Syekh Junaid al-Batawi, Ulama (Waliyullah) Indonesia (Betawi) yang Imam Masjidil Haram,(W. 1840 M), SYAIKHUL MASYAYIKH YANG DILUPAKAN SEJARAH

Syekh Junaid al-Batawi adalah orang Indonesia pertama yang jadi imam besar Masjidil Haram.


Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia turut berkontribusi besar dalam dinamika keilmuan Islam. Hal itu tampak, antara lain, pada fakta bahwa tidak sedikit ulama Tanah Air yang menjadi pemuka agama di Tanah Suci. Bahkan, beberapa di antara mereka menjabat sebagai imam besar Masjidil Haram.

Salah seorang di antaranya adalah Syekh Junaid al-Batawi. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi imam besar Masjid al-Haram. Selama puncak kariernya, ulama yang lahir di Pekojan, Jakarta, itu digelari sebagai “gurunya guru” (Syaikhul masyakih) para mubaligh mazhab Syafii dari pelbagai penjuru dunia, khususnya Nusantara.

Oleh karena itu, tokoh tersebut juga dipandang sebagai poros silsilah ulama Betawi. Malahan, nama betawi menjadi masyhur di Tanah Suci berkat reputasi besarnya.

Buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011) menerangkan, tahun kelahiran Syekh Junaid al-Batawi belum dapat diketahui secara pasti. Demikian pula dengan tanggal wafatnya. Alwi Shahab, jurnalis senior yang banyak menulis tentang sejarah Jakarta, menyebutkan bahwa 1840 merupakan tahun meninggalnya Syekh Junaid al-Batawi.

Artinya, usianya mencapai lebih dari satu abad. Pendapat yang berbeda disampaikan budayawan Ridwan Saidi. Mantan ketua umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu mengatakan, pada periode 1894–1895 syekh tersebut telah berusia hampir 90 tahun. Fakta itu merujuk pada catatan orientalis Snouck Hurgronje yang pernah tinggal di Makkah pada 1880-an.

Lebih lanjut, Hurgronje mengaku sempat berkirim surat kepada Syekh Junaid al-Batawi karena ingin bertemu. Akan tetapi, yang menerima surat itu menolaknya. Belakangan, penasihat politik pemerintah kolonial Belanda itu merangkum kisahnya dalam buku Mecca in the Latter Part of 19th Century. Disimpulkannya bahwa Syekh Junaid tinggal di Makkah selama 60 tahun sejak 1834.

Ulama berdarah Betawi itu menikah dengan Siti Rohmah. Mereka dikaruniai empat orang anak. Yang laki-laki bernama Asad dan Said. Yang perempuan ada dua orang. Salah seorang di antaranya kelak menikah dengan murid Syekh Junaid, yakni Syekh Mujitaba al-Batawi. Sementara itu, putrinya yang lain dijodohkan dengan Abdurrahman al-Mishri, yang kendati bergelar “Mesir”, sesungguhnya orang Indonesia keturunan Arab.

Selama bermukim di Makkah, Syekh Junaid al-Batawi berhasil membangun reputasi yang baik di tengah-tengah masyarakat, utamanya kalangan alim Masjidil Haram. Menurut Alwi Shahab, tokoh ini mulai hijrah dari tanah kelahirannya ke Makkah kala usianya 25 tahun. Dia berangkat ke Tanah Suci dengan didampingi beberapa anggota keluarga. Sejak saat itu, dia terus menempa diri dengan belajar ilmu-ilmu agama.

Syekh Junaid al-Batawi mulai hijrah dari tanah kelahirannya ke Makkah kala usianya 25 tahun. Dia berangkat ke Tanah Suci dengan didampingi beberapa anggota keluarga.

Di puncak kariernya, ulama tersebut memang sesuai dengan julukan syaikhul masyakih. Pasalnya, cukup banyak di antara murid-muridnya yang kelak menjadi tokoh besar. Sebut saja, Syekh Nawawi al-Bantani (wafat 1897) dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (wafat 1916).

Masing-masing kelak mengikuti jejak gurunya, yakni pernah menjadi pengajar di Masjidil Haram. Malahan, mereka akhirnya menurunkan murid-murid yang kemudian dikenang sejarah sebagai ulama-ulama yang kharismatik.

Adapun murid-muridnya yang berasal dari tanah kelahiran yang sama, Betawi, juga tidak sedikit. Sejarah mengenangnya sebagai alim ulama yang disegani. Di antara mereka adalah dua orang yang cukup masyhur, yakni Syekh Mujitaba bin Ahmad al-Betawi dari Kampung Mester dan Guru Mirshod.

Syekh Mujitaba akhirnya menjadi menantu Syekh Junaid, sedangkan Guru Mirshod kelak menurunkan Guru Marzuki. Dai yang mengajar di Cipinang Muara, Jakarta, itu lantas menghasilkan ulama-ulama terkemuka, semisal KH Abdullah Syafii (pendiri Perguruan asy-Syafiiyah) dan KH Thohir Rohili (pendiri Perguruan Thohiriya Bukit Duri Tanjakan).

Informasi dari Snouck Hurgronje menyebutkan, Syekh Junaid al-Batawi ketika berusia antara 35 dan 40 tahun memboyong istri dan keempat anaknya ke Makkah. Itulah awal mulanya figur penting ini berkiprah di Tanah Suci.

Ketika Hurgronje berupaya menemuinya—yang akhirnya ditampik—usia Syekh Junaid diketahui hampir 90 tahun. Walaupun begitu, komunitas ulama Makkah masih memintanya untuk memimpin zikir dan doa, terutama setiap acara pertemuan berlangsung.

Pengakuan akan reputasi Syekh Junaid juga disampaikan pemimpin politik Makkah dan Madinah. Pada 1925, huru-hara politik terjadi di dua kota suci itu, sehingga menumbangkan kekuasaan Syarif Ali.

Dalam perkembangan selanjutnya, Ibnu Saud mulai menancapkan pengaruhnya dan terus berupaya menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Sebelum mengakui kekalahan, Syarif Ali mendesak Ibnu Saud agar meneguhkan komitmen sehingga transisi pemerintahan dapat berjalan lancar.

Di antara syarat-syaratnya adalah, keluarga Syekh Junaid al-Batawi akan terus dihormati, bahkan selayaknya karib kerabat Ibnu Saud sendiri. Penguasa baru itu pun menyanggupinya. Demikian pemaparan Buya Hamka dalam sebuah seminar di Jakarta pada Mei 1987.

Oleh karena itu, sampai sekarang penduduk Makkah menganggap keturunan Syekh Junaid seperti halnya bangsawan. Anak cucu ulama besar itu banyak berkiprah di dunia usaha, termasuk perhotelan dan pertokoan.

Bila Anda ke Makkah atau Madinah kini, para penjual di sana kerap menyeru “Siti Rohmah, Siti Rohmah” ketika melihat jamaah haji perempuan berwajah Indonesia. Siti Rohmah yang dimaksud adalah nama istri Syekh Junaid al-Batawi.

 

Sekilas identitas keluarga

Dalam silsilah nasab KH Ahmadi Muhammad (cucu Guru Manshur, Jembatan Lima, Jakarta) tertulis bahwa Syekh Imam Damiri memiliki tiga anak: Junaid, Abdul Hamid (ayahanda Guru Manshur) dan Hamim. Sayangnya, sejarah kelahiran dan masa kecil Syekh Junaid di kampung Pekojan tidak dapat terlacak sama sekali, lantaran minimnya sumber data yang ada. Sejarah pernikahan Syekh Junaid juga demikian, masih banyak simpang siur.

Sumber data pertama menyebut Syekh Junaid menikah dengan seorang wanita asal Mesir. Pernikahan keduanya dikaruniai dua orang putra yaitu Sa’id dan As’ad, serta satu putri bernama Ruqayah. Ruqayah kemudian menikah dengan Syekh Ahmad Muntaha asal Tegal (Jawa Tengah) dan dikaruniai dua putraputri, Muhammad dan Jamilah. Syekh Muntaha adalah ulama yang populer karena hafalan al-Quran dan pakar dibidang Ulûmul-Qurân.

Sumber kedua (dalam buku “Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20”, karya Ahmad Fadli HS) disebutkan Syekh Junaid memiliki empat anak, masingmasing dua putra dan dua putri. Yang laki-laki bernama As’ad dan Arsyad, dikemudian hari keduanya melanjutkan perjuangan ayahanda mereka mengajar di Masjidil Haram.

Versi data yang terakhir ini, putri pertama Syekh Juniad menikah dengan Syekh Abdullah al-Mishri, seorang sastrawan Jakarta kelahiran Mesir yang populer pada Abad ke-19. Sedangkan putri kedua Syekh Junaid dinikahkan dengan murid kepercayaannya, Syekh Mujtaba bin Ahmad (tidak diketahui tahun wafatnya) asal Bukit Duri, Jakarta.

Dihormati Keluarga Raja

Sebagai maha guru ulama Jawa generasi awal, Syekh Junaid dikenal telaten mendidik murid-muridnya hingga banyak yang menjadi ulama hebat. Beberapa muridnya bahkan merasa terkesan dengan pribadi beliau, satu diantaranya Syekh Nawawi bin Umar al-Banteni (w. 1230 H). Karenanya, setiap haul Syekh Nawawi di Pondok Pesantren Tanara, selalu dibacakan surah al-Fatihah yang dikhususkan untuk Syekh Junaid al-Betawi.

Ada lagi Syekh Ahmad Khatib alMinangkabawi (w. 1334 H) yang menjadi ulama populer, bahkan sebagai Mufti Mazhab Syafiiyah pada akhir Abad ke-19 dan awal Abad ke-20 yang mengarang banyak kitab. Kemudian ada Syekh Mujtaba, murid sekaligus menantu Syekh Junaid sendiri. Syekh Mujtaba bermukim di Makkah selama 40 tahun. Sekembalinya ke Betawi bersama sang istri pada tahun 1904 M, Syekh Mujtaba diangkat sebagai Mufti Betawi.

Saat Makkah ditaklukkan pada tahun 1925 M dan diadakan perjanjian gencatan senjata antara Raja Ali bin Husein dengan Raja Ibnu Saud, keluarga Syekh Junaid masuk dalam list resmi pemerintah kerajaan yang diberi hak istimewa, karena telah menjalin hubungan baik dengan penguasa Makkah sebelumnya. Keturunan keluarga Betawi terdeteksi sejak 1987 M sampai sekarang dan masih tetap dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabia.

Bahkan konon, keluarga besar Syekh Junaid yang bermukim di Jeddah biasa mengadakan acara Maulid dan Isra Miraj, padahal kegiatan-kegiatan sejenis sangat “tabu” dilakukan kalangan ulama dan penguasa Arab Saudi karena perbedaan ideologi. Sangat terlihat, betapa terhormat nama Syekh Junaid al-Betawi di kalangan keluarga kerajaan, bahkan hingga saat ini.

Nasab & Tahun Kewafatan

Alwi Shahab, budayawan Betawi, menulis 1840 M sebagai tahun wafat Syekh Junaid di usianya yang ke 100 tahun di tanah suci. Namun Ridwan Saidi meragukan analisa ini, karena pada tahun 1894-1895, ketika Snouck Hurgronje berhasil menyusup ke Makkah, Syekh Junaid diketahui masih hidup dalam usia yang sangat lanjut. Terlepas dari semua fakta ini, Syekh Junaid merupakan sosok teladan hebat yang mengabdikan sebagian besar usianya demi perkembangan khazanah Islam.

Dari sejarah silsilah yang berhasil terdokumentasi, Syekh Junaid al-Betawi masih keturunan darah biru. Secara lengkap ialah Syekh Junaid bin Imam Damiri bin Imam Habib bin Raden Abdul Muhit bin Pangeran Cakrajaya Nitikusuma (Adiningrat IV) bin Raden Aria jipang (Sayid Husein) bin Raden Bagus Surawiyata (Sayid Ali) bin Raden Fattah (Sayid Hasan), pendiri Kesultanan Demak.

Sumber:
Jayana, Thoriq Aziz. Ulama-Ulama Nusantara Yang Mempengaruhi Dunia. Noktah, 2021.

Hurgronje, Snouck. Mecca in the Latter Part of 19th Century. Leiden: Boston, 2007.

Derani, Saidun. “Ulama Betawi Perspektif Sejarah.” Buletin Al-Turas 19, no. 2 (2018): 217–40. https://doi.org/10.15408/bat.v19i2.3717.

https://sidogirimedia.com/syekh-junaid-al-betawi-w-1840-m-syaikhul-masyayikh-yang-dilupakan-sejarah/ diakses pada 10 Mei 2023.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *