Penulis menyaksikan debat antara Sayyid Qori dan Gus Zaini tentang nasab Ba’alwi. Seru dan menarik. Seperti yang penulis kira, debat itu dimenangkan Sayyid Qori dengan telak. Gus Zaini tidak mampu menjawab pertanyaan Sayyid Qori: apakah ada kitab sebelum Al-Burqoh yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa? pertanyaan itu tidak akan bisa dijawab, karena memang Ubaidillah bukan anak dari Ahmad bin Isa, dan tidak ada kitab yang menyebutnya demikian sebelum abad kesembilan Hijriah.
Sebelumnya, Gus Rumail bahkan bersepakat dengan penulis, bahwa tidak ada satu kitab-pun yang menyebut Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman, seperti juga ia bersepakat sebelum abad sembilan Hijriah, tidak ada gelar “Al-Muhajir” untuk Ahmad bin Isa.
Setelah Gus Rumail dan Gus Zaini, siapa lagi yang akan mengorbankan diri demi membela nasab palsu Ba’alwi. Siapapun yang berusaha bermain-main dengan retorika untuk menutupi keterputusan nasab Ba’alwi, akan terjerembab ke dalam dua kondisi pasti: pertama, mengakui dalam hati bahwa memang tidak ada sumber sezaman yang bisa menjadi dalil bahwa nasab Ba’alwi sahih; yang kedua, terpaksa menutupi kekalahan dengan sengaja berdusta, atau beretorika untuk menghindar dari “mahallunniza” (inti perdebatan).
Seperti Gus Rumail yang mengelak pertanyaan tahun berapa manuskrip palsu Syarif Abul Jadid ditulis, Gus Zaini pun mengelak ketika ditanya kitab sebelum abad sembilan yang menyebutkan Ubaidillah adalah benar anaknya Ahmad.
Sekilas, nampak hujjah Sayyid Qori itu dapat diputar-putar oleh Gus Zaini dengan diksi signifikansi kitab sezaman dan siapa ulama yang mensyaratkannya, tetapi sebenarnya, banyaknya kalimat Gus Zaini itu hanya akar-akar dipinggir sungai deras dalam keadaan tiada rotan, lalu dengan sembarangan diraih untuk menyelamatkan diri. Persis seperti debat di Banten, ia ibarat kumpulan anak bermain yang ramai suara tetapi sepi dari makna. Inti perdebatan: mana kitab nasab abad 5-9 yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad, tidak ada yang mampu menjawab. Sementara, kitab nasab abad ke enam dengan tegas menyebut Ahmad bin Isa tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah.
Signifikansi kitab sezaman atau yang mendekatinya adalah mutlak diperlukan, tidak perlu menanyakan siapa yang mensyaratkan, karena semua ulama sejarah dan nasab mensyaratkannya. Kitab-kitab yang dikutip Gus Zaini itu mensyaratkan kitab sezaman, tentu jika dibaca dan difahami dengan bacaan dan pemahaman yang benar.
Terlepas dari semua itu, perdebatan bukan dengan personal Ba’alwi tidak terlalu signifikan, apalagi seperti Gus rumail yang setelah debat kemudian berdiscleamer bahwa ia berdebat itu tidak mewakili RA. Oleh karena itu, penulis dalam kesempatan ini kembali mengajak organisasi RA untuk berdebat dengan penulis tentang duabelas pertanyaan yang telah penulis layangkan. Tidak seperti di Banten yang banyak pembicara, debat ini hanya dengan penulis saja. Siapkan seorang wakil RA untuk berdebat dengan bermartabat dengan penulis. Satu lawan satu.
Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani
sumber tulisan: https://rminubanten.or.id/setelah-gus-zaini-dan-gus-rumail-tidak-mampu-menjawab-siapa-lagi-korban-tantangan-terakhir-untuk-rabitah-alwiyyah/