Fenomena kuburan diklaim sepihak oleh oknum keturunan Ba’Alawi menggugah nalar saya, untuk memahami validitas makam dengan beberapa pendekatan. Klaim itu bisa dibantah dengan mempertanyakan dokumen tentang makam tersebut.
Tidak berdasarkan kebencian pada orang atau kelompok tertentu, tapi ini murni menyuarakan kebenaran pada publik, bahwa hal yang disepelekan itu terkadang jadi penyesalan di masa depan jika tidak diselesaikan sekarang.
Kalau kondisi seperti ini terus menerus ( klaim dan pembelokan sejarah), tanpa ada yang mau mengklarifikasi lewat ucapan atau tulisan, kelak identitas bangsa dan kesejarahan leluhur kita hilang dari catatan, hilang dari fakta karena ditimbun oleh penipuan yang didiamkan akibat sami’na wa atho’na yang salah kaprah. Biarpun klaim dzuriyat Rosul, tapi kalau menipu ya tetap disebut penipu.
Terus terang ini kegelisahan saya ketika sejarah bangsa kita dibelok-belokkan, ketika mereka paham bahwa generasi milenial masih abai akan sejarah leluhurnya. Ironi dan menyedihkan kelakuan oknum-oknum Ba’lawi yang tidak bertanggung jawab ini, justru dibela oleh oknum kiai yang hanya punya dalih cinta ahli bait. Soal cinta ahli bait itu sudah jelas, dan kita pun sudah lakukan itu.
Abad 16 hingga abad 17 masehi, makam-makam sultan, para ksatria, ulama dan tokoh sejarah masih dipengaruhi peradaban Persia ( kini Iran ) dari jalur Gujarat, Champa dan Pasai, ini jadi dasar identifikasi kita bahwa tidak ada unsur peradaban Yaman di abad itu. Jika ada makam-makam, lalu diklaim sebagai orang yang mati berasal dari Yaman tentu bertentangan dengan relief batu nisannya.
Saat memasuki abad 18 dan 19 masehi, bangsa Yaman memasuki Nusantara, dan ini jadi penanda bahwa pada abad tersebut banyak kesimpangsiuran soal makam. Karena itu dalih untuk membantahnya itu adalah dokumen makam, jika dokumen tidak menjelaskan identitas ahli kuburnya wajib kita tolak, dan itu jelas penipuan.
Dokumen itu antara lain riwayat orang yang di kubur tersebut, keterangan kehidupannya, atau jejak sejarah dan peninggalannya, dan bila perlu saksi dan arsip sejarah lewat surat undangan menyolatkan jenazah yang biasanya ditulis dengan Jawa Pegon, dan arsip itu memang ada, bahkan oleh pemerintah kolonial Belanda hal sepele itu disimpan rapih.
Ini peringatan bagi kita, agar jangan terlena oleh figur besar dan sangat mulia itu tetapi mendiamkan klaim dan pembelokan atas figur sejarah. Dalam hal ini perlu sikap seimbang dan titik berat pada fakta kebenaran. Jika salah bilang salah, jika itu benar katakan itu benar.
Nalar kita jangan sampai mati hanya karena mahabbah, tetapi mahabbah-nya kita didasarkan kewarasan dan tidak berlebihan. Lalu kita pastikan bahwa kita istiqamah di jalur fakta dan kebenaran sejarah. Karena itu selidiki jika ada perubahan nama makam, nama ahli kuburnya, padahal sebelumnya adalah makam pribumi asli. Hindari cinta buta, karena ia mematikan akal sehat.
Wallahu Alam
Penulis: Kang Hamdan Suhaemi