Sanggahan terhadap Tulisan Ustadz Muhammad Mahrus Ali: “Sumbangsih Yaman bagi Islam dan Indonesia” di NU GARIS LURUS – Klaim Klan Ba’alwi yang Tidak Berdasar

*Sanggahan terhadap Tulisan Ustadz Muhammad Mahrus Ali: “Sumbangsih Yaman bagi Islam dan Indonesia” di NU GARIS LURUS – Klaim Klan Ba’alwi yang Tidak Berdasar*

Dikutip dari website www.nugaruslurus.co dalam tulisan berjudul “Sumbangsih Yaman bagi Islam dan Indonesia” yang ditulis oleh Ustadz Muhammad Mahrus Ali, terdapat klaim-klaim terkait kontribusi Yaman dan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui klan Ba’alwi. Meskipun Yaman memang memiliki kontribusi besar dalam sejarah Islam, penting untuk mencermati bahwa tidak semua klaim yang beredar tentang asal-usul keturunan dan kontribusi tersebut didasarkan pada fakta ilmiah, historis, maupun filologis yang valid. Artikel ini bertujuan untuk memberikan sanggahan ilmiah, rasional, dan proporsional terhadap klaim tersebut.

 

  1. Menghormati Yaman, Bukan Berarti Menerima Klaim Palsu Ba’alwi

Kami sepakat bahwa Yaman adalah negeri yang penuh berkah dan telah memberikan kontribusi besar dalam sejarah Islam. Namun, penghormatan terhadap Yaman tidak serta-merta berarti kita harus menerima klaim palsu dari klan Ba’alwi yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Kritikan terhadap klaim ini bukanlah bentuk kebencian terhadap Yaman, sebagaimana mengkritik klaim keturunan orang-orang dari Makkah atau Madinah tidak berarti kita membenci kedua kota suci tersebut. Oleh karena itu, mencoba mengaitkan kritik terhadap klaim Ba’alwi dengan kebencian terhadap Yaman adalah bentuk logical fallacy jenis straw man argument.

 

  1. Keutamaan Kaum Yaman Tidak Membuktikan Nasab Ba’alwi

Terdapat ayat-ayat dan hadis yang memuji kaum Yaman, namun penting untuk dicatat bahwa pujian ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa klan Ba’alwi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh, Abu Musa al-Asy’ari dan Imam Abu Hasan al-Asy’ari memang berasal dari Yaman, namun mereka bukan bagian dari klan Ba’alwi. Pujian dalam hadis mengenai kaum Yaman ditujukan kepada sahabat-sahabat asal Yaman yang langsung berinteraksi dengan Nabi, seperti Abu Musa al-Asy’ari dan kaum Anshar, bukan pendatang dari Hadhramaut yang baru muncul ratusan tahun setelah masa Nabi Muhammad SAW.

 

Sebagian tokoh Ba’alwi mengutip hadis Nabi yang memuji penduduk Yaman dan mengklaim bahwa pujian itu ditujukan kepada mereka. Padahal, klaim tersebut tidak hanya keliru, tetapi juga menyesatkan. Klan Ba’alwi sebagai kelompok terpisah belum eksis pada masa Nabi Muhammad SAW. Hadis-hadis tersebut memuji orang-orang yang telah berjuang bersama Nabi dan yang memiliki kontribusi langsung dalam perjuangan Islam, bukan mereka yang muncul jauh setelah era tersebut. Mengaitkan klaim keturunan dengan hadis-hadis tersebut adalah bentuk pemelintiran makna hadis yang tidak hanya menyesatkan secara ilmiah, tetapi juga secara spiritual.

 

Sebagai analogi, kita tidak bisa mengklaim bahwa semua yang mengaku sebagai keturunan Quraisy memiliki kedudukan yang sama hanya karena ada hadis yang memuji orang-orang Quraisy. Sebagaimana kita tidak bisa mengatakan, “Orang Quraisy mulia, maka semua yang mengaku Quraisy pasti mulia,” klaim seperti ini tidak ilmiah dan tidak memiliki dasar yang kuat, serta tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam.

 

  1. Kontribusi Ulama Yaman Tidak Sama dengan Keabsahan Nasab Ba’alwi

Ya, memang banyak ulama besar yang lahir dari Yaman, namun kita tidak bisa menyamakan kontribusi mereka dengan klaim nasab dari klan Ba’alwi. Meskipun para ulama Hadramaut memiliki kontribusi besar dalam dunia Islam, bukan berarti setiap individu yang berasal dari Hadramaut atau Yaman adalah keturunan Nabi. Bahkan, ulama-ulama besar seperti Imam al-Syaukani dan Imam al-Shan’ani, yang berasal dari Yaman, tidak memiliki hubungan nasab dengan Ba’alwi dan bahkan kritis terhadap pengaruh tasawuf berlebihan ala Ba’alwi. Mengaitkan kontribusi ilmiah mereka dengan klaim keturunan Nabi adalah kesalahan yang tidak dapat dibenarkan.

 

  1. Klaim Karya-Karya Ba’alwi di Pesantren Tidak Membuktikan Keabsahan Nasab

Memang benar bahwa di banyak pesantren Indonesia dipelajari karya-karya yang selama ini dinisbatkan kepada tokoh-tokoh Ba’alwi. Namun, hal ini tidak serta merta membuktikan kebenaran klaim nasab mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Bahkan dalam beberapa kasus, klaim kepengarangan itu sendiri patut dipertanyakan, seperti dalam kasus kitab Sullam al-Taufiq.

 

Kitab Sullam al-Taufiq selama ini dikenal sebagai karya Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir al-Hadhrami, yang disebut-sebut berasal dari Klan Ba’alwi. Namun, penelitian terhadap manuskrip-manuskrip kuno menunjukkan bahwa kitab ini kemungkinan besar bukan ditulis oleh beliau, apalagi dikarang oleh Klan Ba’alwi.

 

Penemuan Manuskrip 1021 H (1612 M) di Madura menjadi bukti penting yang menunjukkan bahwa kitab ini sudah ada lebih dari dua abad sebelum klaim Ba’alwi menyatakan kitab ini selesai ditulis tahun 1241 H (1826 M). Ini menjadi indikasi kuat bahwa kitab tersebut adalah karya ulama Nusantara, bukan karya Ba’alwi.

 

Selain itu, lima manuskrip lain yang ditemukan di Perpustakaan Al-Ahqaf Yaman menunjukkan ketidakkonsistenan dalam isi dan penyalinan, bahkan tidak ditemukan satu pun manuskrip asli tulisan tangan pengarang yang bisa diverifikasi keotentikannya. Hal ini menguatkan dugaan adanya klaim sepihak terhadap kepemilikan karya ilmiah tersebut.

 

Beberapa dugaan akademik bahkan menyatakan bahwa sosok Abdullah bin Husain bin Thahir telah “di-Ba’alwi-kan,” atau bahkan merupakan tokoh fiktif yang diciptakan untuk mendukung citra intelektual klan Ba’alwi. Ini mirip dengan fenomena klaim terhadap Ratib al-Haddad, yang sejatinya karya Syekh Ahmad ar-Rifa’i tetapi diklaim sebagai karya Habib Abdullah al-Haddad.

 

Kesimpulannya, tidak hanya klaim nasab mereka yang bermasalah, tetapi juga klaim terhadap karya-karya keilmuan. Maka dari itu, keberadaan karya seperti Sullam al-Taufiq di pesantren bukan hanya tidak relevan dalam membuktikan keabsahan nasab, tetapi juga patut dicermati ulang secara kritis dari sisi historiografi dan filologi.

 

Umat Islam perlu waspada agar tidak terjebak dalam romantisme keilmuan yang didasarkan pada narasi-narasi klaim tak berdasar, yang ternyata dalam banyak hal justru mengaburkan sejarah dan kebenaran.

  1. Kontribusi Tokoh Ba’alwi di Indonesia Tidak Mengubah Keabsahan Nasab Mereka

Kontribusi tokoh-tokoh Ba’alwi di Indonesia, seperti Habib Husein Mutahar, Habib Hamid al-Qadri, dan Habib Asad Shihab, memang patut dihargai dalam bidang sosial, budaya, dan keagamaan. Namun, sumbangsih mereka tidak menjadikan klaim mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW sah. Banyak pahlawan nasional atau ulama besar lainnya yang tidak berasal dari klan Ba’alwi, dan kontribusinya jauh lebih besar dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keberagaman Indonesia.

 

Fakta sejarah menunjukkan bahwa klaim peran Ba’alwi dalam kemerdekaan Indonesia perlu diklarifikasi:

  1. Penentu Tanggal Kemerdekaan adalah KH Hasyim Asy‘ari, bukan Habib Ali Habsyi.
  2. R. Baswedan, anggota BPUPKI, tidak memiliki peran signifikan dalam pengambilan keputusan penting seperti Panitia Sembilan atau Panitia Penghapusan Hukum.
  3. Habib Husein Muthohar, meskipun pencipta lagu Syukur dan Hari Merdeka, belum tentu berasal dari klan Ba’alwi, dan penyelidikan lebih lanjut masih diperlukan.
  4. Bendera Merah Putih bukan gagasan Habib Idrus Al Jufri, melainkan kesepakatan para pemuda dalam Kongres Pemuda Indonesia II.
  5. Penggagas Lambang Negara “Garuda Pancasila” adalah Sultan Hamid II, bukan seorang Habib. Kontribusinya dalam perancangan lambang tersebut diakui oleh pakar sejarah seperti AM Hendropriyono.
  6. Habib Ahmad Asegaf, meskipun dikenal sebagai sastrawan, tidak memiliki pengaruh besar dalam sejarah kemerdekaan.
  7. Proklamasi Kemerdekaan dibacakan di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, di depan rumah Soekarno, bukan di rumah Syaikh Faraj Martak, meskipun rumah Syaikh Faraj dekat dengan lokasi tersebut.

Penting untuk diingat bahwa para tokoh Ba’alwi ini bukanlah bagian utama dalam perjuangan kemerdekaan, dan justru banyak di antaranya yang memiliki keterkaitan dengan Belanda, yang membawa mereka ke Indonesia untuk bekerja bagi kepentingan kolonial. Mereka yang sebelumnya merupakan antek Belanda kini mencoba mengklaim sebagai pahlawan kemerdekaan. Fakta sejarah yang lebih objektif harus dikemukakan agar tidak ada kebohongan atau pengaburan fakta.

 

  1. Penelitian Genetika dan Ilmu Sejarah Membantah Klaim Nasab Ba’alwi

Penelitian mutakhir dalam bidang genetika dan sejarah telah menunjukkan bahwa klaim Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tidaklah berdasar. Para ahli seperti Dr. Michael Hammer (University of Arizona), Dr. Karl Skorecki (Technion Israel Institute of Technology), dan Dr. Sugeng Sugiarto (genetika Indonesia) telah membuktikan bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW berasal dari haplogroup J1, sedangkan Ba’alwi terbukti memiliki haplogroup G, yang tidak terkait sama sekali dengan haplogroup J1. Ini membuktikan bahwa secara genetik, klan Ba’alwi bukanlah keturunan dari Nabi Muhammad SAW.

 

  1. Kritik Terhadap Nasab Ba’alwi oleh KH Imaduddin Utsman al Bantani

KH Imaduddin Utsman al Bantani melalui penelitiannya telah membongkar kejanggalan dalam klaim nasab Ba’alwi. Tidak ada catatan sejarah yang sah mengenai Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir, yang merupakan leluhur yang diklaim oleh klan Ba’alwi. Semua sumber yang ada berasal dari abad ke-9 Hijriyah dan tidak ada satupun yang berasal dari abad ke-4 hingga ke-5 H. Bahkan, nama “Ba’alawi” sendiri baru muncul ratusan tahun setelah wafatnya Imam Ali Zainal Abidin, menunjukkan bahwa klaim keturunan tersebut tidak berdasar.

 

  1. KH Maimoen Zubair Tidak Pernah Mengabsahkan Nasab Ba’alwi

Pernyataan KH Maimoen Zubair yang mengakui Imam al-Haddad sebagai mujaddid tidak berarti mengakui klaim nasab Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Menghormati ilmu seseorang tidak sama dengan mengakui klaim nasab yang tidak terverifikasi.

 

Klaim klan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW justru gugur berdasarkan pernyataan KH Maimoen Zubair yang menegaskan bahwa keturunan Nabi SAW tidak mungkin murtad. Namun, terdapat bukti nyata bahwa beberapa individu dari klan Ba’alwi, seperti Thomas Riwu As-Segaf, telah murtad dan menjadi pendeta. Thomas, yang memiliki marga As-Segaf, salah satu marga khas klan Ba’alwi, bertentangan dengan kaidah KH Maimoen Zubair, yang menyatakan keturunan Nabi tidak mungkin murtad.

*Dosa Besar vs Murtad*

KH Maimoen Zubair menjelaskan bahwa keturunan Nabi mungkin berbuat dosa besar, tetapi tidak akan murtad. Fakta menunjukkan bahwa beberapa individu dari klan Ba’alwi terbukti murtad, yang membuktikan klaim mereka sebagai keturunan Nabi tidak sah.

 

  1. Walisongo Bukan Keturunan Ba’alwi

Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Oman Fathurahman, Prof. Dr. Agus Sunyoto (alm), dan Tim LTN PBNU, serta arsip-arsip VOC, menunjukkan bahwa Walisongo adalah ulama-ulama pribumi Nusantara atau Tionghoa Muslim, bukan keturunan Ba’alwi. Ini semakin membuktikan bahwa klaim keturunan Ba’alwi terhadap tokoh-tokoh Islam Indonesia adalah tidak berdasar.

 

  1. Islam Tidak Mengenal Kasta atau Kultus Darah

Islam menekankan bahwa yang membedakan manusia satu sama lain adalah takwa, bukan garis keturunan atau darah. Menganggap Ba’alwi lebih tinggi hanya karena klaim keturunan adalah bentuk keturunanisme yang bertentangan dengan ajaran Islam. Islam tidak membenarkan budaya kasta atau kultus darah, apalagi jika garis darah yang diklaim ternyata palsu.

 

*Penutup*

Kritik terhadap klaim Ba’alwi bukan berarti membenci Yaman atau Islam. Kontribusi ilmiah, sosial, dan budaya dari individu-individu Ba’alwi harus dihargai, namun klaim keturunan Nabi Muhammad SAW yang tidak didukung oleh bukti ilmiah, sejarah, maupun filologi harus ditanggapi dengan rasionalitas dan akal sehat. Sudah saatnya umat Islam melepaskan diri dari doktrin kultus garis keturunan dan kembali ke ajaran Islam yang hakiki: iman, ilmu, dan akhlak.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *