Walisongo Menanam, Kabaib Merusak

Walisongo Menanam, Kabaib Merusak

Bagaimana Kaum Kabaib Imigran Yaman telah mencabik-cabik bangunan Keislaman yang pondasinya ditancapkan kokoh di Nusantara oleh para penyebar Islam yang bergelombang datang sejak abad ke-10 hingga 15. Dari Samudera Pasai hingga ke seluruh penjuru Nusantara.

Ada beberapa yang membuat Islam cepat diterima sebagai agama mayoritas, yaitu bahwa transisi kekuasan yang damai dengan didukung melalui pendekatan pernikahan dan kekerabatan. Contohnya pernikahan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) dengan Putri Champa, Ratu Darawati, bibi dari Sunan Ampel, atau Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah dengan Ratu Pakungwati putri dari Prabu Siliwangi III di Jawa Barat.

Strategi jitu lainnya adalah penghapusan sistem kasta. Sistem pembagian kelas dalam masyarakat atau KASTA di Nusantara pra-Islam, segera dirubah menjadi sistem egaliter yang penuh kesetaraan. Sebagaimana kita ketahui bahwa di era PRA-ISLAM, masyarakat dibagi menjadi 7 kasta :

1. Kasta Brahmana, untuk para agamawan.

2. Kasta Ksatria, untuk para raja dan bangsawan.

3. Kasta Waisya, para abdi negara dan pengusaha.

4. Kasta Sudra, para kaum pekerja.

5. Kasta Candala, keturunan Sudra yang berani menikahi kasta diatasnya.

6. Kasta Mlecchia, kaum Imigran atau nonpribumi. Tome Pires, pelaut Portugis mencatat bangsa Nusantara sebagai kaum pemberani dan arogan, siapa saja berani menatap matanya maka seketika akan dihajar terutama bagi kaum Imigran.

7. Kasta Tuccha, kaum kriminal. Siapa saja yang melakukan kejahatan maka setelah divonis seketika kastanya menjadi hina paling bawah.

Ketika Islam datang Kasta dihapus dan relatif hanya menyisakan 3 kelompok masyarakat saja, yaitu kaum agamawan, bangsawan dan masyarakat luas. Artinya siapapun yang mau belajar dengan rajin dan berprestasi maka bisa naik menjadi kaum agamawan maupun kaum bangsawan dengan pengabdian.

Dan dengan pendekatan ala kaum sufistik yang mampu memikat spiritualisme Jawa maupun suku-suku lainnya di Nusantara. Sehingga penyebaran Islam tidak kaku dan mampu menyatu dengan tradisi dan budaya masyarakat lokal. Selain itu, penuh dengan kisah mitologi keajaiban atau ‘karomah para wali’ sebagai pertanda dari hamba yang dicintai Tuhan sebagaimana Nabi dengan kisah mukjizatnya (baca ATLAS WALISONGO, karya Kyai Mas Ngabehi Agus Sunyoto).

Dari sini dapat diambil 3 kesimpulan bahwa, bagaimana Islam cepat berkembang. Dilakukan dengan cara damai dan kekeluargaan, membangun kesetaraan dengan menghapus sistem kelas, dan yang terakhir adalah akulturasi kebudayaan dan membangun keruhanian.

Dan entitas Islam di Nusantara dengan segala metodologinya ini menjadi role model yang telah diakui oleh dunia sebagai wajah Islam yang agung sebagaimana yang diperjuangkan oleh Nabi dengan konsep Rohmatan Lil ‘Alamin. Atau Islam sebagai Rahmat Bagi Seluruh Alam sebagaimana tercantum di dalam Al Quran sebagai konteks KENABIAN itu sendiri.

 

Namun apa yang terjadi kini? Kaum Kabaib Imigran Yaman yang didatangkan oleh Penjajah Belanda ini justru telah menghancurkan bangunan yang agung tersebut.

Setidaknya hal itu bisa dilihat pada poin berikut ini :

1. Bekerja untuk kepentingan Penjajah dengan menjadi mufti yang mengharamkan pemberontakan dan banyak menjadi kapitan di tiap kota yang justru lebih kejam dari Belanda.

2. Mendukung sistem politik kelas yang rasis dimana menempatkan pribumi sebagai warga paling bawah.

3. Membuat fatwa rasis dengan melarang pernikahan putri-putri mereka dengan diluar golongan mereka atas dasar klaim palsu mengaku sebagai keturunan Nabi SAW.

4. Banyak menyerang tradisi dan budaya lokal serta berupaya menunjukkan superioritas budaya dan tradisi Yamani.

5. Hal ini masih diperparah dengan kapitalisasi agama, klaim sesat kisah datuk leluhurnya dan negeri muasalnya yang kesemuanya melahirkan PERBUDAKAN SPIRITUAL. Ini belum termasuk melakukan kegiatan radikalisme dan terorisme yang mengancam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Diantaranya mendirikan organisasi yang mendukung gerakan terorisme Internasional maupun pengeboman Candi Borobudur di era sebelumnya. Dan tidak boleh dilupakan, yang mana mereka di Yaman sebagai pendiri dan pentolan Partai Komunis ternyata juga terlibat di dalam gerakan pemberontakan komunisme di Nusantara yang banyak membunuh para ulama dan kaum santri itu sendiri.

Sehingga Islam di Nusantara yang dulunya berwajah ramah menjadi ‘marah’, dulunya lunak dan damai seketika menjadi keras dan beringas.

 

Waallahu Alam




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *