”Sanggahan Kitab “Ghoyatul Qosdi wal Murad “ Terhadap Klaim “Kami adalah Raja-raja di Bumi dan di Langit”

*”Sanggahan Kitab dari klan ba’alwi “Ghoyatul Qosdi wal MuradTerhadap Klaim “Kami adalah Raja-raja di Bumi dan di Langit”*

Pernyataan bahwa “Kami adalah Raja-raja di bumi dan di langit” yang diklaim berasal dari Ghoyatul Qosdi wal Murad  karya Habib Muhammad bin Zain bin Smith dari klan  Ba’alawi perlu dikritisi dengan perspektif ilmiah, teologis, dan historis yang tepat. Klaim ini berpotensi menciptakan pemahaman yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni, serta mengarah pada doktrin supremasi yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.

  1. Kekuasaan Hanya Milik Allah SWT

Islam mengajarkan bahwa kekuasaan atas seluruh alam semesta, baik bumi maupun langit, adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah dalam Al-Qur’an:

“Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi; Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Al-Hadid : 2)

“Katakanlah: ‘Siapakah yang mempunyai bumi dan semua yang ada di dalamnya, jika kamu mengetahuinya?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’”
(QS. Al-Mu’minun: 84-85)

Ayat ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT adalah pemilik mutlak dari segala yang ada di langit dan bumi. Oleh karena itu, klaim apapun yang menyatakan bahwa manusia, apalagi satu kelompok tertentu, memiliki kekuasaan atas langit dan bumi tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar.

  1. Keutamaan Berdasarkan Takwa, Bukan Keturunan

Dalam Islam, keutamaan seseorang tidak dilihat dari garis keturunan, melainkan dari kualitas amal dan ketakwaan kepada Allah SWT. Firman Allah:

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.”
(QS. Al-Hujurat : 13)

Hadis Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan bahwa keutamaan seseorang di hadapan Allah tidak tergantung pada nasabnya, tetapi pada ketakwaan dan perbuatannya:

“Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada kelebihan bagi orang non-Arab atas orang Arab, serta tidak ada kelebihan bagi yang berkulit merah atas yang berkulit hitam, dan tidak ada kelebihan bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali karena takwa.”
(HR.Ahmad)

  1. Pentingnya Amal Saleh dan Takwa

Ulil Amri dan para ulama dalam tradisi Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah mengajarkan bahwa keturunan tidak memberikan keutamaan apapun di hadapan Allah. Imam Nawawi, dalam Syarh Sahih Muslim dan Al-Majmu’ , menekankan bahwa tidak ada kelebihan seseorang atas yang lain selain takwa. Imam Nawawi juga mengkritik konsep kebanggaan akan nasab atau keturunan, karena ini bertentangan dengan ajaran bahwa segala warisan seharusnya ditujukan kepada amalan dan ketaatan kepada Allah.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin juga memberikan penekanan yang sama, yakni bahwa mengandalkan keturunan untuk memperoleh keutamaan adalah bentuk dari kesombongan, yang berbahaya bagi akidah dan kehidupan spiritual seseorang.

  1. Penolakan terhadap Klaim Supremasi Keturunan

Tentu saja, dalam sejarah Islam, tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim dirinya sebagai “raja-raja di bumi dan di langit” karena mereka berasal dari keturunan tertentu. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa seluruh umat Islam harus memandang sesamanya dengan adil, tidak memandang status sosial atau keturunan.

Imam al-Nawawi dalam Al-Majmu’ dan dalam Al-Raudah memberikan penjelasan bahwa keturunan yang paling mulia di dunia adalah keturunan yang saleh dan bertakwa, namun ini tidak berarti memberikan kekuasaan atau otoritas lebih dari yang lain, karena yang lebih utama dalam Islam adalah amal baik dan kesalehan individu.

  1. Imam Syafi’i dan Kebanggaan Keturunan

Imam Syafi’i, salah satu ulama besar dalam mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, juga menegaskan bahwa keturunan tidak menjadikan seseorang lebih tinggi dari yang lainnya. Dalam salah satu riwayatnya, beliau berkata:

“Kebanggaan yang benar adalah kebanggaan yang datang dari ilmu, amal, dan takwa, bukan karena keturunan.”

Imam Syafi’i sendiri berasal dari keturunan yang mulia, namun ia lebih menekankan pentingnya amal dan kesalehan sebagai sumber warisan yang sah.

Kesimpulan

Klaim bahwa “Kami adalah Raja-raja di bumi dan di langit” oleh kelompok manapun, termasuk yang dikaitkan dengan Ba’alawi, adalah klaim yang bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam. Kekuasaan atas alam semesta adalah milik Allah semata, dan keutamaan manusia di hadapan Allah bergantung pada takwa dan amal saleh, bukan keturunan. Oleh karena itu, klaim yang mengedepankan kebanggaan atas nasab atau keturunan sebagai alasan untuk menguasai bumi dan langit adalah pemahaman yang menyimpang dari ajaran Islam yang sejati.

Pandangan ini didukung oleh para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jamaah, termasuk Imam Nawawi, Imam Al-Ghazali, dan Imam Syafi’i, yang semuanya mengajarkan bahwa kesalehan dan ketakwaan adalah yang paling penting dalam menilai derajat seseorang di sisi Allah. Klaim seperti itu harus ditanggapi dengan tegas, demi menjaga kemurnian ajaran Islam dan mencegah penyelewengan teologis yang dapat merusak persatuan umat.

 




One thought on “”Sanggahan Kitab “Ghoyatul Qosdi wal Murad “ Terhadap Klaim “Kami adalah Raja-raja di Bumi dan di Langit”

  1. Hamba Allah

    Dalam bahasa Arab atau dalam ilmu tasawuf, kalam majazi itu ada, dan itu artinya kiasan, bukan makna secara harfiah. Tapi, perlu diingat, kalau kita ngomongin soal ‘penguasa di bumi dan langit,’ itu bukan hal yang bisa dianggap sembarangan , Apalagi dalam konteks keagamaan. Kita lihat dalam al-Qur’an dan Hadits, kita paham betul bahwa segala sesuatu yang ada di bumi dan langit itu sepenuhnya milik Allah, dan Dialah yang berkuasa atas semuanya. Apalagi dalam banyak ayat, Allah tegaskan bahwa Dia adalah penguasa langit dan bumi, bukan manusia atau keturunan siapa pun.

    Misalnya, dalam surat Al-Baqarah (2:255), yang dikenal dengan Ayat Kursi, Allah berfirman:
    “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.”

    Lalu, dalam surah An-Nur (24:35), Allah juga menegaskan bahwa Dia adalah cahaya langit dan bumi:
    “Allah adalah cahaya langit dan bumi.”

    Jadi, jika ada klaim kayak ‘kami adalah raja-raja di bumi dan langit,’ itu tidak bisa dianggap sebagai kalam majazi yang diterima dalam konteks keagamaan tanpa otoritas yang jelas. Kalimat itu berisiko malah menempatkan manusia pada posisi yang seolah-olah sebanding atau bahkan lebih tinggi dari kekuasaan Allah, yang jelas tidak sesuai dengan prinsip tauhid kita. Dalam Islam, kita diajarkan untuk selalu merendah dan memahami bahwa segala sesuatu itu adalah milik Allah, dan tidak ada satu pun manusia yang bisa mengklaim kekuasaan mutlak atas ciptaan-Nya.

    Reply

Tinggalkan Balasan ke Hamba Allah Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *