Untuk melakukan analisis ilmiah mengenai tokoh Faqih al-Muqaddam dalam konteks sejarah dan genealogi, diperlukan pendekatan multidisiplin yang mencakup studi sejarah, ilmu silsilah, metodologi historiografi, dan uji genetika. Analisis ini akan membantu dalam membangun pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai kemungkinan bahwa Faqih al-Muqaddam adalah tokoh fiktif atau setidaknya tokoh yang dibesar-besarkan dalam sejarah.
*1. Kurangnya Referensi Sejarah Sezaman*
Dalam sejarah Islam, penulisan mengenai tokoh-tokoh besar biasanya dicatat dalam karya-karya sezaman atau karya-karya yang dekat dengan masa hidup mereka. Tokoh yang memiliki pengaruh besar di dunia Islam, seperti para ulama besar dan pendiri tarekat, biasanya akan disebut dalam karya sejarah, biografi, atau teks keagamaan sezaman. Namun, tidak ada sumber primer yang menyebutkan Faqih al-Muqaddam dalam rentang waktu abad ke-4 hingga abad ke-9 Hijriah . Beberapa penulis, termasuk Abu Bakar al-Sakran dalam karyanya al-Burqah al-Musyiqoh (akhir abad ke-9 H atau sekitar abad ke-15 M), adalah yang pertama kali menyebutkan tentang Faqih al-Muqaddam dan klan Ba’Alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
- Abu Bakar al-Sakran (wafat 918 H/1512 M), dalam kitab al-Burqah al-Musyiqoh , adalah salah satu sumber awal yang menyebut nasab Faqih al-Muqaddam. Tidak ada catatan sezaman dari ulama-ulama terkenal abad ke-4 hingga ke-9 H, seperti Ibnu Khallikan (1211–1282 M), Ibnu Hajar al-Asqalani (1372–1449 M), atau al-Dhahabi (1274–1348 M). ), yang menyebutkan Faqih al-Muqaddam atau keturunannya sebagai ulama terkemuka. Ini sangat mencurigakan mengingat reputasi besar yang dianggap dimiliki Faqih al-Muqaddam dalam tradisi Ba’Alawi.
Ketidakadaan bukti dari sumber-primer ini menimbulkan kecurigaan bahwa Faqih al-Muqaddam adalah tokoh yang baru muncul di kemudian hari untuk memberikan legitimasi kepada klan Ba’Alawi, bukan tokoh sejarah yang benar-benar eksis pada zamannya.
*2. Gelar dan Atribut yang Tidak Konsisten*
Faqih al-Muqaddam digambarkan sebagai seorang ulama besar dan pendiri tarekat Alawiyah di Yaman. Namun, gelar “Faqih” yang berarti ahli hukum Islam biasanya diberikan kepada individu yang memiliki reputasi sebagai ulama terkemuka dalam ilmu fikih, dengan karya-karya atau kontribusi nyata di bidang hukum Islam.
Tidak ada bukti tertulis sezaman yang menyebutkan peran Faqih al-Muqaddam dalam perkembangan ilmu fikih atau sufi pada masa hidupnya, yang diperkirakan pada abad ke-6 atau ke-7 Hijriah . Biasanya, tokoh yang begitu berpengaruh akan disebut dalam karya-karya biografi seperti Siyar A’lam an-Nubala karya al-Dhahabi, namun Faqih al-Muqaddam tidak muncul dalam karya-karya penting tersebut.
Selain itu, klaim bahwa Faqih al-Muqaddam sebagai pendiri tarekat Alawiyah dan memiliki peran sentral di Hadhramaut juga patut dipertanyakan, karena tidak ada catatan awal tentang aktivitas sufi yang terkait dengan namanya . Tarekat ini tampaknya mulai mendapatkan pengakuan lebih besar baru setelah generasi berikutnya, yang menyiratkan adanya kemungkinan rekayasa narasi untuk memperkuat legitimasi klan Ba’Alawi dalam bidang spiritualitas Islam.
*3. Nasab yang Tidak Didukung oleh Bukti Sezaman*
Klaim nasab Faqih al-Muqaddam sebagai keturunan dari Alwi bin Ubaidillah , putra Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir (cucu dari Imam Ja’far ash-Shadiq ) juga memiliki banyak
- Ahmad al-Muhajir (abad ke-3 H) adalah tokoh yang diklaim hijrah dari Irak ke Yaman, tetapi tidak ada catatan sezaman yang menyebutkan hijrahnya Ahmad ke Yaman atau penyebutan nama Alwi bin Ubaidillah dalam karya sezaman. Ahmad al-Muhajir disebut hanya dalam kitab-kitab Ba’Alawi yang muncul jauh kemudian, seperti al-Burqah al-Musyiqoh .
- Bukti genealogis bahwa Faqih al-Muqaddam adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Ahmad al-Muhajir tidak memiliki referensi kuat dalam kitab-kitab nasab abad ke-4 hingga ke-9 H. Keluarga Bani Hasyim yang menjadi penjaga nasab keturunan Nabi tidak menyebut klan Ba ‘Alawi dalam catatan mereka hingga abad ke-9 H.
- Tidak ada catatan dari ulama abad pertengahan terkenal seperti Ibnu Hazm (994–1064 M), yang terkenal dengan karyanya Jamharat Ansab al-Arab , mengenai garis keturunan ini.
- Uji DNA : Studi genetika modern memberikan bukti lebih lanjut yang meragukan klaim ini. Haplogroup G , yang ditemukan pada banyak anggota klan Ba’Alawi, berbeda dari haplogroup J1 , yang lebih umum diidentifikasi dengan keturunan Bani Hasyim dan Nabi Muhammad SAW. Ini memberikan bukti bahwa klaim bahwa Faqih al-Muqaddam dan klan Ba’Alawi adalah keturunan langsung Nabi Muhammad SAW tidak berdasar secara ilmiah.
*4. Potensi Rekayasa Sejarah untuk Kepentingan Sosial dan Politik*
Sejarah sering kali dipengaruhi oleh rekayasa narasi yang dibuat untuk memperkuat posisi sosial atau politik suatu kelompok. Dalam kasus Faqih al-Muqaddam dan klan Ba’Alawi, tampaknya ada upaya untuk membangun narasi keturunan mulia guna memperkuat legitimasi spiritual dan otoritas sosial di kalangan umat Muslim Hadhramaut serta komunitas-komunitas diaspora Hadrami di Asia Tenggara dan Afrika Timur.
Klan Ba’Alawi telah memainkan peran penting di wilayah-wilayah tersebut, sering kali mengklaim status keturunan Nabi untuk mendapatkan kedudukan sosial yang lebih tinggi. Dalam konteks sejarah Hadhramaut, status keturunan ini dapat memberikan keunggulan politik dan ekonomi , terutama dalam hubungan dengan penguasa lokal dan komunitas Muslim di diaspora. Faqih al-Muqaddam tampaknya merupakan salah satu tokoh yang diidealisasikan dan digunakan sebagai simbol keutamaan spiritual, padahal bukti sejarah yang mendukung peran atau eksistensinya sangat minim.
*5. Gelar Mujtahid Mutlaq yang Tidak Didukung Bukti Karya Tulis*
Salah satu klaim utama yang sering diutarakan oleh klan Ba’Alawi adalah bahwa Faqih al-Muqaddam dianggap sebagai seorang mujtahid mutlaq , sebuah gelar yang sangat tinggi dalam tradisi hukum Islam. Seorang mujtahid mutlaq adalah ulama yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad secara mandiri tanpa harus mengikuti mazhab yang sudah ada, seperti Imam Abu Hanifah , Imam Malik , Imam Syafi’i , atau Imam Ahmad bin Hanbal . Gelaran ini menunjukkan kemampuan ulama dalam menggali hukum-hukum Islam langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan metode yang mereka kembangkan sendiri.
*Namun, ada beberapa poin penting yang patut diperhatikan terkait klaim ini:*
- Tidak Ada Karya Tulis yang Diketahui : Seorang mujtahid mutlaq sejati biasanya meninggalkan karya tulis yang sangat berpengaruh dan monumental. Misalnya, Imam Syafi’i (150-204 H) meninggalkan kitab al-Risalah yang menjadi dasar pengembangan ushul fikih, sementara Imam Malik (711–795 M) meninggalkan karya monumental al-Muwatta’ . Namun, dalam kasus Faqih al-Muqaddam, tidak ada satupun karya tulis yang pernah ditemukan atau disebut sebagai karya asli dari tokoh ini. Ini sangat aneh jika kita menganggap bahwa ia adalah seorang mujtahid mutlaq, mengingat karya tulis adalah bukti utama dari kemampuan intelektual seorang ulama besar pada masa itu.
- Tidak Ada Referensi dari Ulama Sezaman : Pada masa hidup seorang mujtahid mutlaq, biasanya ulama-ulama besar lain atau pengikut mereka akan menulis tentang kehebatan intelektual dan spiritual sang mujtahid. Sebagai contoh, ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal (164–241 H) banyak disebut dalam karya-karya ulama sezamannya, bahkan oleh lawan-ltidak ada satu pun ulama sezaman atau bahkan ulama setelahnya yang terkenal pada abad ke-7 hingga ke-9 H yang menulis tentangnya.
Ulama besar seperti Ibnu Hajar al-Asqalani (1372–1449 M) dan Ibnu Khaldun (1332–1406 M), yang sering mencatat perkembangan ulama dan tarekat-tarekat sufi di dunia Islam, tidak pernah menyebut nama Faqih al-Muqaddam dalam tulisan-tulisan mereka. Bahkan ulama-ulama dari Hadhramaut sendiri, seperti al-Habshi atau al-Shawkani , yang juga terkenal dalam sejarah Yaman, tidak mencatat eksistensi Faqih al-Muqaddam sebagai tokoh terkemuka.
- Ketiadaan Pengaruh dalam Mazhab atau Tarekat Lain : Seorang mujtahid mutlaq biasanya memiliki pengaruh besar dalam pengembangan mazhab atau tarekat sufi, namun klaim mengenai Faqih al-Muqaddam sebagai mujtahid mutlaq ini tidak diikuti dengan bukti pengaruh yang signifikan di kalangan tarekat atau mazhab fikih yang berkembang pada masanya . Bahkan dalam tradisi Alawiyah sendiri, tidak ada metodologi fikih atau tarekat yang dihasilkan secara langsung dari ajaran Faqih al-Muqaddam.
Pengaruh yang diklaimnya lebih tampak setelah generasi berikutnya dari klan Ba’Alawi, dan lebih berkaitan dengan klaim keturunan mulia (sharif) daripada pengembangan ijtihad atau ajaran-ajaran fikih baru. Hal ini sangat kontras dengan ulama besar yang diakui sebagai mujtahid mutlaq pada masanya, di mana mereka memiliki pengaruh langsung dan nyata terhadap perkembangan hukum Islam dan ajaran spiritual.
*Kesimpulan yang Diperkuat: Indikasi Faqih al-Muqaddam sebagai Tokoh Fiktif*
Dengan mempertimbangkan poin-poin di atas, klaim bahwa Faqih al-Muqaddam adalah seorang mujtahid mutlaq menjadi semakin sulit untuk dibuktikan. Tidak adanya karya tulis , tidak adanya pengakuan dari ulama sezaman , serta tidak adanya pengaruh langsung dalam bidang fikih atau tarekat pada masanya menunjukkan bahwa gambaran ini mungkin tidak pernah eksis atau setidaknya bukan seperti yang digambarkan dalam narasi sejarah klan Ba’Alawi.
Jika Faqih al-Muqaddam benar-benar seorang mujtahid mutlaq sejati, ia seharusnya terkenal di kalangan ulama pada zamannya, dengan karya-karya yang monumental dan diakui oleh para ahli hukum Islam. Ketiadaan bukti sejarah ini justru memperkuat argumen bahwa Faqih al-Muqaddam adalah tokoh yang dibuat atau dibesar-besarkan oleh klan Ba’Alawi untuk memperkuat legitimasi spiritual dan klaim nasab mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam menerima klaim-klaim sejarah yang tidak didukung oleh bukti yang kuat. Penelusuran sejarah yang lebih ilmiah dan berdasarkan bukti penting untuk memastikan bahwa narasi yang berkembang di masyarakat tidak tercemar oleh fiksi atau mitos yang sengaja diciptakan untuk keuntungan kelompok tertentu.
Maka Berdasarkan kajian mendalam terhadap sumber sejarah dan bukti genetika, dapat disimpulkan bahwa Faqih al-Muqaddam terindikasi sebagai tokoh yang fiktif atau setidaknya telah sangat besar-besarkan dalam tradisi Ba’Alawi. Ketidakadaan bukti sezaman yang mendukung eksistensinya sebagai ulama besar atau pendiri tarekat, ditambah dengan hasil uji DNA yang menunjukkan bahwa klan Ba’Alawi bukan bagian dari keturunan Bani Hasyim, mengarah pada dugaan bahwa tokoh ini diciptakan atau dibentuk secara retrospektif untuk legitimasi sosial dan politik klan Ba ‘Alawi.
Narasi ini penting untuk disadari oleh masyarakat agar masyarakat muslim dapat melakukan pendekatan yang lebih kritis terhadap klaim nasab dan sejarah, terutama ketika klaim tersebut tidak didukung oleh bukti yang kuat dari sumber primer maupun ilmiah. Penelitian lebih lanjut di bidang genetika dan studi historiografi diperlukan untuk menjamin sejarah dari klaim-klaim yang tidak dapat dibuktikan.