*Sanggahan Ilmiah terhadap Klaim Pihak Klan ba’alwi (Ketidak hadiran Kyai Imaduddin di kantor RA):*
*1. “Acara dilakukan secara live, tidak mungkin ada gimmick atau settingan.”*
- *Sanggahan:*
Siaran langsung bukan jaminan objektivitas atau kebebasan dari rekayasa. Dalam dunia media, framing, pemilihan narasumber, penyusunan agenda, serta penguasaan panggung dapat diarahkan untuk menciptakan persepsi tertentu. - *Analogi:*
Banyak debat yang disiarkan secara langsung tetap memiliki unsur framing dan bias, karena bisa diatur dengan cara:
- Memilih moderator yang menguntungkan satu pihak.
- Mengatur tempo diskusi sehingga pihak tertentu mendapatkan waktu lebih banyak.
- Memilih angle kamera yang lebih menguntungkan satu pihak.
- Mengundang audiens yang lebih dominan dari satu kelompok untuk memberikan efek psikologis.
- *Kesimpulan:*
Sekadar live tidak membuktikan tidak adanya settingan atau framing tertentu.
*Kejanggalan Siasat Ba Alwi dalam Undangan kepada KH Imaduddin Utsman al Bantani*
- *Undangan dilakukan secara sepihak melalui media sosial*, langsung menentukan tanggal tanpa meminta konfirmasi dari KH Imaduddin. Padahal, beliau memiliki jadwal penuh. Seharusnya, Rabithah Alawiyah (RA) sebagai pihak pengundang bersikap lebih bijak dengan menanyakan jadwal yang tersedia untuk diskusi yang fair.
- *Acara dilakukan di tempat tertutup dan tidak untuk umum*, yang menimbulkan pertanyaan besar terkait transparansi dan objektivitas diskusi.
- *Surat undangan tidak ditandatangani oleh Ketua RA, Rockim Taufik Assegaf.* Hal ini mengindikasikan kurangnya legitimasi dan keseriusan dari pihak pengundang.
- *Penulisan nama KH Imaduddin tanpa gelar kehormatan*—hanya “Imaduddin”—merupakan bentuk pelecehan terhadap ulama pribumi yang telah menghasilkan banyak karya kitab dalam bahasa Arab, memiliki pesantren, serta menjabat dalam ormas NU dan MUI. Sikap ini menunjukkan bahwa Klan ba’alwi masih menganggap pribumi sebagai “jongos” mereka.
- *Undangan tidak menyebut adanya debat atau diskusi ilmiah*. Sebaliknya, undangan itu hanya meminta KH Imaduddin untuk mendengarkan paparan, bukan untuk menguji tesisnya secara objektif. Ini menunjukkan bahwa mereka hanya ingin menceramahi KH Imaduddin, bukan berdiskusi secara akademis.
- *Durasi kegiatan hanya 1,5 jam (14:00 – 15:30 WIB)*, yang sangat tidak memadai untuk membahas permasalahan ilmiah yang kompleks dan membutuhkan kajian mendalam.
- *Tidak ada pakar ahli atau akademisi independen yang dihadirkan*, menunjukkan bahwa acara ini bukan forum akademik yang serius, melainkan hanya ajang propaganda sepihak.
*2. “Acara netral, moderator netral, diberikan kesempatan berbicara, membawa saksi, dan merekam video.”*
- *Sanggahan:*
- Netralitas moderator harus dibuktikan, bukan hanya diklaim. Jika moderator memiliki kecenderungan tertentu atau tidak memiliki kapasitas ilmiah yang cukup, ia bisa tetap berat sebelah.
- Memberikan kesempatan berbicara bukan berarti diskusi berjalan ilmiah. Apakah ada waktu yang cukup untuk membahas secara mendalam? Apakah ada aturan diskusi yang memungkinkan penyampaian argumen berbasis kajian akademik?
- Saksi yang dibawa harus memenuhi standar ilmiah. Apakah saksi yang dihadirkan memiliki latar belakang akademik yang sahih di bidangnya? Atau hanya tokoh yang diakui secara internal tanpa rujukan akademis yang kuat?
*3. “Pihak KH Imaduddin Utsman al Bantani hanya berbicara di hadapan kelompoknya sendiri, tidak pernah berdebat dengan ahli kontra.”*
- *Sanggahan:*
- KH Imaduddin telah menyampaikan kajian berbasis sejarah, filologi, genetika, dan kajian perilaku melalui penelitian akademik. Jika pihak Klan ba’alwi merasa memiliki bantahan ilmiah, seharusnya mereka menulis sanggahan berbasis ilmiah di jurnal akademik atau forum yang setara.
- Ilmiah bukan sekadar debat terbuka, melainkan melalui peer-review, penelitian mendalam, dan analisis data yang dapat diverifikasi.
- Di mana publikasi ilmiah dari pihak Klan ba’alwi yang secara akademis membantah penelitian KH Imaduddin? Mengapa tidak ada penelitian berbasis DNA yang membuktikan hubungan genealogi mereka dengan haplogroup J1?
*4. “Kalau buku bukan jaminan kebenaran, maka buku Imad juga sama.”*
- *Sanggahan:*
- Buku bukan satu-satunya sumber kebenaran, tetapi *buku akademik yang berbasis penelitian ilmiah memiliki bobot lebih dibandingkan klaim verbal tanpa dasar ilmiah.*
- Buku KH Imaduddin berisi analisis berbasis *ilmu sejarah, filologi, dan genetika,* dengan referensi dari para ahli seperti * Sugeng Sugiarto, Prof. Dr. Manachem Ali, dan Dr. Michael Hammer.*
- Jika ingin membantah, seharusnya tidak hanya menyebut “buku bukan jaminan kebenaran”, tetapi menyanggah *isi buku* dengan data yang lebih kuat.
*5. “Habaib semakin banyak diundang di acara nasional, jadi itu bukti diterima masyarakat.”*
- *Sanggahan:*
- Popularitas tidak membuktikan kebenaran ilmiah.
- Banyak fenomena sosial yang berkembang bukan karena validitas historisnya, tetapi karena faktor budaya, politik, dan propaganda sosial.
- Jika benar bahwa habaib memiliki keabsahan nasab, mengapa tidak ada penelitian genetik berbasis DNA Y-DNA J1 yang bisa memverifikasi klaim ini?
*6. “Nasab Klan ba’alwi diakui oleh NAQIB, Naqobah Internasional, dan ada ijma ulama.”*
- *Sanggahan:*
- Organisasi nasab seperti NAQIB dan Naqobah Internasional adalah lembaga internal, bukan lembaga akademik yang melakukan verifikasi ilmiah berbasis sejarah dan genetika.
- Ijma ulama harus dibuktikan. Siapa ulama yang menyatakan ijma tersebut? Dalam kitab apa ijma itu tercatat?
- Klaim keabsahan nasab harus diuji dengan sumber sejarah primer, kajian filologi, dan analisis DNA.
- Sebaliknya, penelitian KH Imaduddin menunjukkan bahwa klaim nasab Klan ba’alwi tidak memiliki bukti filologis, tidak ada dokumen sejarah sezaman, dan tidak sesuai dengan bukti DNA.
*Kesimpulan:*
- Argumen pihak Klan ba’alwi tidak berbasis ilmiah dan hanya bersandar pada klaim verbal serta popularitas sosial.
- Penelitian KH Imaduddin berbasis sejarah, filologi, genetika, dan kajian perilaku, serta didukung oleh penelitian para ahli.
- Jika pihak Klan ba’alwi ingin membantah, mereka harus melakukannya dengan pendekatan akademik dan penelitian ilmiah, bukan sekadar debat atau klaim populer di media sosial.
*FAKTA:*









