Tapi Ketika Kalian Dikritik, Dunia Kalian Gaduh*

 

Tulisan ini mengangkat fakta ketimpangan perlakuan terhadap kritik dan penghinaan antara ulama dan pemimpin dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) serta pemerintah dengan tokoh-tokoh dari kelompok tertentu. Mengajak pembaca berpikir adil dan objektif.

*Ketika Kami Diam Saat Ulama dan Pemimpin Kami Dihina*

Dalam beberapa tahun terakhir, publik menyaksikan banyak hinaan dan ujaran kebencian yang diarahkan kepada ulama-ulama besar Nahdlatul Ulama (NU), serta tokoh-tokoh bangsa. Anehnya, hinaan tersebut tidak memicu kegaduhan besar. Kami memilih diam, menahan diri, dan menjaga akhlak.

Namun ketika satu kritik ringan diarahkan kepada tokoh dari kelompok tertentu—yang bahkan bukan pribumi—responnya begitu berlebihan. Media sosial gaduh, narasi dizalimi dimainkan, seolah-olah kritik adalah penghinaan besar yang tak bisa ditoleransi.

 

*Bukti Nyata Penghinaan yang Tak Pernah Kalian Persoalkan*

Berikut beberapa penghinaan terhadap tokoh bangsa dan ulama kami yang terjadi secara terbuka:

  1. Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), Presiden ke-4 RI, dihina oleh Rizieq Shihab dengan sebutan “buta mata, buta hati”.
  2. KH. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden RI, disebut “babi” secara kasar oleh Ja’far Shodiq Alattas di depan umum.
  3. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dihina oleh Faisal Assegaf. Bahkan Gus Baha’ juga tak luput dari cibiran.
  4. Presiden Joko Widodo disebut “banci” oleh Bahar bin Smith dan “jokodok” oleh Rizieq Shihab.
  5. Rizieq juga menyebut perempuan Indonesia seperti Nikita Mirzani sebagai “lonte” dalam acara Maulid Nabi.
  6. Ulama dan kiai NU sering disebut “curut, kera, dan tikus bersorban” oleh pendukung fanatik kelompok tertentu.
  7. Pernyataan bahwa “habib bodoh lebih mulia dari 70 ulama alim” adalah bentuk penghinaan terhadap keilmuan.
  8. Kyai disebut “tai” oleh habib Raihan, tanpa klarifikasi atau permintaan maaf dari pihaknya.

 

*Di Mana Suara Kalian Saat Itu?*

*Kami bertanya:*

Di mana kegaduhan saat semua itu terjadi?

Mengapa kalian diam saat ulama dan pemimpin kami dihina?

Mengapa baru sekali kalian dikritik, langsung merasa dunia kalian runtuh?

Kami tidak pernah membalas dengan cara yang sama. Kami percaya bahwa akhlak dan adab harus dijaga. Tapi, keadilan tidak boleh hanya berlaku untuk satu kelompok saja.

 

*Keadilan Harus Konsisten, Bukan Parsial*

Jika ingin dihormati, hormatilah orang lain. Jika ingin dijunjung tinggi, maka jangan merendahkan pihak lain. Ulama, kyai, dan pemimpin bangsa adalah bagian dari kekayaan moral dan spiritual bangsa ini. Jangan merasa paling suci, lalu merasa kebal dari kritik.

Kita butuh masyarakat yang adil, dewasa, dan menjunjung etika. Mari hentikan standar ganda dalam bersikap.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *