Tarekat Alawiyyah Di Ujung Tanduk
Tarekat ini berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid.
Ada beberapa wirid yang diajarkan, yakni Wirid Al-Lathif, Ratib Al-Haddad (setelah diteliti terindikasi njiplak Ratib Rifa’iyah), Ratib Al-Athas dan berbagai wirid lainnya. Bahwa konon katanya tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah yang menekankan riyadlah qulub yaitu olah hati dan batiniah dan Tarekat Al-Ghazaliyah yang menekankan riyadlah al-‘abdan yaitu olah fisik.
Cikal bakal Tarekat ini lahir, katanya di awali dengan Hijrahnya Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir dari Bashrah, Irak ke Hadralmaut, Yaman. Di sanalah anak cucu darinya lahir dan berkembang, sehingga belakangan hari menjadi Tarekat tersendiri yang unik lain dari Tarekat-tarekat pada umumnya.
Termasuk Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir, seorang tokoh sufi terkemuka dan terkenal (namun saiya belum menemukan kitab sezaman yang mengabarkan tentang beliau) asal Hadhramat pada abad ke-3/4 Hijriah, yang di klaim secara sepihak sebagai cucu Rasulullah SAW sebagai generasi ke 10. Sementara nama “Alawiyyah” sendiri berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Cucu Imam Ahmad bin Isa yang katanya pertama kali lahir di Hadralmaut. Dan sekaligus menjadi mata rantai dari Imam-imam Thariqah tersebut.
Bahwa Tarekat Alawiyyah, secara umum, di klaim secara sepihak oleh Klan Ba ‘Alwi sebagai tarekat yang dikait-kaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW dari Al-Husaini – yang membranding dirinya sendiri merupakan lapisan paling atas dalam ‘strata’ masyarakat Hadhrami.
Oleh Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum Ba ‘Alwi, dan setelah itu wirid serta dzikirnya diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.
Konon Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini.
Dengan kepercayaan dirinya Ba ‘Alwi hanya cukup dengan nasab (jalur keturunan) menjadi penghubung antara diri mereka hingga ke Nabi SAW. Hampir setiap tokoh dalam tradisi keluarga Ba ‘Alwi memiliki wirid tersendiri, dan ini tidak ditemukan dalam tradisi Tarekat-tarekat yang lain, konon katanya.
Dengan kata lain ajaran Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Ini sangat menabrak budaya dan tradisi Tarekat yang sudah mapan.
Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak (tasawuf ‘amali, akhlaqi).
Sementara dalam tarekat lain, biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat. Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa Abdullah al-Haddad tarekat Alawiyyah diperbaharui.
Namun belakangan, KH Imaduddin Utsman Al Bantani dalam penelitianya terangkum dalam buku berjudul “Membongkar Skandal Ilmiyah: GENEALOGI & SEJARAH BA’ALWI” menyatakan bahwa Ahmad bin Isa tidak pernah hijrah ke Hadramaut dan tidak memiliki anak bernama Abdullah atau Ubaidilah. Jika penelitian ini tidak bisa dibantah secara hujjah yang kuat, maka semua pondasi Tarekat Alawiyyah kaum Ba ‘Alwi beserta wirid dan dzikirnya secara otomatis akan runtuh.
Waallahu Alam.