Sunnatullah, Sains dan Terbongkarnya Pemalsuan Nasab

Sunnatullah, Sains dan Terbongkarnya Pemalsuan Nasab

Catatan : Ali Mashar (Sekretaris PP MDS Rijalul Ansor-Pengamat Sosial Keagamaan).

Manusia tidak menciptakan hukum fisika. Manusia tidak menciptakan aksioma matematika. Manusia tidak menciptakan susunan kimiawi partikel benda-benda. Manusia tidak menciptakan scale dan nada-nada. Allah yang menciptakan itu semua. Manusia hanya menemukan, lalu menandai, menamakannya dan memanfatkannya.

Newton tidak menciptakan gravitasi. Tuhan yang membuatnya. Ia hanya menemukannya, menghitungnya, dan mempelajari sifat serta gejalanya.

Tuhan yang menciptakan cahaya serta semua spektrum warna yang terkandung di dalamnya. Newton menemukan refraksi cahaya, di mana cahaya putih biasa itu sesunnguhnya—dalam design yang dibuat oleh tuhan—menyimpan berbagai macam spektrum warna.

Bukan Dalton, Rutheford, maupun Chadwick yang menciptakan atom dengan susunan sub-atomnya berupa proton, neutron dan elektron. Tuhan yang menciptakannya. Para ilmuwan itu hanya menemukan dan menandainya serta mempelajari sifat-sifatnya.

Tuhan yang menakdirkan dan menciptakan logam mulia emas dengan jumlah proton 79, elektron 79, dan neutron 118. Manusia menemukannya lalu menandainya dengan simbol Au dalam urutan atom ke-79. Tuhan juga yang menakdirkan emas sebagai konduktor terbaik saat ini.

Kalau ada orang melebur kuningan dan logam-logam lain serta mencampurkan zat kimia tertentu dan menghasilkan bongkahan yang warna dan penampakannya mirip dengan emas, dia tetap bukan emas. Karena benda fabrikasi tersebut tidak memiliki ciri-ciri emas seperti massa atom 196,966569, titik lebur 1064,2 derajat Celcius, titik didih 2856 derajat Celcius, dan tentunya jumlah proton 79, elektron 79, dan neutron 118.

Karakteristik dan sifat-sifat benda di alam semesta itu diciptakan dengan sengaja oleh Tuhan. Dengan hikmah dan manfaatnya masing-masing tentu saja.

Golden ratio 1,618 (Phi) yang memperindah segala sesuatu, mulai dari design benda fisik sampai dengan harmoni musik, itu juga bukan ciptaan manusia. Tuhan yang menciptakannya. Manusia hanya menemukannya, menandainya, dan menamakannya.

Beethoven, Mozart, maupun Paul Gilbert tidak menciptakan nada. Ketika anda memetik senar gitar sambil melakukan “mute” dengan jari anda pada fret ke-12, maka akan tercipta suara harmonik alami atau Natural Hamonic. Itu juga bukan ciptaan manusia. Tuhan yang menakdirkan demikian. Manusia hanya menemukan.

Itu semua adalah bagian dari sunnatullah, atau yang sering disebut dengan hukum alam.

Tuhan yang menciptakan, manusia hanya digiring oleh tuhan untuk menemukan. Penemu atau inventor bisa siapa saja. Apapun agamanya. Meskipun barangkali si penemu tersebut tidak mengakui keberadaan tuhan. Tetap saja, si penemu itu bukanlah pencipta, dia hanya penemu dan inventor.

Agama samawi, terutama Islam, tidak menentang sains. Islam hanya memberikan rambu-rambu etika. Misalnya melarang orang menggunakan kepintaran di bidang DNA dan ilmu genetika untuk menciptakan manusia tiruan tanpa melalui proses pembuahan generatif.

(Kan gak lucu, punya temen sekolah, ternyata dia dari hasil perbanyakan vegetatif, bukan generatif. Emangnya grafting batang anggur atau pohon durian?)

Adapun mengenai obyektifitas dan validitas sains, Islam tidak menentang ataupun menafikannya. Sesuatu yang memang terbukti dan teruji secara ilmiah-saintifik, harus diakui kebenarannya.

Tradisi keilmuan Islam juga tidak meminggirkan peran akal. Tanpa peran akal yang cerdas, tidak akan ada fiqih hasil ijtihad para ulama. Ushul fiqih yang menjadi landasan penting jurisprudensi Islam juga dibangun di atas logika yang sangat manthiqiy.

Bahkan para ulama sudah menganjurkan kaum Muslimin untuk memanffatkan ilmu pengetahuan dari manapun ilmu itu berasal. Dari negeri China sekalipun.

Nah, apakah penemuan saintifik di bidang ilmu genetika dan informasi DNA bisa diingkari validitas maupun manfaatnya?

Pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat sudah menggunakan tes DNA untuk memutuskan apakah seorang anak adalah kerutunan bilogis dari “ayahnya” atau bukan.

Fiqih modern juga sudah mensahkan pembuktian nasab anak kepada ayahnya menggunakn tes DNA karena kecocokan DNA anak dan ayahnya adalah 99,99 persen.

Kalau seorang qa’if di masa lalu sebelum ditemukannya kaidah saintifik tentang ilmu genetika saja bisa diterima keputusannya menentukan ketersambungan nasab seseorang dengan ayahnya, apalagi kesaksian ahli ilmu genetika menggunakan tes DNA.

Sebelum ditemukannya imu genetika dan tes DNA yang saintifik, seorang qa’if hanya menggunakan keahlian berupa bakat melihat adanya kemiripan ciri-ciri tertentu pada seseorang dengan ayahnya. Jasa seorang qa’if digunakan ketika terjadi perselisihan nasab namun tidak ditemukan bukti pendukung maupun bukti yang menafikan.

Keputusan seorang qa’if yang tidak didukung bukti eksternal lainnya saja bisa diterima dalam fiqih, apalagi bukti tes DNA yang sangat ilmiah.

Abdul Hakim Siregar, menuliskan hasil penelitian fiqih yang berjudul “Korelasi Qiyafah dan Genetika dalam Menentukan Nasab Perspektif Imam Syafi’i. Tulisan itu dimuat dalam Journal of Biology Education, Science & Technology, Vol 2, No.1 (2019).

Dalam kesimpulannya, Siregar menuliskan:
“Dilihat dari kesamaan fungsi dan tujuan ini, maka qiyafah memiliki relevansi dengan ilmu genetika dalam menetapkan nasab seseorang. Dan ketetapan ilmu modern yang berdasarkan hasil tes DNA sama kekuatan hukumnya dengan ketetapan qiyafah perspektif Imam Syafi’i.”

Bagaimana dengan penentuan nasab seseorang dengan klan atau suku tertentu? Arab misalnya?

Sudah ribuan sampel diambil dari orang-orang yang tercatat sebagai keturunan Nabi Ibrahim, baik melalui Nabi Ismail (Arab) maupun Nabi Ishaq. Sampel bangsa Arab Bani Hasyim juga sudah banyak diambil.

Keseluruhan Bani Ibrahim memiliki ciri kromosom Y-DNA tertentu yang kemudian diberi label J1 dalam sebuah Haplogorup. DNA Y adalah kromosom yang diturunkan dari fihak ayah atau paternal.
Adapun Arab Quraish Bani Ismail bin Ibrahim seragam memiliki ciri kromosom Y-DNA dengan label atau kode J1-L859.

Ciri-ciri yang terdapat dalam kromosom Y-DNA keturunan Ismail bin Ibrahim, maupun suku Quraish itu juga bukan buatan manusia. Tuhan yang membuat design dan ciri-ciriya. Manusia hanya menemukannya dan menandainya.

Lalu kalau ada sekelompok orang tertentu mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyidina Ali + Sayyidah Fathimah, tetapi Y-DNA dalam tubuh mereka itu bukan group J1, apakah klaim dan pengakuan mereka bisa dibenarkan?

Menurut akal sehat dan waras, tentu saja tidak.

Kanjeng nabi Muhamad SAW itu dari suku Quraish, keturunan dari Bani Ismail bin Ibrahim, yang semua sampel Y-DNA kromosomnya berada dalam Haplogorup J1. Kalau ada orang punya Y-DNA selain J1 Haplogroupnya, ya berarti bukan Arab, bukan Bani Ismail bin Ibrahim, bukan Quraish.
Kalau bukan Arab dan bukan Quraish, bagaimana mungkin keturunan Nabi Muhammad SAW?

Catatan Sor Sawo, Ali Mashar

Saat ini, sekelompok orang yang mengaku keturunan Nabi Muhamad SAW dari Klan Ba’alawy Yaman, baik yang berdomisili di Indonesia maupun di Yaman, tidak terbukti memiliki Y-DNA dengan Haplogorup J1.

Beberapa sampel dari Klan Ba’alawy ini bahkan menunjukkan bahwa mereka membawa kromosom Y-DNA Haplogroup G; Haplogroup G adalah keturunan laki-laki dari Kaukasus. Artinya, sama sekali bukan Arab, bukan Quraish, bukan Bani Ismail bin Ibrahim.

Haplotype Klan Ba’alawy yang memiiki kode PF296, justru menunjukkan mereka berasal dari keluarga Yahudi Akhenazi; Yahudi Eropa yang bukan keturunan Nabi Ibrahim AS.

Orang yang tidak memiliki kromosom Y-DNA Haplogroup J1, tentu tidak mungkin memiliki Y-DNA Haplotype Sayyidina Husein (J1-FGC30416) bin Ali (J-1 FGC10500) sebagai orang yang menurunkan dzuriyah Rosulullah SAW.

Ilmu genetika dan pemahaman mengenai DNA, selain bermanfaat untuk melacak nasab, juga sangat bermanfaat dalam berbagai macam bidang seperti pertanian, peternakan, industri, farmasi dan kedokteran.

Orang yang tidak mengakui manfaat dan kebenaran ilmu genetika yang sudah teruji secara ilmiah itu seperti orang yang “ngengkel” tidak mau mengakui penjelasan ilmuan di bidang kelistrikan. Dia tidak percaya pada penjelasan para ilmuan mengenai materi, molekul, atom, nukleus, proton, neutron, dan elektron dalam teori dasar listrik. Padahal dia setiap hari menekan saklar untuk menyalakan lampu listrik.

Ada apa dengan akal orang-orang seperti ini?

Catatan Sor Sawo, Ali Mashar

sumber: https://menaramadinah.com/83740/sunnatullah-sains-dan-terbongkarnya-pemalsuan-nasab.html




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *